Mati Meninggalkan Tanggungan

Mati Meninggalkan Tanggungan

"MATI MENINGGALKAN TANGGUNGAN"

Masih banyak dari masyarakat kita yang terkesan kurang peduli atau abai terhadap penyelesaian tanggungan-tanggungan mayit, baik tanggungan yang berkaitan dengan haqqullah atau haqqul adami. Penjelasan tentang masalah ini dari da'i-da'i kita juga sepertinya masih kurang. Sebaliknya, masalah penyelesaian tanggungan mayit inilah yang seharusnya banyak disuarakan untuk mengingatkan betapa pentingnya masalah ini bagi keluarga mayit. Ingat, haram hukumnya membagi harta peninggalan mayit sebelum tanggungan atau hutang-hutang mayit diselesaikan. 

1. TANGGUNGAN KEPADA ALLAH (HAQQULLAH)

Pertama, shalat. Jika seseorang meninggal dalam keadaan punya hutang shalat, maka keluarga tidak wajib mengqodho' atau membayar fidyah untuk si mayit. Sebagian ulama' yang mujtahid membolehkan mengqodho' atau membayar fidyah untuk mayit. Dan fidyah yang dibayarkan dalam setiap shalat adalah satu mud (beras 5.5 ons menurut kitab al-Maqayis). Dan fidyah bisa diberikan kepada fakir miskin. 

Kedua, zakat. Dalam madzhab Syafi'i (termasuk Maliki dan Hanbali) seseorang yang wafat dalam keadaan punya beban zakat yang belum dibayarkan semasa hidupnya, keluarga wajib membayar tanggungan tersebut sebelum harta peninggalan mayit dibagi ahli waris. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang memutuskan tidak wajib, sebab sudah tidak mungkinnya niat dari muzakki setelah ia meninggal dunia. 

Ketiga, puasa. Dalam puasa, ulama membedakan antara mayit meninggalkan puasa sebab uzur seperti sakit dan haid dan meninggalkan puasa tanpa uzur. Jika sebab uzur dan mayit belum punya kesempatan mengqodho' sudah meninggal dunia, misal sakit terus menerus hingga wafat, maka keluarga tidak wajib apa-apa selain mayit juga tidak menanggung dosa. Tetapi jika juga sudah ada kesempatan qodho' atau meninggalkan puasanya saat masih hidup tanpa adanya uzur (sengaja tidak berpuasa), walaupun ia belum punya kesempatan meng-qodho', maka kewajiban bagi keluarga adalah memilih antara membayar fidyah (1 mud) untuk mayit atau mengqodho' puasa mayit.

Keempat, haji. Wafat memiliki tanggungan haji untuk saat ini sangat sulit digambarkan, sebab wafat setelah istitho'ah (berkemampuan haji) pada saat antrean panjang seperti saat ini menurut saya tidak mungkin terjadi. Berbeda dengan masa-masa dulu dimana daftar haji tahun ini, misalnya, maka tahun depan sudah bisa langsung berangkat.

Tetapi jika betul mayit memiliki tanggungan haji semasa hidupnya, maka keluarga wajib mencarikan badal haji dengan biaya dari harta peninggalan mayit.

2. TANGGUNGAN KEPADA MANUSIA (HAQQUL ADAMI)

Mayit yang meninggal dalam keadaan memiliki hutang kepada sesama manusia, keluarga wajib membayarnya atau paling tidak menanggung (dhoman atau hawalah dharurat) terlebih dahulu jika belum ada kemampuan membayar hutangnya. Termasuk hutang adalah pinjaman barang, seperti alat pertanian, kitab-kitab agama (biasanya para kyai), baju dan lain-lain yang juga wajib dikembalikan oleh ahli waris mayit kepada pemiliknya. 

Sumber FB Ustadz: Hidayat Nur

Kemarin ada yang minta supaya PBNU memfatwakan bahwa tahlilan (7 hari, 40 hari, 100 hari, setahun, dan 1000 hari) tidak wajib. Alasannya, karena tradisi keagamaan tersebut dianggap memberatkan sebagian kaum muslimin, bahkan sampai ada yang melakukan hutang dan lain-lain. 

Saya setuju jika ada "fatwa" kyai-kyai atau ulama' bahwa tahlilan tidak wajib. Tapi gak perlu juga hingga PBNU yang mengeluarkan fatwa. Saya sendiri sangat sering menyampaikan hal ini kepada masyarakat. Saya juga menyampaikan, bahwa yang wajib bagi keluarga mayit adalah mengurus hutang dan tanggungan mayit, baik tanggungan kepada sesama manusia [hak adami] seperti hutang piutang atau kepada Allah [hak Allah], seperti hutang puasa, hutang haji, hutang zakat dan lain-lain. Sayangnya, hal ini tidak banyak disampaikan para ustadz atau da'i-da'i di masyarakat. Yang banyak hanya pembelaan bahwa tahlilan termasuk bid'ah hasanah atau diperbolehkan oleh ulama'. 

Tapi saya juga mengkritik kepada yang anti tahlilan. Kebanyakan dari mereka juga tidak jujur, lebay, dan asal kritik tanpa didasari ilmu yang cukup atau dalam bahasa Jawa-nya gebyah uyah. (Ustadz Hidayat Nur)

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mati Meninggalkan Tanggungan". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait