Tanda Ikhlasnya Belajar adalah Mengamalkan Ilmu

Tanda Ikhlasnya Belajar adalah Mengamalkan Ilmu

Tanda Ikhlasnya Belajar Adalah Mengamalkan Ilmu. 

Kemarin, majlis terakhir bersama Dr. Habib Abdurrahman bin Abdillah al-Saqqaf membaca karya beliau: al-Minhah al-Jazlah. Kitab ringkas yang menghimpun hadits-hadits seputar amalan harian mulai bangun tidur hingga tidur kembali. 

Karena kitab beliau yang isinya hanya hadits seputar amalan, beliau memberikan lampu hijau saat majlis pertama, bahwa majlis ini adalah perjalanan ruhani untuk memberikan gambaran kepada santri yang hadir tentang keseharian nabi, dari pagi hari, hingga akhir malam. 

Di tengah majlis, beliau sering kali menunjukkan kepada para santri “lampu kuning” agar pembacaan hadits ini tidak hanya sebatas menjadi tambahan pengetahuan yang kosong dari pengamalan. 

Misalnya saat melewati hadits tentang siwak, beliau bercerita tentang guru-gurunya dahulu saat membaca kitab-kitab fiqih, saat sudah melewati bab siwak, pasti gurunya akan bertanya kepada santri yang hadir untuk menunjukkan siwaknya. Bahkan beberapa guru beliau, enggan untuk melanjutkan pembacaan kitab fiqih, jika bab siwak belum diamalkan. 

Ini menunjukkan tentang manhaj. Bahwa langkah pertama seorang santri menuju kesuksesan belajar adalah tentang bagaimana ia mengamalkan ilmu. 

Di majlis terakhir tadi, beliau mengingatkan santri yang hadir akan ibarat dari Imam Ghazali, bahwa salah satu tanda orang yang belajar itu ikhlas karena Allah, ia akan mengamalkan ilmunya saat ia memiliki kesempatan untuk mengamalkan. Jika ada santri yang mengetahui suatu amalan itu sunnah, lalu ia menganggap hal tersebut enteng, kemudian dengan mudah meninggalkannya, maka bisa diketahui bahwa tujuan belajarnya hanya ingin unggul dari teman-temannya, berbangga diri, mendapatkan pujian, dan perhatian dari masyarakat

Jika ilmu yang dimiliki tidak diamalkan, lalu untuk apa ia belajar? Berharap agar orang lain yang mengamalkan, padahal diri sendiri lalai? Berharap ia bisa berkhidmat dengan agama? Padahal agama ini terlalu besar dan suci untuk diurus oleh orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri. 

Imam Ghazali dalam Bidayatul Hidayah, menyebut orang yang tujuan belajarnya hanya sebatas untuk mendapatkan pujian, dan yang sejenisnya, ia sejatinya hanya sedang berusaha menghancurkan agamanya, membinasakan dirinya, dan sedang menjual akhiratnya demi mendapatkan dunia yang sangat sedikit itu.

Apa yang dikatakan Imam Ghazali adalah benar adanya, sebab orang yang mencari ilmu dengan tujuan tersebut, sebanyak apapun ilmu yang didapat, ia tidak akan pernah tenang jika belum mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia akan berusaha mencari cara, demi merealisasikan cita-citanya, menjadi perhatian orang banyak, dan mendapatkan pengakuan dari teman-temannya. 

Saat mengklasifikasi santri, al-Ghazali membuatnya menjadi tiga golongan, pertama, santri yang menjadikan ilmu sebagai bekal menuju akhirat. Kedua santri yang mencari ilmu untuk membantu kehidupan dunianya, agar mendapatkan pangkat dan harta, namun ia sadar bahwa jalan dia salah, menurut Al-Ghazali, jika santri yang seperti ini wafat sebelum ia taubat, ditakutkan ia akan suul khatimah, namun jika ia berhasil taubat, dan memperbaiki niat serta sungguh-sungguh mengamalkan ilmunya, maka ia akan digabung dengan golongan santri yang awal. 

Ketiga, adalah golongan santri yang sudah dikuasai oleh sifat “setan”, ia menjadikan ilmunya sebagai perantara untuk memperbanyak harta, berbangga dengan ilmu yang ia miliki, busung dada karena banyak yang hadir majlisnya, dengan ilmunya ia gunakan untuk masuk ke segala lini agar hartanya semakin banyak, bersamaan dengan itu semua, ia merasa di dalam dirinya, ia merupakan orang yang memiliki pangkat di sisi Allah. Ia merasa Allah memberikan ia kekhususan dengan ilmu yang mumpuni, dan harta yang sangat banyak. 

Bajunya baju ulama, pakaiannya adalah pakaian orang shalih, cara bicaranya terlihat seperti orang yang sangat khusu', padahal zhahir dan hatinya isinya hanya dunia dan dunia. Al-Ghazali menyebut orang yang seperti ini adalah orang yang telah tertipu, dan sangatlah bodoh. Harapannya untuk taubat sangatlah tipis, atau bahkan sangat sulit, sebab ia sudah merasa baik.

Ingin tau diri ini ada digolongan mana? Kata Al-Ghazali, lihat saja isi dari kitab Bidayah karya beliau, jika anda semangat mengamalkan isinya, maka bisa jadi anda ada digolongan pertama, tapi jika anda merasa malas, dan sulit untuk diamalkan, silahkan cek ulang niat belajar anda. 

Tulisan ini ditulis sebagai pengingat bagi penulis pribadi yang sedang tersesat terlalu jauh dari niat yang baik. Semoga para guru-gurunya berkenan menarik tangannya kembali menuju jalan yang semestinya. Amiin. 

**

Jum'at, 5 Agustus 2022.

Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil

5 Agustus 2022 pada 06.45  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Tanda Ikhlasnya Belajar adalah Mengamalkan Ilmu". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait