Penetapan Awal Ramadhan dan Penguasa
Banyak kalangan yang memandang agama Islam secara parsial dan tidak komprehensif. Salah satunya adalah drama-drama terkait perbedaan awal Ramadhan dan lebaran yang dulu-dulu sering mengharu-biru kehidupan beragama kita.
Seharusnya kalau belajar secara utuh, mereka harus tahu bahwa tidak mentang-mentang sudah belajar tehnik rukyat dan juga hisab, tetap tidak dibolehkan seenaknya memutuskan sendiri jatuhnya Ramadhan dan Syawal.
Sebab wewenang untuk itu adanya di tangan sultan dalam arti penguasa tertinggi dan sah.
Mirip persis dengan hukum rajam, qishash atau potong tangan, yang berhak melakukannya hanya hakim atau Qadhi yang resmi dan sah. Semua praktek itu kalau sampai dilakukan secara swasta, justru merupakan bentuk kriminalitas.
Praktek di zaman kenabian, zaman shahabat dan juga zaman kekhalifahan Islam, rakyat tidak pernah diberi wewenang untuk menentukan jatuhnya puasa atau lebaran. Karena itu merupakan domain sultan alias penguasa.
Dan sampai hari ini nyaris semua negara berpenduduk Islam sudah paham hal-hal semacam itu.
Bahkan yang paling unik di Saudi Arabia. Asal tahu saja di Saudi itu banyak sekali kelompok pemberontak dan tokoh oposis bergentayangan. Mereka ingin menumbangkan kekuasaan raja, bahkan sampai mengkafir-kafirkan penguasa.
Namun para pemberontak itu paham, kalau urusan kapan puasa, lebaran dan juga hari Arafah, itu domain penguasa. Mereka tidak pernah merasa berhak untuk ikut campur. Sejahil-jahilnya mereka, tetap saja untuk urusan ini mereka masih melek.
Sebagai bukti nyata, kita belum pernah dengar kabar ada kelompok pemberontak disana yang punya ide mau bikin wuquf sendiri di Arafah, di tanggal yang berbeda dari yang ditentukan penguasa.
Padahal kelompok Takfiri itu rajin banget mengkafir-kafirkan pihak kerajaan. Tapi giliran kerajaan bilang besok wuquf, semua langsung sami'na wa atha'na.
Nggak ada yang iseng mau bikin acara wuquf khusus jamaah mereka doang di tanggal yang berbeda. Belum pernah terjadi disana.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat