Khilafiyah, Adab dan Amanah Ilmiyah

KHILAFIYAH, ADAB DAN AMANAH ILMIYAH

KHILAFIYAH, ADAB DAN AMANAH ILMIYAH

Sarinyala.id 

"Menyikapi khilafiyyah dengan adab bukan dengan nafsu dan harus menjaga amanah ilmiyah"


Makna Khilafiyah 


Secara bahasa, khilafiyah berasal dari kata khalafa - yakhlifu - khilafan yg artinya perbedaan paham. Sedangkan secara istilah, khilafiyah adalah perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih terhadap suatu objek atau masalah dalam urusan agama.


Khilafiyah sering juga disebut ikhtilaf. Istilah ini merupakan lawan kata dari ittifaq yg berarti kesepakatan. Saat terjadi khilafiyah, terdapat perbedaan pandangan di antara ahli hukum Islam (fuqaha) dalam menetapkan perkara yg bersifat furu'iyyah, bukan ushuliyah.


Dalam urusan² yg berkaitan dgn furuiyyah, para ulama dan imam mujtahid tidak pernah menyikapinya dgn ta’ashub berlebihan, jika terjadi perbedaan. Tidak ada tadlil (penyesatan), takfir (pengkafiran) dan tafsiq (menghukumi fasik). Dalam berdakwah, mereka tidak pula sombong, atau memaksakan diri, agar pendapatnya wajib diikuti semua umat.


Perbedaan Itu Keniscayaan


Perbedaan pendapat adalah realitas tak terelakkan dan bukan untuk menyebabkan perpecahan umat Islam. Dan kita pun tak mungkin dapat menghapuskan perbedaan pendapat itu. Upaya² untuk menghapuskan perbedaan pendapat dalam masalah² furu', jika pun ada, akan sia². Karena, seperti dikatakan Muhammad Al-Buthy, upaya demikian bertentangan dengan Hikmah Rabbaniyah dan tadbir (rekayasa) Ilahi dalam syari'at-Nya.


Perbedaan pendapat dalam kebaikan dan syariat adalah sesuatu yg sangat wajar terjadi, karena merupakan keragaman berfikir para ahli ilmu dalam memahami suatu masalah dgn sumber² ilmu yg dimilikinya dan dgn kondisi lingkungan dan zamannya masing².


Perbedaan dalam kehidupan, sudah menjadi sunnatullah, sudah menjadi takdir Allah subhanahu wata'ala dan tidak ada yg bisa merubahnya. Termasuk dari sisi keilmuan dan pengetahuan, bisa melahirkan berbagai perbedaan kepahaman atau perbedaan pendapat, tentang berbagai hal dalam kehidupan, termasuk dalam pemahaman dan praktek keagamaan, khususnya dalam agama kita, Islam.


Perbedaan pendapat dalam agama pun merupakan sesuatu yg sangat biasa di dalam Islam dan tidak perlu dipusingkan, apalagi dijadikan permasalahan. Bila kita mau membaca sirah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, semasa hidupnya, tidak mengingkari adanya perbedaan para sahabat dalam memahami apa yg dikatakannya. Malahan, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam kerapkali membenarkan dua pendapat yg berbeda², selama tidak bertentangan dgn syariat.


Apalagi, Jika mau mempelajarinya dan memahami sejarah tasyri' Islam secara khusus, sejak zaman sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, ulama tabi'in dan tabi'ut tabi'in, sudah terjadi berbagai perbedaan pendapat (ikhtilaf), khususnya dalam masalah cabang² agama (furu’iyah). Itu suatu kenyataan sejarah, yg tidak bisa dipungkiri oleh siapapun. Perdebatan di antara sahabat pun kerap terjadi. Namun, hal tidak memunculkan cacian, ataupun tidak sampai terjadi pembiaran terhadap merebaknya kesesatan apalagi sampai penyuburan penyimpangan agama. Sebab masing² disikapi dgn adil.


Perbedaan dalam alam pikir manusia yg merupakan sunnatullah, haruslah disikapi dgn adil. Adil adalah menempatkannya pada koridor syariah, bukan rasio semata atau hawa nafsu.  Adanya perbedaan, bukannya menjadi dalil untuk membiarkan perbedaan itu berjalan secara liar dalam kehidupan manusia.


Sikap Ulama Terdahulu


Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi Rahimahullah (wafat 869 M, Muskat Oman) dalam kitab sunannya menyebutkan :


Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah (wafat 5 Februari 720 M / 20 Rajab 101 H dalam usia 37 tahun di Aleppo Syuriah) mengatakan : “Aku tidak suka kalau mereka (para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam) tidak berikhtilaf (berbeda pendapat).” Kemudian Beliau mengirimkan (perintah) ke seluruh negeri², agar setiap kaum memutuskan (perkara), sesuai dgn apa yg telah disepakati oleh para  fuqaha’  (ulama) mereka. (Dalam Kitab Sunan Ad-Darimi rahimahullah, bab 52, Ikhtilaful Fuqaha, atsar nomor 641, Maktabah Syamilah).


Imam ‘Aun bin Abdillah bin Jakfar bin Abi Thalib Rahimahullah (wafat 61 H / 680 M di Karbala Iraq) berkata : “Aku tidak suka seandainya para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam tidak berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena, kalau mereka bersepakat atas sesuatu, lalu orang meninggalkannya, maka ia telah meninggalkan sunnah. Tapi, kalau mereka berikhtilaf (berbeda pendapat), dan orang mengambil pendapat salah seorang di antara mereka, ia tetap berpegang kepada sunnah.” (Dalam Kitab Sunan Ad-Darimi; bab 52 Ikhtilaful Fuqaha, atsar nomer 642, Maktabah Syamilah).


Siapa yg mengikuti Imam Ibnu Taimiyah Al-Harrani rahimahullah (wafat 26 September 1328 M, Damaskus, Suriah), maka seharusnya mengikuti Beliau dalam menyikapi perbedaan, sebagaimana pendapatnya yg menukil maqolah Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah sbg berikut :


Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah mengatakan : “Aku tidak suka kalau para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam tidak  berikhtilaf (berbeda pendapat). Karena apabila mereka bersepakat atas suatu pendapat, lalu ada orang yg menyelisihinya, tentulah orang tersebut tersesat. Namun, apabila mereka (para sahabat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa ‘Ala Alihi Wa Sallam) berikhtilaf, lalu ada orang mengambil pendapat yg ini dan orang lain mengambil pendapat yg itu, tentulah dalam hal ini terdapat keluasan.” (Dalam kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimyyah, 7/250; Maktabah Syamilah).


Ragam Madzhab dan Manhaj


Demikian pula di masa sesudahnya, para Ulama yg memiliki ilmu yg mendalam tentang syariat Islam memiliki banyak sekali perbedaan pendapat dalam menyikapi suatu masalah yg sama, sehingga melahirkan beberapa kelompok² pemahaman (fiqh syariah) yg disebut mazhab (jalan berfikir tentang hukum syariat) atau metode (manhaj) yg terbentuk dari pemikiran, penelitian dan kajian hukum, dalil dan sumber² ilmu lainnya tentang suatu hal yg jelas batas² dan bagian²nya dalam syariat Islam.


Perbedaan pendapat para Ulama yg terbentuk dalam beberapa madzhab dan manhaj tsb, sesungguhnya merupakan keluasan dan keluwesan syariat Islam dalam kehidupan, pada setiap situasi tempat, lingkungan dan zaman yg berbeda. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah memiliki pendapat yg berbeda dari pendapatnya sendiri. Pada saat Beliau di Baghdad, dan setelah Beliau berpindah ke Mesir. Perbedaan pendapat Imam Syafi’i tsb, dikenal dgn istilah Qaulul Qadim wa Qaulul Jadid.

Pesan Penting Ibnu Rusyd

Dalam menyikapi perbedaan pendapat khususnya dalam praktek syariat Islam, demi persatuan umat, agar kita mengikuti prinsip yg disampaikan oleh ulama mujtahid Al-Imam Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd Al-Andalusi atau Imam Ibnu Rusyd rahimahullah (wafat 10 Desember 1198 M di Marrakesh, Maroko) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid yaitu: "KITA BEKERJASAMA DALAM HAL YANG DISEPAKATI DAN BERTOLERANSI DALAM HAL YANG DIPERSELISIHKAN."

Perbedaan Dengan Niat Baik 

Perbedaan pendapat dgn niat kebaikan, akan melahirkan persatuan dan itu akan mendatangkan Rahmat dari Allah subhanahu wa ta'ala. Perbedaan pendapat dalam niat keburukan akan melahirkan perpecahan, dan itu akan mendatangkan laknat dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Salah satu adab dalam berbeda pendapat adalah tidak langsung menyalahkan pendapat orang lain, tetapi etikanya harus dikutipkan dulu apa yg menjadi pendapat orang, serta dilengkapi dgn alasan dan argumentasinya.

Kemungkinan Keliru Harus Ada

Oleh karena itu, para pengemban dakwah, harus menganggap pemahaman mereka atas hukum syariah sbg pemahaman yg tepat yg mengandung kemungkinan keliru (fahmu shawaab yahtamilu al-khathaa‘) dan menganggap pemahaman orang lain sbg pemahaman yg keliru, yg mengandung kemungkinan tepat (fahmu al-khatha‘ yahtamilu ash-shawaab). Sehingga, mereka bisa menyeru untuk Islam dan hukum²nya sbg pemahaman yg tepat yg mengandung kemungkinan keliru. Oleh karena itu, tidak dibenarkan para pengemban dakwah mengatakan tentang pemahaman mereka sendiri, bahwa ini adalah pendapat Islam. Namun, mereka harus mengatakan tentang pendapat mereka, ini merupakan pendapat yg islami. Dulu, para imam mazhab dari kalangan mujtahid menganggap istinbath mereka atas hukum syariah sbg pendapat yg tepat, tetapi  mengandung kemungkinan keliru (shawaaban yahtamilu al-khatha‘). 

Demikian juga para pengemban dakwah masa kini, mereka harus menilai pendapat yg mereka adopsi dgn anggapan pemahamannya sbg pendapat yg tepat, yg mengandung kemungkinan keliru.

Adil dengan Amanah Ilmiyah Diniyyah

Dan yg lebih tepat lagi adalah mencoba membenarkan pendapat itu sbg hasil sebuah ijtihad, lalu menampilkan pendapat yg berbeda, juga lengkap dgn dalil dan argumentasinya.

Dua pendapat yg berbeda ini, harus secara jujur dikemukakan dgn adil dan seimbang, tanpa harus menambahi atau mengurangi. Disini wajib ada amanah ilmiyah, yg harus dipertanggung-jawabkan.

Sehingga, para dasarnya kita tidak asal melakukan tuduhan atau melempar kesalahan orang lain. Yang kita lakukan sekedar memberikan penilaian, yg kita upayakan seobjektif mungkin, tanpa diiringi dgn fanatisme buta.

Terakhir, barulah kita boleh memberikan penilaian yg bersifat subjektif, serta dilengkapi dgn ungkapan yg sopan dan beretika. Juga akan menjadi lebih baik, bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yg kita pilih ini bukan kebenaran yg bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara pendapat yg ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat itu bisa saja menjadi benar.

Dan kebenaran hanya milik Allah subhanahu wa ta'ala, atau dgn ungkapan Wallahu a'lam bish shawaab.

Semoga bermanfaat !!

Written from various sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim JAMA'AH SARINYALA Kabupaten Gresik

WEBSITE 

https://www.sarinyala.id/

Facebook Jama'ah Sarinyala https://www.facebook.com/groups/1811379799080690/?ref=share

Facebook 

https://www.facebook.com/sarinyala.id/

YOUTUBE MAJELIS NGAJI SARINYALA https://youtube.com/c/MAJELISNGAJISARINYALA

Twitter @hazanafa @Sarinyala_id

Instagram : ahmadzainialawi 

Sumber FB : Sarinyala.id

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Khilafiyah, Adab dan Amanah Ilmiyah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait