Pembaharuan Dalam Fiqih Haid, Nifas dan Istihadhah, Mungkinkah?

PEMBAHARUAN DALAM FIQIH HAID, NIFAS DAN ISTIHADHAH, MUNGKINKAH?

PEMBAHARUAN DALAM FIQIH HAID, NIFAS DAN ISTIHADHAH, MUNGKINKAH?

Kita semua harus mengakui, bahwa dalil-dalil naqli dalam bab haid, nifas, dan istihadhah sangatlah sedikit. Di kitab fiqih juga sharih disebutkan bahwa permasalahan batas minimal haid misalkan, dalilnya adalah istiqra' (induksi), begitu juga dengan banyak permasalahan lainnya. Bisa dibilang, selain pembahasan hal-hal yang diharamkan bagi wanita haid-nifas, hukum yang dihasilkan dari istiqra lebih banyak daripada yang dihasilkan dari dalil naqli.

Syeikh Sayyid Abdurrahman Assegaf penulis kitab al-Ibanah wal Ifadhah fi Ahkam Haid wa Nifas wal Istihadhah menyatakan "landasan fikih haid ada yg naqli, ada juga yg istiqra. Sehingga, yg berlandaskan istiqra boleh jadi butuh pembaruan. Karena objek dan metode istiqra' selalu berkembang". 

Ya, jika ada wacana pembaruan dalam fiqih darah wanita, mungkin saja, karena istiqra yang dilakukan Imam Syafii adalah istiqra naqish, hanya dilakukan pada wanita di zamannya. Sebagaimana diketahui bahwa Istiqra naqish menghasilkan hukum dzan tidak sampai pada derajat qath'i. Jika ada yang mau melakukan istiqra ulang, maka sah-sah saja, apalagi dikuatkan dengan perkembangan medis di era modern ini, seharusnya bisa menjadi faktor yang mendukung. 

Namun, seperti apa wacana pembaharuan yang ingin digaungkan?

Nah, ini yang harus dikaji terlebih dahulu. 

Syeikh Abdurrahman Assegaf di kesempatan lain juga menyatakan bahwa istiqra Imam Syafii di bab darah wanita masih relevan dipakai di masa kini. Benarkah pernyataan beliau ini?

Coba kita lihat contohnya dalam bab hukum wanita hamil, di qaul qadimnya Imam Syafii menyatakan wanita hamil tidak bisa haid, ini juga merupakan pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah, secara logika jelas, kehamilan adalah penghalang dari haid. Namun, di qaul jadid Imam Syafii menyatakan bahwa wanita hamil bisa haid. Syeikh Dr. dr. Yusri Jabr Sp.BTKV., Lc. seorang alim yang berprofesi sebagai dokter dan Bidan Mustika, amd, Keb. Lc. menyatakan "wanita hamil bisa haid, meski kasusnya sangat jarang", dan Anda tahu sendiri, penelitian medis itu trus berkembang. Saya juga menemukan seorang kenalan yang mengalami pendarahan saat hamil, meski darahnya sedikit berbeda karna kondisi kehamilan namun saat dicek di laboratorium itu bukan darah penyakit, janin sehat, ibu sehat, plasenta aman, bukan infeksi kandung kemih, kata dokternya apa: yaa darah sehat. See! Begitu hebatnya Istiqra Imam Syafii padahal di zaman tersebut belum ada usg - laboratorium.

Dalam permasalan lain, darah yang keluar saat kontraksi (thalq), dalam mazhab Syafii menyatakan bahwa darah ini bukan nifas karena nifas adalah darah setelah janin dilahirkan, bukan pula darah haid kecuali bila bersambung dengan darah haid sebelumnya. Jika ditelisik secara medis, darah saat kontraksi berasal dari serviks, saat proses melahirkan serviks yang memiliki banyak pembuluh darah mengalami proses penipisan, pelunakan dan pembukaan, inilah yang menyebabkan pendarahan pada sebagian wanita saat proses melahirkan. Jelas, darah saat kontraksi bukan berasal dari dinding rahim sebagaimana asal darah haid. Lihat! Betapa pendapat fuqaha Syafiiyah masih sangat relevan - senada dengan pendapat medisnya. 

Ini juga selaras dengan apa yang disampaikan Syaikhuna Yusri bahwa istiqra yang dilakukan Imam Syafii sangat luas, yaitu dilakukan di Yaman, Hijaz, Irak dan Mesir. Beliau bertanya dan meneliti adat dan siklus haid, nifas dan istihadhah para wanita di masa tersebut juga bertanya pada qawabil (sejenis bidan yang membantu kelahiran) untuk merumuskan fiqihnya.

Lalu, bagaimana jika saya meminta bantuan medis untuk membedakan antara darah haid, nifas dan istihadhah, biar tidak pusing-pusing lagi belajar fiqihnya? 

Jawabannya sudah pernah saya tulis di status lama: 

Darah Wanita Perspektif Syariat dan Medis

Dan permasalahan ini, berkaitan dg jawaban atas pertanyaan: apakah pintu ijtihad sudah tertutup? Tapi ternyata postingan ini sudah cukup panjang, jadi sekian dulu. 😀

Intinya jangan lupa, bahwa salah satu komponen ijtihad adalah pribadi mujtahid yang kapabel. Sehingga dalil yang ada dipakai dengan pendekatan ushul fiqih yang jelas hingga menghasilkan hukum yang bisa diakui. Bukan malah menghasilkan pendapat yang aneh-aneh dan melabrak tsawabit dien seperti pendapat: bolehnya perempuan haid berpuasa. Tentu ini sangat tidak selaras dengan spirit tajdid yang digaungkan para ulama dalam menolak kejumudan.

Wallahu Ta'ala A'la wa A'lam. 

baca juga kajian tentang muslimah berikut :

Sumber FB Ustadzah : Sheila Ardiana

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Pembaharuan Dalam Fiqih Haid, Nifas dan Istihadhah, Mungkinkah?". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait