Jika Perbedaan itu Rahmat, Lalu Apakah Sepakat itu Azab?
Ada sebuah hadits yang sangat masyhur tentang perbedaan pendapat. Yaitu hadits: Ikhtilafu Ummati Rahmah, yang diartikan dengan perbedaan umatku adalah rahmah, sebuah bentuk kasih sayang dari Tuhan.
Menurut penelusuran Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Ahdal dalam kitab Ifadah Al-Sadah Al-Umad, hadits ini disebutkan oleh Imam Badruddin Zarkasyi dalam kitab Al-Ahadits Al-Musytaharah yang mana di sana beliau menuliskan jika hadits ini beliau kutip dari kitab Al-Hujjah karya Syekh Nashr Al-Maqdisi.
Meskipun menyebutkan sumber kutipan, tapi Imam Badruddin Zarkasyi tidak menyebutkan sanad dari hadits tersebut, tidak juga sahabat yang menjadi periwayat haditsnya.
Imam Subki dalam kitab Al-Halabiyyat memberikan komentar: “Hadits ini, tidak diketahui oleh ahli hadits. Saya pun belum pernah menemukan sanad hadits ini, baik sanad yang shahih, dhaif, maupun palsu. Bahkan menurut perkiraan saya, hadits ini belum ditemukan sumber aslinya.”
Syekh Muhammad al-Ahdal menilai, meskipun hadits dengan lafadz tersebut belum ditemukan asalnya, bahkan sanadnya, tapi ada hadits-hadits lain yang diriwayatkan dengan makna yang sama.
Misal hadits yang diriwayatkan oleh al-Thabrani juga Imam al-Baihaqi dengan sanad yang lemah: Ikhtilafu Ashabi Lakum Rahmah. (Perbedaan pendapat para sahabatku merupakan bentuk rasa kasih sayang kepada kalian).
Kemudian juga sebuah atsar yang mauquf kepada Al-Qasim bin Muhammad yang diriwayatkan oleh Ibn Sa'ad dan Imam Al-Baihaqi: Ikhtilafu Ashabi Muhammadin Rahmah Li Ibadil Allah. (Perbedaan sahabatnya Muhammad adalah kasih sayang bagi hamba-hamba Allah).
Makna kasih sayang pada riwayat-riwayat ini, bahwa orang yang kesulitan dengan pendapat Mazhab tertentu, maka boleh baginya mengambil kemudahan dari pendapat Mazhab lain. Tentu dengan syarat-syarat yang sudah ditetapkan.
**
Walhasil, hadits dengan teks: Ikhtilafu Ummati Rahmah, belum ditemukan asal dan sanadnya. Meskipun begitu, ada hadits dan riwayat yang lain yang senada yang bisa kita gunakan.
Di balik itu, ada beberapa orang yang keberatan dengan makna dari hadits ini. Katanya, jika perbedaan adalah rahmat, maka kesepakatan berarti adzab?
Imam Al-Khattabi dalam Gharib Hadits menyebut kritikan ini muncul dari pemahaman yang kurang dalam terhadap makna dari riwayat tersebut.
Pemahaman tersebut berasal dari Amru bin Bahr yang dikenal dengan Al-Jahidz, seorang sastrawan juga cendikiawan yang memiliki berbagai karya dalam bidang literatur Arab, Teologi, Sejarah, Filsafat, dan karya lainnya. Al-Khattabi menyebut dalam kitab tersebut, al-Jahiz sebagai orang yang tersesat dan dicurigai dalam pemahaman agamanya.
Orang yang kedua adalah Ishaq bin Ibrahim al-Mushili, salah seorang musisi yang terkenal di masa Khilafah Abbasiyah. Ini dinilai oleh al-khattabi sebagai orang yang dungu dan fasiq. Meskipun ia memiliki kelihaian dalam ilmu adab dan beberapa ilmu agama, namun ia lancang menulis buku yang mencerca ahli hadits dan memberikan komentar pada makna dari riwayat perbedaan pendapat adalah rahmat.
Al-Khattabi menilai orang-orang tersebut sok cerdas dengan menganggap diri mereka sebagai ulama lalu menafsirkan makna Hadits seenak keinginannya. Mereka menilai, bahwa makna dari perbedaan pendapat adalah rahmat, itu hanya berlaku pada zaman Rasulullah, saat para sahabat berbeda pendapat, lalu mereka bertanya kepada Rasulullah, dan Rasulullah langsung memberikan jawaban. Tentu pendapat mereka ini salah.
Makna dari riwayat perbedaan umatku adalah rahmat merupakan kasih sayang dengan memberikan keluasan pada hukum-hukum syariat sehingga seorang muslim dapat memilih dengan syarat tertentu. Perbedaan ini hanya pada cabang hukum, bukan pada soal ushul agama.
Lalu jika perbedaan adalah rahmat, apakah kesepakatan adalah azab?
Imam Nawawi pun dalam Syarah Shahih Muslim mengomentari: menetapkan sesuatu itu rahmat, bukan berarti menetapkan kebalikan dari sesuatu itu merupakan azab.
Jika kita katakan terjaga dari tidur itu baik untuk melakukan aktifitas, apakah lalu tidur menjadi tidak baik? Jika kita katakan kehidupan adalah sesuatu yang kemaslahatan, lalu kematian hanya berisi kerusakan? Atau turunnya hujan itu adalah rahmat, lalu jika hujan tidak turun lalu rahmat juga tidak turun? Tentu jawabannya tidak.
**
Fahrizal Fadil.
Rabu, 3 Agustus 2022.
Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil
3 Agustus 2022 pada 17.44 ·