SEMAKIN BIJAK DAN DEWASA DENGAN BERMAZHAB
Mungkin sebelumnya tidak ada yang menyangka, bahwa di intern komunitas yang awalnya tidak atau anti bermazhab (termasuk komunitas Salafy) akan banyak bemunculan para ustad dan penuntut ilmu yang pada akhirnya putar haluan memutuskan diri untuk bermazhab dengan dengan salah satu mazhab yang empat, wa bil khusus mazhab Syafi’i (yang merupakan mazhab mayoritas muslimin di Indonesia) dan Hanbali. Di mana bermazhab ini, merupakan jalan hampir semua ulama dari masa ke masa selama berabad-abad sampai zaman kita sekarang ini. Hampir-hampir tidak diketemukan seorang pun ulama, kecuali dia bermazhab dengan salah satu mazhab yang empat. Ini keputusan yang sangat baik dan patut diapresiasi.
Dari sini, muncul perubahan yang sangat signifikan, terutama dalam hal menyikapi perbedaan pendapat yang ada di kalangan para ulama. Yang sebelumnya intoleran, keras, kaku, dan mudah menyesatkan saudaranya dalam isue-isue khilafiyyah, sekarang telah berubah menjadi lembut, bijak dan sangat toleran. Yang dulunya mengklaim pendapat yang rajih (kuat) sebagai kebenaran mutlak, di mana siapa yang menyelisihinya berarti menyimpang dan keluar dari manhaj Salaf/Sunnah, sekarang tidak lagi. Dulu, tahunya cuma satu pendapat, sekarang sadar ternyata ada banyak pendapat. Gestur tubuhnya pun terlihat lebih santai dan teduh.
Akhirnya sadar, bahwa masalah khilafiyyah itu kebenarannya nisbi (relatif), benar menurut A, bisa jadi salah menurut B. Kuat menurut A, bisa jadi lemah menurut B. Akhirnya tahu, bahwa masalah-masalah fiqh khilafiyyah itu sifatnya dzanni (sebatas praduga kuat), bukan sesuatu yang qath’i (pasti). Karenanya, para ulama berbeda pendapat dalam banyak masalah sejak zaman dulu. Tidak hanya mulai zaman imam yang empat (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal) perbedaan ini terjadi, bahkan jauh sebelum itu, termasuk di kurun sahabat nabi.
Bermazhab, merupakan pintu yang akan membawa seseorang kepada sikap toleran dalam perbedaan pendapat dalam isu khilafiyyah ijtihadiyyah, serta akan menjadikannya semakin bijak dan dewasa. Dengan bermazhab, seorang akan sadar, bahwa dakwah itu tidak melulu soal menang atau kalah, ikut pendapat kami atau tidak, tapi bagaimana menyampaikan kebaikan agama ini kepada umat dengan cara yang bijak, serta berusaha meminimalisir potensi permusuhan dan kegaduhan yang akan muncul.
Dengan bermazhab, seorang akan semakin sadar, bahwa mengalah dalam masalah khilafiyyah ijtihadiyyah, merupakan perkara yang dituntut oleh syari’at. Berusaha untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat, tanpa harus memaksakan pendapat pribadi sehingga terlihat tampil beda. Syibr awwal (jengkal pertama), yaitu masa-masa sombong karena merasa sudah paling berilmu, paling benar sendiri, paling sunah sendiri, paling ahli Surga sendiri, sudah lewat.
Imam Al-Mawardi (w.450 H) rahimahullah menukil ucapan imam Asy-Sya’bi rahimhullah beliau berkata :
الْعِلْمُ ثَلَاثَةُ أَشْبَارٍ فَمَنْ نَالَ مِنْهُ شِبْرًا شَمَخَ بِأَنْفِهِ وَظَنَّ أَنَّهُ نَالَهُ. وَمَنْ نَالَ الشِّبْرَ الثَّانِيَ صَغَرَتْ إلَيْهِ نَفْسُهُ وَعَلِمَ أَنَّهُ لَمْ يَنَلْهُ، وَأَمَّا الشِّبْرُ الثَّالِثُ فَهَيْهَاتَ لَا يَنَالُهُ أَحَدٌ أَبَدًا
Terjemahan : “Ilmu itu ada tiga jengkal. Maka barang siapa yang mendapatkan satu jengkal darinya, dia akan sombong seakan dia telah mendapatkan semua ilmu. Barang siapa yang mendapatkan jengkal kedua, maka jiwanya akan merasa kecil dan mengetahui bahwa dia belum mendapatkannya. Adapun jengkal ketiga, jauh sekali, (hampir) tidak ada seorang pun yang bisa mencapainya.” (Adab Ad-Dunya wa Ad-Din, hlm. 73)
Semoga ke depannya, akan terus bertambah banyak teman-teman yang memutuskan diri untuk bermazhab. Terus bersemangat untuk menambah wawasan keilmuan dengan belajar dari berbagai referensi dan para guru dengan meniatkan ikhlas karena Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Salam literasi dan persaudaraan !
(Abdullah Al-Jirani)
Sumber FB Ustadz : Abdullah Al Jirani