Kisah Kembalinya Ulama Salafi Wahabi Kepangkuan Aswaja

KISAH KEMBALINYA ULAMA' SALAFI WAHABI KEPANGKUAN ASWAJA

KISAH KEMBALINYA ULAMA' SALAFI WAHABI KEPANGKUAN ASWAJA

Syaikh Adil asy-Syu'aibi, penulis kitab "Ash-Shufiyah; Bi Ma'ayir al-Ilmi wa Syawahid at-Tarikh", sebuah kitab yang menjawab secara cukup tuntas terhadap tuduhan-tuduhan pencaci tasawuf, adalah mantan Salafi Wahabi yang berbalik menjadi Aswaja setelah mengkaji kitab-kitab Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) dengan inshaf, murni karena kebenaran dan jauh dari tadlis, talbis, tahrif dan perilaku-perilaku lain yang tidak diridhai Allah. 

Dalam kisah yang diceritakan dalam mukaddimah kitabnya diatas, bahwa semasa muda dan dengan spirit mencari ilmu yang tinggi, beliau berjumpa dan berkawan dengan sejumlah guru-guru muda yang memanjangkan jenggot dan memakai pakaian pendek. Dalam pengakuan mereka, yang demikian itu adalah karena mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Tanpa sadar, beliau pun mengikui model berpakaian mereka tanpa peduli dengan style yang tampak berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Mereka juga kerap memperingatkan, bahwa tidak semua yang datang ke masjid adalah orang-orang yang lurus dan tidak pula setiap dzikir, shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan puji-pujian kepadanya adalah amalan yang diridhai Allah. 

Satu hari, salah seorang kawan beliau mengeluarkan kitab "Talbisul Iblis" karangan al-Hafiz Ibn al-Jauzi dan membacakan sejumlah riwayat dari ulama' salaf yang memiliki kemulian dan reputasi dalam agama. Dalam riwayat tersebut terselip wasiyat untuk mengikuti "Sunnah" dan "Jama'ah" serta menjauhi bid'ah dan pelakunya. Tergambarkan dalam pikiran beliau, pelaku bid'ah adalah lebih buruk dari setiap yang terlaknat. Beliau pun bertanya kepada kawannya, "Siapakah ahli bid'ah tersebut?" Sang kawan menjawab dengan tegas, mereka adalah kaum sufi. Seketika itu, beliau teringat sekelompok sufi dan orang-orang awam pengikutnya yang membuat majelis maulid Nabi Muhammad dan halaqah zikir di daerah beliau. Terpatri-lah kebencian dalam hati beliau, bahwa sufi-sufi tersebut adalah syetan berbentuk manusia yang sedang mengerjakan shalat, membaca al-Qur'an dan berselawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. 

Semua doktrin diatas beliau terima sebelum belajar al-Qur'an, tajwid, dasar-dasar ilmu nahwu, fikih ibadah dan lain-lain dengan baik. Kala itu pula, sudah tertanam dalam hati untuk menjauhi kaum sufi yang merupakan potret ahli bid'ah yang sesat menyesatkan. 

Fase berikutnya, saat beliau semakin giat dan membaca kitab-kitab ulama' yang memuat berbagai biografi ulama' panutan dan juga kaum shalihin dari berbagai sumber dan literatur, beliau merasakan adanya perbedaan besar antara yang beliau baca dengan doktrin-doktrin dari kawan dan guru-guru beliau selama ini. Beliau pun sampaikan musykil tersebut kepada mereka, "Mengapa kalam-kalam ulama' berbeda dengan yang aku terima selama ini?". Mereka menjawab, ulama'-ulama' tersebut telah tergelincir dalam akidah. Ketika beliau sampaikan, "Mengapa ulama' yang alim ini tampak terpengaruh laku (nafas) sufi". Mereka menjawab, walaupun mereka ulama' dan pakar ilmu, tetapi mereka terpapar ajaran sufi. Dan ketika ditanyakan, "Mengapa ulama'-ulama' besar tersebut menta'wil sebagian sifat-sifat Allah?". Mereka menjawab, ulama' tersebut terpengaruh akidah Asy'ariyah. Itulah jawaban setiap kali muncul musykil dalam benak beliau. Tertanam dalam jiwa beliau, ulama'-ulama' yang mulia tersebut hanya bagaikan anak kecil yang mudah sekali dipermainkan dan didoktrin dengan doktrin-doktrin sesat kaum sufi dan Asy'ariyah. Kesimpulannya, biang keladi kesesatan umat adalah akidah Asy'ariyah dan ajaran kaum sufi. 

Jawaban diatas itulah yang sering keluar ketika ulama' Salafi Wahabi ditanya tentang ulama' besar yang mengikuti Asy'ariyah seperti al-Imam al-Hafizh Muhyiddin an-Nawawi, al-Hafizh al-Imam al-Baihaqi, al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, al-Imam al-Allamah asy-Syathibi, al-Hafizh al-Imam al-Khaththabi dan lain-lain. 

Beliau pun terus belajar dan semakin menjadi maniak yang gemar membaca kitab-kitab biografi ulama' yang muhaqqiq dan juga kitab-kitab hadits, tafsir, dan fikih. Dan semakin kesini, beliau semakin menemukan kejanggalan terkait dengan prinsip-prinsip usuluddin (akidah) yang berbeda dengan doktrin yang dipelajari dan diyakini selama ini. Beliau menjadi sangat waswas, karena masa iya seorang alim yang diridhai Allah hanyalah Syaikh Ibn Taimiyah dan yang sejalan dengannya? Sedangkan ulama' Islam lain yang jumlahnya ribuan dan dengan ilmu yang luas, perilakunya yang mulia dan bahkan kepakarannya sampai kepada puncak ilmu justeru akidahnya meragukan. Memang saat itu, bagi beliau, Ibn Taimiyah adalah bintang terang satu-satunya diantara ribuan ulama', bahkan ditahbiskan sebagai standar pemisah yang absolute antara yang haq dan yang batil. 

Beliau pun semakin galau luar biasa. "Bagaimana mungkin Allah menyesatkan seorang alim besar dan shalih yang sulit menjadi tandingannya, seperti Imam an-Nawawi, dalam akidah, tasawuf dan masalah lain?". Jika hanya Imam an-Nawawi saja, masalah mungkin masih tidak berat, tetapi seluruh ulama' yang menjadi panutan umat masa itu dan masa setelahnya yang tahqiq dalam ilmu dan juga para mushannif kitab yang datang sebelum beliau dan sesudahnya, yang dengan karya ilmiyah mereka Allah menjaga agama Islam, justeru manhaj dan pemikiran akidahnya rusak serta keluar dari al-Qur'an dan as-Sunnah dan manhaj salaf. Sungguh tidak mungkin! Pikir beliau. 

Bukankah umat Muhammad adalah umat terbaik (khaira umat)? Begitu dalam salah satu perenungan beliau. Lalu bagaimana mungkin umat yang telah disesatkan oleh penyesat-sesat dari Asy'ariyah dan kaum sufi bisa menjadi umat terbaik? Oh sungguh tidak mungkin! 

Kata beliau, sebenarnya musykil ini sudah lebih dari cukup untuk menjadi bahan perenungan dan pertimbangan bagi mereka yang mau berfikir, memiliki akal, dan mencari yang haq karena Allah dengan berfikir jernih. 

Beliau juga menyadari, betapa sulitnya merubah doktrinasi dan pengajaran yang telah mendarah daging untuk membenci Asy'ariyah dan Sufiyah. Tetapi dengan itu beliau terus berfikir, bahwa perasaan merasa asing dan menyendiri dalam memahami doktrin agama adalah karena mengikuti jalan yang keliru. Adapun mengikuti jalan yang telah dilalui para ulama' panutan dalam tauhid, ulama' panutan dalam tafsir, ulama' panutan dalam fikih, ulama' panutan dalam hadits, ulama'panutan dalam nahwu, ulama' panutan dalam qira'ah, ulama' panutan dalam tarikh, dan ulama' panutan dalam usul fikih, maka itulah jalan terang yang lebih aman, damai lagi menenangkan. 

Dan beliau pun samakin asyik mengkaji kitab-kitab ulama' dari berbagai disiplin, yang pada puncak perenungannya, tersimpulkan bahwa mereka adalah ulama' yang haq dan berada dijalan yang haq pula. Mereka semua juga mengakui kemulian kaum sufi dan menerima tasawuf dan pelajaran-pelajarannya. Bahkan akhirnya beliau pun menemukan jawaban yang memuaskan terhadap tuduhan, propaganda dan musykilat dari para pencaci tasawuf dan sufi yang kemudian dituangkan dalam kitab yang berkualitas dan berbobot, yakni "Ash-Shufiyah; Bi Ma'ayir al-Ilmi wa Syawahid at-Tarikh". 

Adakah yang mengalami sama? 

Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Kisah Kembalinya Ulama Salafi Wahabi Kepangkuan Aswaja". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait