𝗣𝗜𝗟𝗜𝗛-𝗣𝗜𝗟𝗜𝗛 𝗠𝗔𝗞𝗔𝗡𝗔𝗡
"𝘈𝘧𝘸𝘢𝘯 𝘶𝘴𝘵𝘢𝘥𝘻, 𝘢𝘱𝘢 𝘩𝘶𝘬𝘶𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘮𝘱𝘶𝘳 𝘱𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳 𝘮𝘢𝘥𝘻𝘩𝘢𝘣 ?"
𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Baiklah, pertanyaan di atas akan saya jawab dengan menggunakan analogi makanan saja, mengapa ? Pertama agar lebih nyambung, karena sudah kadung saya mulai analoginya di pembahasan sebelumnya.
Dan yang kedua, hampir semua orang koneksinya lumayan lancar kalau bicara yang ada hubungannya dengan kuliner. Karena memang hampir semua orang itu ya sukanya makan. Apalagi makan-makan. Tinggal orangnya mau ngaku atau tidak.
Saya punya teman ngakunya sih hobi baca, ada juga yang katanya gila sama olah raga. Tapi tetap saja mereka ini kalau lagi ngebakso, habisnya bisa sampai dua tiga mangkok lho.
Jadi, sejenak yuk kita dudukkan masalah mencampur dan memilih pendapat antar madzhab itu dalam analogi makanan. Yang tak suka model penjelasan dengan qiyas seperti ini, tidak ada paksaan anda untuk mulai berhenti membaca mulai dari paragraf ini.
𝗕𝗮𝗯 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗮𝗺𝗽𝘂𝗿
Tentang mencampur itu sendiri, harus didudukkan dulu permasalahannya. Karena mencampur makanan itu ada beberapa tingkatan : Ada yang boleh, ada yang boleh tapi kurang pantas, dan ada yang memang tidak boleh.
𝟭. 𝗠𝗲𝗻𝗰𝗮𝗺𝗽𝘂𝗿 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘄𝗮𝗷𝗮𝗿
Kalau anda makan nasi goreng sekaligus campur makan kebab. Sebenarnya yang tepat itu anda bukan sedang mencampur makanan, tapi yang benar anda itu sedang makan nasi goreng sekaligus makan kebab, lalu nambah nasi camour dan lain-lain.
Yang begini termasuk kategori mencampur yang masih wajar dan boleh secara umum. Karena pada kenyataannya, hampir sulit orang hari ini makan sesuatu, di rumah makan hanya dengan satu menu.
Nah, dalam madzhab juga begitu. Hampir sulit sekali hari ini seseorang beragama dengan pakem mengikuti satu madzhab. Dalam kondisi tertentu, lazim dan wajar kita mengamalkan pendapat madzhab syafi'i sekaligus pendapat madzhab yang lain.
𝟮. 𝗠𝗲𝗻𝗰𝗮𝗺𝗽𝘂𝗿 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗻𝗲𝗵
Kalau anda makan bakso dan nasi goreng, tapi cara makannya bakso disiramkan ke piring nasi, atau nasi goreng anda tuangkan ke mangkok bakso, itu sebenarnya sih masih halal dan boleh saja.
Tapi jangan kaget kalau kemudian orang yang ada di sekeliling anda bakal banyak yang melongo dan menatap heran.
Lebih lagi kalau yang anda campur itu yang sesuatu yang ekstrim untuk dimix, semisal rujak cingur, lalu itu diaduk jadi satu dengan soto babat atau bubur ayam misalnya.
Wah rasanya anda akan langsung serasa menjadi iron man. Aneh. Dan akan lebih aneh lagi kalau anda mengatakan ini adalah menu masakan penemuan baru. Bukannya tertarik, orang akan muntah melihatnya.
Begitu juga dengan madzhab, ada yang tak layak dan tak sepantasnya anda paksa untuk dicampur di kondisi tertentu. Secara fiqih mungkin masih dianggap sah, tapi dari sisi kelayakan bahkan bisa dipandang orang sebagai hal yang lebih terlarang bahkan dari yang haram.
Ini sama dengan anda, mengimami shalat lima waktu tidak mau sama sekali menjahrkan basmallah, tapi ketika shalat shubuh malah berqunut secara istiqamah.
Contoh yang juga aneh tapi nyata saya temui, yakni ada imam shalat setiap al Fatihah basmallahnya dia baca pelan, tapi giliran baca surah, malah basmallahnya ia jahrkan. La da lah. Apa coba maksud dan tujuannya kira-kira ?
𝟯. 𝗠𝗲𝗻𝗰𝗮𝗺𝗽𝘂𝗿 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗵𝗮𝗹𝗮𝗹
Mencampur makanan yang tidak boleh, contoh yang paling jelas adalah mencampur makanan halal dengan yang haram.
Kita makan nasi campur, lauk paha kambing, tapi kita siram sedikit dengan kuah babi gule. Ya itu jelas tidak boleh. Semua tahu akan hal itu.
Tapi kan dalam hidangan madzhab bisa dikatakan tidak ada barang atau makanan haram. Kalau toh ada, biasanya penyusup dari luar yang mengaku- ngaku sebagai bagian dari madzhab ahlussunnah wal Jama'ah. Benar, teorinya begitu.
Tapi pada kenyataannya, tetap saja bisa terjadi, bahan makanan halal tertentu, yang dicampur aduk menjadi satu secara tidak benar, akan menjadikan makanan itu tidak toyyib alias berbahaya. Dan kalau sudah tidak aman untuk dikonsumsi, jatuhnya menjadi haram.
Begitu juga percampuran pendapat yang semau-maunya dari madzhab, apa lagi yang niatnya sedari awal sudah tidak baik, yakni untuk mempermainkan syariat, yang ada bisa melahirkan hidangan (baca ; pendapat) yang haram.
Meski pendapat yang dioplos itu adalah fatwa-fatwa dari imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi'i dan imam Ahmad bin Hanbal. Tapi kalau hasilnya berbahaya, haram.
Misalnya apa ? Anda sengaja mencampur antara rukun khutbahnya Maliki yang wajib khutbah berbahasa Arab tapi rukunnya hanya dua, yakni yang berisi ajakan dan peringatan, dengan cara khutbahnya syafi'i yang boleh berbahasa Indonesia tapi rukunnya ada enam.
Lalu dengan itu anda naik mimbar hanya mengucap dua kalimat : "Bertaqwallah, dan jauhi maksiat."
Setelahnya anda turun mimbar. Percaya saja, tak diseret dan dimaki-maki jama'ah anda sudah sangat beruntung.
Contoh lain anda mencampur aduk pendapat empat madzhab dalam masalah pernikahan. Sehingga anda menikah tidak butuh wali, tidak ada saksi, tidak ada mahar bahkan tidak perlu adanya ijab qabul. Jadinya bisa zina.
𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽
Urusan mencampur pendapat madzhab itu tidak bisa dipukul rata, dalam artian boleh semua atau tidak boleh semua.
Memang idealnya beragama itu tak usah neko-neko. Kalau bisa satu jalur tanpa perlu mencampur, itu bagus. Pendapat dalam satu madzhab saja itu ragamnya sudah banyak, nyaris jika karena pertimbangannya faktor kebutuhan tak perlu kita mencampur dengan pendapat yang lain.
Tapi hidup di zaman sekarang ini, dengan arus pergaulan yang deras. Persinggungan antar pendapat yang bebas dan nyaris tak bisa dihindarkan, perfect hanya mengikut satu madzhab setiap saat memang sulit untuk dilakukan.
Sehingga dibutuhkan pengajaran lebih mendalam di hari ini tentang fiqih ikhtilaf, agar perbedaan antar madzhab itu bisa disikapi oleh umat dengan baik. Sebuah kemudahan tapi bukan untuk dijadikan bermudah-mudah dalam beragama.
Kalau toh kemudian harus mencampur karena kondisi tertentu, sebaiknya karena mengikuti fatwa ulama. Bukan karena keinginan pribadi apalagi sekedar pengen tampil beda dari yang lainnya. Atau yang lebih parah, merasa sudah jadi chef ternama karena berhasil mengaduk bakso, gado-gado dan gule kebo jadi satu.
Kalau situ suka menu begituan, ya kunyah aja sendiri. Nggak usah pakai acara maksa orang lain untuk percaya klaim anda bahwa itu adalah hasil penemuan kuliner paling spektakuler di era milineal...
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq