Asal Nama Keran Air, Al Hanafiyah

Asal Nama Keran Air : Al Hanafiyah

ASAL NAMA KERAN AIR : AL HANAFIYAH

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

Dalam bahasa arab keran air disebut dengan istilah Hanafiyah. Namanya sama dengan sebutan salah satu dari empat madzhab fiqih ahlusunnah wal jama'ah, yakni madzhab Hanafiyah.

Apakah ada hubungannya ? Iya ternyata ada hubungan antara madzhab Hanafi dengan sebab penamaan keran air dengan nama al Hanafiyah ini.

Di masa lalu, termasuk di negeri Mesir, sarana berwudhu di masjid-masjid adalah menggunakan sumur atau juga kolam buatan. Di mana jama'ah yang bersuci menggunakan gayung untuk menciduk air atau bahkan langsung memasukkan anggota tubuh yang dibasuhnya ke dalam kolam buatan tersebut.

Karena cara bersuci yang demikian, di mana banyak orang yang mengambil air dengan kedua telapak tangannya serta mencelupkan langsung kakinya saat membasuh kaki, sehingga air bekas bersuci itu otomatis kembali ke dalam kolam.

Akhirnya timbul bencana kesehatan di beberapa daerah, di mana orang berpenyakit menular juga berwudhu di tempat sama, sehingga menularkan berbagai penyakit. Air menjadi tercemar. 

Akhirnya beberapa masjid berinisiatif membuat aliran air lewat pipa dan memberikan keran sebagai sarana berwudhu. Yang paling terkenal adalah masjid yang dibangun Ali Pasha pada tahun  1448 M yang banyak disebut sebagai sebab munculnya kontroversi penggunaan keran untuk berwudhu.

Kala itu mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah tegas menyatakan bahwa penggunaan keran untuk berwudhu adalah bentuk dari perbuatan bid'ah yang tercela. Sebab dipandang sebagai perbuatan muhdats (baru) yang masuk dalam ibadah ritual, yakni berwudhu.

Satu-satunya madzhab yang bersuara menyatakan bahwa keran air bukan perkara bid'ah pada saat itu adalah ulama dari kalangan madzhab Hanafiyah. Karena itulah kemudian uniknya, keran air dalam bahasa arab ikut disebut dengan nama madzhab ini : Hanafiyah.

Setelah berlalu sekian waktu, madzhab lain akhirnya bisa menerima kehadiran "Hanafiyah" untuk dijadikan sarana berwudhu. Tak terkecuali masjid- masjid di Indonesia yang masyarakatnya bermadzhab Syafi'iyah.

Dahulu di era tahun 80 an masih banyak kita jumpai masjid lengkap dengan kolam wudhunya (jeding). Tapi sekarang, nyaris sudah tidak ada lagi. Semua masjid telah menggunakan keran air. Kalau toh masih ada masjid dengan kolam di halamannya, biasanya itu hanya untuk memperindah taman  dan halaman masjid saja, tidak difungsikan sebagai sarana untuk bersuci.

Dari sini kita belajar bahwa fatwa dan hukum itu bisa saja suatu saat nanti mengalami pergeseran. Boleh jadi di suatu masa sesuatu itu nyaris dihukumi sebagai bid'ah yang diharamkan, tapi begitu di masa berikutnya justru para ulama menganggap itu sebagai perkara yang mubah alias boleh-boleh saja. 

Dan kasus serupa banyak kita jumpai di zaman kita hari ini. Contohnya, pada awal mula maraknya penggunaan alat rekam video dan foto, nyaris ulama-ulama di negara tertentu seperti yang ada di Arab Saudi mengharamkannya, karena dianggap sama dengan melukis makhluk hidup yang ada larangannya dalam agama.

Begitu ada ulama seperti syaikh Yusuf al Qaradhawi menfatwakan bahwa foto hukumnya boleh dan tidak sama dengan hukum menggambar, banyak pihak terutama para bocil yang membully dan menuduh beliau dengan tuduhan sesat.

Namun dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang tadinya mengharamkan, sudah mulai bisa menerima fatwa kebolehan media rekaman visual. 

Ada yang masih membolehkan video tapi tidak membolehkan foto, ada yang membolehkan foto tapi seperlunya. Meski tetap ada saja yang keukeuh dengan fatwa lamanya. Pokoknya haram. Ketika mereka yang mengharamkan ternyata punya jejak digital video dan foto, katanya itu karena darurat....

Ya nggak masalah. Paling tidak suara sudah tidak bulat lagi dalam mengharamkan dan menuduh yang membolehkan potografi dengan vonis bid'ah dan sesat. 

Saya dulu tahun 90 an punya teman yang paling keras mengharamkan foto. Saya ingat betul, dia pernah marah dan sesudahnya saya tidak ditegur sampai sekian lama, sebabnya karena masuk ke majelisnya dan saat itu saya menenteng kamera.

Sampai era instagram dan facebook masuk, eh ternyata keadaan sudah berubah. Malah dia keranjingan posting foto selfi dan upload video pendek aktivitas sehari-harinya.

Saya pun bisa tersenyum, meski sempat bingung, mau mengucap apa setelahnya : Alhamdulillah atau innalillah ? 

Sumber FB Ustadz:  Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Asal Nama Keran Air, Al Hanafiyah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait