Belajar Adab dari Kitab Bidayatul Mujtahid

Belajar Adab dari Kitab Bidayatul Mujtahid

BELAJAR ADAB DARI KITAB BIDAYATUL MUJTAHID

Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq 

Bidayatul Mujathid adalah kitab fiqih, tepatnya fiqih perbandingan madzhab, namun darinya kita bisa mendapatkan faidah yang banyak termasuk dalam urusan adab para ulama ketika membahas furu'iyah dan khilafiyah.

Ibn Rusyd rahimahullah sang pengarangnya, bukan hanya menjunjung tinggi amanah ilmiah dengan mencantumkan pendapat yang berbeda dengan madzhab yang dianutnya, yakni Maliki, namun beliau juga menempatkan semua perkataan ulama di tempat yang seharusnya.

Tidak akan kita temukan perkataan Ibn Rusyd yang mendeskreditkan apa lagi sampai mencemooh dan menyalahkan pendapat ulama dari madzhab manapun. Dalam kitabnya, beliau mengurai satu persatu fatwa para ulama dan fuqaha berikut dalilnya secara fair dan adil.

Dan diantara fakta unik kitab Bidayatul Mujtahid, dari sekian puluh ribu bahasan yang dimuat di dalamnya, beliau sama sekali tidak melakukan tarjih alias menguatkan pendapat siapapun, kecuali hanya dalam satu masalah yaitu, kasus rendaman air kurma atau Nabizh.

Selebihnya, beliau membiarkan begitu saja semua pendapat tanpa mengatakan yang satu lebih benar dari yang lain. Apalagi menvonis sebagai pendapat salah dan tidak sesuai dengan al qur'an dan sunnah. 

Ibn Rusyd bersikap tawadhu' karena sadar pendapat ulama madzhab yang empat telah tersebar di seantero dunia. Telah berlalu sebelum dirinya masa para ulama dengan jasa yang besar dalam mencerdaskan umat.

Dan beliau bukan orang kerdil yang kemudian mendaku sebagai yang paling tahu sunnah Muhammad shalallahu'alaihi wassalam dan yang paling memahami dalil.

Bentuk adab Ibn Rusyd lainnya adalah ketika ia membawakan pendapat yang aneh dalam fiqih. Di mana pendapat tersebut jika dirunut ternyata sumbernya karena fanatik dan ego semata.

Tapi karena pendapat itu sudah kadung populer di tengah masyarakat, beliau turut mencantumkannya bersama dengan kazanah pendapat ulama lainnya. Hanya saja beliau tidak menyebut atau menisbahkan kepada empunya.

Beliau hanya mengatakan : "Ada kaum berpendapat begini." Atau "Ini pendapat dari suatu kelompok."

Ibn Rusyd mencantumkan pendapat tersebut sebagai amanah ilmiah, namun tidak mencantumkan si pemilik pendapat, selain demi menjaga diri dari ghibah, juga untuk menjaga kehormatan empunya, karena disebabkan pendapat yang sangat syadh (asing) dan tidak berdalil, dikhawatirkan menyebabkan orang akan melecehkannya.

Subhanallah, bandingkan dengan kita hari ini, yang baru pandai menulis satu dua makalah, bertingkahnya luar biasa. Sudah gemar mencaci dan menelanjangi kehormatan orang lain.

Dengan bermodal ilmu yang ala kadarnya, itupun copy paste, kita menghakimi bahwa si fulan itu salah, pendapat ustadz ini sesat, ulama itu keliru. 

Lalu dengan pongah kita mendaku sebagai satu-satunya pemilik kebenaran dan pewaris ilmunya salaful ummah. Innalillah.

Para ulama klasik terdahulu mengajarkan kepada kita untuk merasa bisa saja salah bahkan ketika telah benar. 

رأيي صواب ويحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

“Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selainku itu salah, tapi bisa jadi benar”.

Lalu, jika ada yang merasa selalu benar padahal besar kemungkinan salah, itu yang mengajarkan siapa ?

Wallahu a'lam. 

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Belajar Adab dari Kitab Bidayatul Mujtahid". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait