๐ ๐๐ก๐๐๐ฃ๐๐ ๐๐๐ง๐๐๐ ๐๐๐ก๐๐๐๐ง ๐๐๐ฅ๐ ๐ฆ๐จ๐๐จ๐ ?
Afwan kiyai benarkah bahwa yang sesuai sunnah itu ketika bangkit dari sujud kedua tangan dikepalkan ? Katanya itu yang shahih yang dilakukan oleh Nabi. Mohon penjelasannya.
๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ป
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Menurut pendapat mayoritas ulama yakni dari madzhab Maliki dan Syafi’i ada kesunnahan bertelekan (bersandar) dengan kedua tangan ketika bangkit dari sujud, namun semuanya menyebutkan dengan posisi jari tangan dibuka, bukan dikepalkan.[1] Hal ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini :
Dari Abu Qilabah ia berkata :
ุฌَุงุกََูุง ู َุงُِูู ุจُْู ุงูุญَُْููุฑِุซِ، َูุตََّูู ุจَِูุง ِูู ู َุณْุฌِุฏَِูุง َูุฐَุง، ََููุงَู: ุฅِِّูู َูุฃُุตَِّูู ุจُِูู ْ َูู َุง ุฃُุฑِูุฏُ ุงูุตَّูุงَุฉَ، ََِْูููู ุฃُุฑِูุฏُ ุฃَْู ุฃُุฑَُِููู ْ ََْููู ุฑَุฃَْูุชُ ุงَّููุจَِّู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ ُูุตَِّูู َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ ุฑَุฃْุณَُู ุนَِู ุงูุณَّุฌْุฏَุฉِ ุงูุซَّุงَِููุฉِ ุฌََูุณَ َูุงุนْุชَู َุฏَ ุนََูู ุงูุฃَุฑْุถِ، ุซُู َّ َูุงู َ
“Malik bin al-Huwairits datang kepada kami, lalu ia mengimami kami di masjid kami ini, lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku akan shalat di hadapan kalian, namun aku tidaklah benar-benar shalat, hanya saja aku ingin mempraktekkan untuk kalian tata cara shalat Nabi ๏ทบ yang pernah kusaksikan…..”Dan jika ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua ia pun duduk, lalu bertumpu ke tanah, lalu bangkit.” (HR. Bukhari)
Dalam menyikapi hadits-hadits di atas terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Madzhab Maliki,[2] Syafi’i[3] dan sebagian pengikut madzhab Hanafi menganggap hal itu disunnahkan, lalu sebagian Hanafi tidak mensunnahkan[4] sedangkan kalangan Hanbali mensunnahkan bertumpu di paha, adapun untuk orang tua dan orang yang lemah boleh bertumpu di tanah.[5]
Namun semua madzhab sepakat bahwa sifat bertumpu yang dilakukan adalah dengan membuka telapak tangan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi rahimahullah :
ูุฅุฐุง ุงุนุชู ุฏ ุจูุฏูู ุฌุนู ุจุทู ุฑุงุญุชูู ูุจุทูู ุฃุตุงุจุนู ุนูู ุงูุฃุฑุถ ، ุจูุง ุฎูุงู
“Ketika seseorang bertumpu dengan kedua tangannya, maka dia hendaknya meletakkan kedua telapak tangannya dan telapak jari-jarinya di atas lantai, tanpa ada perbedaan di kalangan ulama.”[6]
Khatib asy Syarbini juga berkata hal yang sama :
ูููููุฉ ุงูุงุนุชู ุงุฏ ุฃู ูุฌุนู ุจุทู ุฑุงุญุชูู، ูุจุทูู ุฃุตุงุจุนู ุนูู ุงูุฃุฑุถ ูุณูุงุก ููู ุงูููู ูุงูุถุนูู
“Sedang cara bertumpunya adalah dengan menjadikan kedua telapak tangan dan jari-jarinya di atas tanah baik bagi orang yang kuat maupun yang lemah.”[7]
Lalu bagaimana dengan praktik mengepal saat bangkit dari sujud itu, adakah pendapat dari ulama madzhab yang empat yang menyatakan itu ? Sejauh penelusuran kami, tak kami dapati adanya ulama dari madzhab manapun yang berpendapat bahwa sifat bertumpu saat bangkit dari sujud itu adalah dengan mengepal.
Kami baru mendapatinya pendapat ini bersumber dari buku yang berjudul sifat shalat Nabi yang ditulis oleh ulama kontemporer yang bernama Syaikh Nashiruddin al Albani. Di dalam karyanya tersebut, beliau mengatakan bahwa disunnahkan menggenggam atau mengepal saat bertumpu bangkit dari sujud.
Pendalilannya adalah adanya hadits-hadits yang menyebut kata “ajan” yang mensifati cara bangkitnya Nabi ๏ทบ dari sujud, lalu beliau maknai kata ‘ajan tersebut dengan arti mengepal/menggenggam. Sedangkan dalam pandangan ulama dan ahli bahasa, kata ‘ajan tidak tepat jika langsung diartikan dengan mengepal.
Namun sebelum kita membahas makna hadits tersebut, kita perlu tahu kedudukan hadits tentang ‘ajan ini, karena ternyata dalam pandangan para ulama hadits, seluruh haditsnya derajatnya lemah bahkan sebagiannya dinyatakan oleh ulama sebagai lemah sekali.
๐๐ฎ๐ฑ๐ถ๐-๐ต๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ ๐๐ฒ๐ป๐๐ฎ๐ป๐ด ‘๐๐ท๐ฎ๐ป ๐ธ๐ฒ๐๐ถ๐ธ๐ฎ ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด๐ธ๐ถ๐ ๐ฑ๐ฎ๐ฟ๐ถ ๐๐๐ท๐๐ฑ.
๐๐ฎ๐ฑ๐ถ๐๐ ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ฎ
ุนَِู ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณٍ ุฃََّู ุฑَุณَُْูู ุงِููู ุตََّูู ุงَّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุงَู ุฅِุฐَุง َูุงู َ ِูู ุตَูุงَุชِِู َูุถَุนَ َูุฏَُู ุนََูู ุงูุฃَุฑْุถِ َูู َุง َูุถَุนُ ุงْูุนَุงุฌُِู
“Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ๏ทบ apabila berdiri dari shalatnya, beliau menempatkan tangannya pada lantai sebagaimana al Ajin menempatkan tangannya.”
Takhrij Hadits : Disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Talkhish Al-Habir (1/466).
Kualitas Hadits : Imam Nawawi rahimahullah berkata tentang hadits di atas :
ููู ุญุฏูุซ ุถุนูู ุฃู ุจุงุทู ูุง ุฃุตู ูู
“Ini hadits lemah atau bahkan batil, tidak ada asalnya”.[8] Sedangkan Imam Ar Ramliy juga mengatakan : “Dhaif atau bathil.[9] Ibnu Ash Shalah juga berkata :
َูุฐَุง ุงْูุญَุฏِูุซُ َูุง َูุตِุญُّ ََููุง ُูุนْุฑَُู ََููุง َูุฌُูุฒُ ุฃَْู ُูุญْุชَุฌَّ ุจِِู
“Hadits ini tidak shahih dan tidak dikenal serta tidak boleh berhujjah dengannya”.[10]
๐๐ฎ๐ฑ๐ถ๐๐ ๐ธ๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ
Azraq bin Qais berkata :
ุฑَุฃَْูุชُ ุนَุจْุฏَ ุงَِّููู ุจَْู ุนُู َุฑَ ََُููู َูุนْุฌُِู ِูู ุงูุตََّูุงุฉِ َูุนْุชَู ِุฏُ ุนََูู َูุฏَِْูู ุฅِุฐَุง َูุงู َ، َُْูููุชُ: ู َุง َูุฐَุง َูุง ุฃَุจَุง ุนَุจْุฏِ ุงูุฑَّุญْู َِู؟ َูุงَู: ุฑَุฃَْูุชُ ุฑَุณَُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงُููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุนْุฌُِู ِูู ุงูุตََّูุงุฉِ
“Saya melihat ‘Abdullah bin ‘Umar dalam keadaan melakukan ‘ajn dalam shalat, i’timad di atas kedua tangannya bila beliau berdiri. Maka saya bertanya : “Apa ini wahai Abu ‘Abdirrahman ?” beliau berkata : “Saya melihat Rasulullah ๏ทบ melakukan ‘ajn dalam shalat .”
Hadits dengan redaksi serupa berbunyi :
ุฑَุฃَْูุชُ ุนَุจْุฏَ ุงِููู ุจَْู ุนُู َุฑَ ََُููู َูุนْุฌُِู ِูู ุงูุตَّูุงَุฉِ َูุนْุชَู ِุฏُ ุนََูู َูุฏَِْูู ุฅِุฐَุง َูุงู َ َูู َุง َْููุนَُู ุงَّูุฐِْู َูุนْุฌُِู ุงْูุนَุฌُِْูู
"Dari alAzraq, saya melihat Abdullah bin Umar ber’ajan ketika shalat, yaitu bertopang dengan kedua tangannya apabila berdiri sebagaimana yang dilakukan ‘ajin ketika ber’ajan.”
Takhrij Hadits : Hadits pertama dikeluarkan oleh At Thabaraani dalam al Mu’jam al-Ausath no 4007 dan hadits kedua oleh Ibrahim bin Ishaq al Harbi di Gharib Al-Hadiits 2/252
Kualitas Hadits : Semua jalur riwayatnya melalui Yunus bin Bakr dari Haitsam. Dua rawi ini yang bermasalah. Tentang Yunus, imam Nasai dalam Tahdzibut Tahdzib mengatakan : “Dia tidak kuat, lemah.” Ali al Madini juga mengatakan : “Dia tidak kuat.”[11] Al Ajli juga mengatakan : “Dia orang yang lemah haditsnya.”[12]
Sedangkan tentang Haitsam kelihatannya Syaikh Albani dalam Silsilah ash Shahihahnya (6/380) mengalami wahm, ia mengira Haitsam dalam rawi adalah Haitsam bin Imran, padahal Haitsam yang menjadi rawi tersebut adalah Haitsam bin al Qamah ats Tsa’labah.
Namun demikian Baik Haitsam bin Imran ataupun Hisyam bin al Qamah adalah sama-sama majhul sehingga hadits dari keduanya adalah lemah.[13]
Kesimpulannya semua hadits tentang ‘ajan adalah lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. Berkata al imam Nawawi :
ูุฃู ุง ุงูุญุฏูุซ ุงูู ุฐููุฑ ..ุนู ุงุจู ุนุจุงุณ ุฃู ุงููุจู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ูุงู ุฅุฐุง ูุงู ูู ุตูุงุชู ูุถุน ูุฏูู ุนูู ุงูุฃุฑุถ ูู ุง ูุถุน ุงูุนุงุฌู " ููู ุญุฏูุซ ุถุนูู ุฃู ุจุงุทู ูุง ุฃุตู ูู
“Adapun hadits Munkar dari Ibn Abbas ... dan selainnya, “Bahwa Rasulullah ๏ทบ apabila bangkit ketika shalat, maka ia memposisikan tangannya di atas tanah seperti pengadon tepung yang meletakkan tangannya.”, maka ini adalah hadits daif atau tidak ada asal muasalnya.”[14]
Al Imam Khatib Syarbini juga mengatakan : “Hadits yang menyebutkan Nabi ๏ทบ ber’ajan tidaklah shahih.”[15]
‘๐จ๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ?
Seandainya katakan saja hadits tentang ‘Ajan ini shahih, tidak serta merta bisa diartikan dengan mengepalkan tangan. Karena pengertian kata ‘ajn dengan makna mengepalkan tangan, adalah sesuatu yang syad (asing).
Karena umumnya literatur kitab berbahasa arab dan juga dalam kamus-kamus standar, kata ุนุฌู ‘ajan diartikan dengan : Kamus Munawwir cetakan pustaka Progresif, hal 902 : ‘ajana berarti bertopang kuat dengan kedua tangannya.
Al Mu’jam Al Wasith : II/586 : ‘ajana adalah berdiri dengan menyandarkan tangannya di atas tanah, karena sudah tua atau karena gemuk.
Demikian juga umumnya para ulama menjelaskan kata ‘ajan ini dengan makna bertumpu dengan kuat, bukan menggenggam seperti tangan saat meninju.
Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
ูุฅู ุงูุนุงุฌู ูู ุงููุบุฉ ุงูุฑุฌู ุงูู ุณู ุงููุจูุฑ ุงูุฐู ุฅุฐุง ูุงู ุงุนุชู ุฏ ุนูู ุงูุฃุฑุถ ุจูุฏูู ู ู ุงููุจุฑ، ูุฅู ูุงู ูุตู ุงููุจูุฑ ุจุฐูู ู ุฃุฎูุฐุงً ู ู ุนุงุฌู ุงูุนุฌูู ูุงูุชุดุจูู ูู ุดุฏَّุฉ ุงูุงุนุชู ุงุฏ ุนูุฏ ูุถุน ุงููุฏูู، ูุง ูู ููููุฉ ุถู ุฃุตุงุจุนูู ุง. ูุฃู ุง ุงูุฐู ูู ูุชุงุจ “ุงูู ุญูู ูู ุงููุบุฉ” ููู ุบุฑุจู ุงูู ุชุฃุฎุฑ ุงูุถุฑูุฑ ู ู ูููู ูู ุงูุนุงุฌู: “ุฅูู ุงูู ุนุชู ุฏ ุนูู ุงูุฃุฑุถ ุจุฌُู ุนู”.
“Sesungguhnya makna “al Ajin” dalam bahasa Arab adalah lelaki tua renta yang seandainya hendak bangkit, ia bertumpu dengan tangannya disebabkan faktor usia. Jika memang penyifatan seorang tua renta dengan sifat tersebut (al-aajin) diadopsi dari seorang yang sedang mengadon suatu adonan (aajinu-l ajiin), maka sisi kemiripan antara keduanya adalah kuatnya tekanan atau tumpuan tatkala meletakkan tangannya, bukan pada tata cara mengepalkan tangannya.”[16]
Penafsiran kata ‘Ajan dengan mengepal ini juga dibantah oleh ulama kontemporer hari ini, diantaranya Syaikh Bakr Abu Zaid, beliau berkata :
ููู ุฃู ูุฌู ุน ูุฏูู ููุชูุฆ ุนูู ุธููุฑูู ุง ุนูุฏ ุงูููุงู ... ููุฐู ููุฆุฉ ุฃุนุฌู ูุฉ ููุณุช ุณูุฉ ุดุฑุนูุฉ
“Yaitu seseorang yang menggenggamkan tangannya lalu betumpu dengan punggung tangannya saat berdiri ... Maka yang seperti ini adalah cara yang tidak diketahui, ia bukan perkara sunnah yang syar’i.”[17]
๐๐ฒ๐๐ถ๐บ๐ฝ๐๐น๐ฎ๐ป
1. Bertumpu di tempat sujud ketika bangkit dari sujud, sunnah menurut sebagian ulama. Sedangkan ulama yang lain berpendapat yang sunnah adalah bertumpu di paha, kecuali bagi orang yang lemah.
2. Yang mensunnahkan menjelaskan bahwa tata cara bertumpu adalah dengan membuka telapak tangan.
3. Hadits yang menyebutkan sifat Nabi ketika bertelekan adalah dengan ber’ajan statusnya lemah sehingga tidak diamalkan.
4. Seandainya saja dipaksakan haditsnya bisa diterima, makna makna yang tepat dari kata ‘Ajan bukanlah mengepalkan tangan seperti bertinju, tapi bertumpu dengan kuat.
๐Wallahu a’lam
__________
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (27/96)
[2] Syarah Ibnu Naji (1/148)
[3] Al Muhadzdzab (1/148)
[4] Tajrid lil Qaduri (2/551)
[5] Mughni li Ibn Qudamah (1/381)
[6] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/442)
[7] Mughni al Muhtaj (1/392)
[8] Al Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/421).
[9] Nihayatul Muhtaj (1/549)
[10] Talkhish Al Habir (1/625)
[11] As Sualat li Ibnu Abi Syaibah no.234
[12] Ats Tsiqat no.2063
[13] Al-Haitsam bin ‘Imran Ad-Dimasyqy, telah meriwayatkan darinya 5 ulama hadits, dan tidak ada yang mentsiqahkan (menganggapnya bisa dipercaya) kecuali Ibnu Hibban (Ats-Tsiqat, 2/296). Memang para ulama hadits berbeda pendapat tentang kedudukan rawi yang seperti ini.
Namun, sebagian besar mereka memasukkannya kedalam kelompok rawi yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya) yang mana haditsnya tidak bisa diterima. Lihat Jarh Wa at-ta’diil, Ibn Abi Hatim (2/38), ‘Abdil Hadi (1/104), Al-Jarh wat Ta'dil (4/82-83)
[14] Majmu’ Syarah al Muhadzdzab (3/442)
[15] Mughni al Muhtaj (1/392)
[16] Syarah Musykil al Washith (2/142)
[17] La Jadid hal. 47
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq