Salah Faham Dalam Memahami Ucapan Imam Syafii

Salah Faham Dalam Memahami Ucapan Imam Syafi'i

Salah Faham Dalam Memahami Ucapan Imam Syafi'i

Banyak sekali orang yang salah faham dalam memahami ucapan Imam Syafi'i: “Jika Hadits itu Shahih, maka ia adalah Mazhabku.” Orang-orang itu menggeneralisir khitabnya untuk siapapun, bahkan bagi orang yang tidak mumpuni dalam agama.

Pertama kali yang perlu diketahui, bahwa tidak hanya Imam Syafi'i yang mengucapkan kalimat demikian. Bahkan Imam Madzhab yang lain pun juga sejalan dengan ucapan tersebut. Dalam Mazhab al-Hanafi, ada al-Allamah Ibnu al-Syihnah yang dalam kitab Syarah al-Hidayah mengatakan hal yang sama dengan apa yang dikatakan Imam Syafi'i. Dalam Mazhab Syafi'i pun ada Imam Nawawi yang terkenal memiliki banyak Ikhtiyarat (pandangan pribadi beliau yang keluar dari pendapat Mazhab) karena mengedepankan Hadits. 

Intinya, ucapan Imam Syafi'i itu adalah hal yang lumrah dan biasa. Karena setiap orang muslim pasti akan mengedepankan Hadits yang menjadi sumber syariat setelah Al-Quran dari pada pendapat pribadinya. Yang jadi masalah, apa makna yang sebetulnya dari ucapan Imam Syafi'i? Dan siapa objek dari ucapan beliau itu? Apakah semua orang?

Syekh Taqiyuddin al-Subki dalam risalah Ma'na Qaul al-Imam al-Muthallib, menerangkan ada 3 makna yang terkandung dalam ucapan Imam Syafi'i: Pertama, keterbukaan Imam Syafi'i dalam menerima hadits dari mana pun itu, baik Hijaz maupun Syam. Ini menjadi pembeda dengan Imam Malik yang hanya mengambil riwayat hadits dari ulama Hijaz dan menolak sebagian besar hadits yang berasal dari selain Hijaz. 

Kedua, keterbukaan Imam Syafi'i dalam menggunakan hadits ahad jika hadits tersebut berstatus shahih. Ini berbeda dengan Imam Hanifah yang ketat dalam menerima hadits shahih jika tidak sesuai dengan kaidah yang beliau tetapkan. 

Ketiga, kelapangan dada Imam Syafi'i untuk menerima perubahan hasil ijtihad jika hadits yang disampaikan kepada beliau shahih dan tidak memiliki kelemahan. 

Lalu siapakah yang berhak untuk mendapatkan mandat dari Imam Syafi'i itu? 

Jika kita mengatakan bahwa untuk semua orang, itu hal yang sangat tidak mungkin. Orang yang belum mengerti ilmu bahasa Arab, lalu menjelaskan Nash dalil yang seluruhnya bahasa Arab, justru akan melahirkan kesimpulan yang keblinger. 

Jika itu tidak mungkin untuk semua orang, berarti kalimat itu hanya untuk orang khusus. Orang yang bagaimana? Imam Nawawi dalam awal kitab Majmu' Syarah al-Muhadzab (1/64) mengatakan:

“Apa yang dikatakan Imam Syafi'i ini bukan berarti setiap orang yang menemukan hadits shahih berhak mengatakan hadits ini adalah Mazhab Imam Syafi'i. Ucapan Imam Syafi'i ini arahnya khusus untuk orang yang sudah sampai kepada derajat ijtihad dalam Mazhab. Syarat untuk sampai kesana (hingga bisa berpendapat atas Hadits shahih): adalah orang yang sudah meneliti, dan kemudian melahirkan dugaan kuat bahwa Imam Syafi'i belum menemukan Hadits tertentu, atau sudah ketemu namun belum memastikan kesahihan Hadits itu. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah membaca dengan serius semua buku Imam Syafi'i, dan kitab-kitab karya murid dan ashab al-Syafi'iyyah setelahnya. Atau yang sejenisnya.”

Imam Nawawi melanjutkan, bahwa syarat yang beliau sebutkan itu sangat sulit, bahkan sangat jarang orang yang bisa melakukannya. Syarat yang begitu sulit ini lahir karena Imam Syafi'i itu sebetulnya banyak tidak mengamalkan Hadits yang sudah ia dapati karena ada "sesuatu" pada hadits tersebut, misal ada cacat pada perawi Hadits atau yang lainnya. Atau Imam Syafi'i melihat Hadits itu sudah dinaskh dengan Hadits lain, atau ada yang mengkhususkan, atau ada makna yang ditakwil, atau hal yang sejenis yang membuat beliau tidak menjadikan Hadits itu sebagai dalil.

Contoh yang sering disebut seperti hadits:

أفطر الحاجم و المحجوم.

“batal puasa orang yang membekam dan dibekam.”

Hadits ini oleh Abu al-Walid Musa bin Abi al-Jarud, seorang Faqih dan Mufti di Mekkah, dianggap sebagai hadits shahih. Kata beliau, karena hadits ini shahih, maka sah baginya untuk mengatakan bahwa imam Syafi'i berpandangan batalnya puasa orang yang membekam dan dibekam. 

Kemudian pendapat al-Jarud ini juga diikuti oleh Abu al-Walid Hasan bin Muhammad al-Naisaburi, bahkan beliau sampai bersumpah, bahwa inilah yang sesuai dengan Mazhab. 

Namun pendapat kedua faqih tersebut disalahkan oleh ahli fiqih yang lain; karena Imam Syafi'i sudah tau jika hadits tersebut dihukumi Shahih, tapi ada hadits lain yang menggantikan isi hukumnya. 

Ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas bahwa Rasulullah dibekam saat beliau sedang ihram sekaligus sedang berpuasa. 

Setelah melihat secara teliti dan telaten, Imam Syafi'i menyimpulkan dua hadits tersebut sebagai berikut: Hadits pertama itu diriwayatkan oleh Syaddad Ibnu Aus pada tahun Fath Makkah (8 H), dan saat itu beliau sedang tidak ihram. 

Sedangkan hadits riwayat Ibnu Abbas itu diriwayatkan saat nabi sedang ihram, yang mana saat itu haji sudah diwajibkan. Haji diwajibkan tahun 9 H, maka Ibnu Abbas meriwayatkan hadits itu pada tahun ke 10 H. Kesimpulannya, hadits Ibnu Abbas lebih akhir dari hadits Syaddad, dan sekaligus hadits yang lebih akhir menaskh hadits yang lebih awal. Oleh karena ini Imam Syafi'i mengatakan orang yang dibekam tidak batal puasanya. 

Jadi tidak ujug-ujug ada hadits Shahih langsung bilang ini Mazhab Syafi'i. Lihat itu proses yang berlangsung. Panjang dan melelahkan. Jika tidak ingin lelah, ikut Mazhab saja. 

Lihat saja Ibnu al-Jarud yang notabenenya adalah murid Imam Syafi'i, bahkan ia Mufti di Mekkah pada masanya. Kemudian Abu al-Walid al-Naisaburi seorang Imam yang dikenal luas ilmunya, masih terpleset saat melihat hadits shahih. Lalu bagaimana dengan kita, yang bahkan ucapan Imam Mazhab saja runyam untuk difahami?! 

Ibnu 'Abidin dalam Hasyiahnya Radd al-Muhtar memberikan komentar terhadap kalimat Imam Syafi'i tersebut:

و نقله أيضا الإمام الشعراني عن الأئمة الأربعة، و لا يخفى أن ذلك لمن كان أهلا للنظر في النصوص.

“Ucapan yang senada juga dikutip oleh al-Imam Sya'rani dalam Imam 4 Mazhab, dan tidak samar alias begitu jelas, bahwa ucapan tersebut dituju bagi orang yang berhak untuk berpendapat pada nash-nash agama.”

Kalimat tidak samar yang diucapkan oleh Ibnu 'Abidin tersebut, artinya sangat mudah difahami tanpa harus lelah berfikir. Mudahnya memahami objek ucapan Imam Syafi'i semudah memahami orang yang mengatakan bahwa langit di atas, atau matahari itu bercahaya, tanpa perlu berfikir, kita sudah faham maksud dari ucapan itu. Lalu ada orang yang tidak memahami apa yang diucapkan oleh Imam Syafi'i ingin mencoba memahami hadits dengan isi kepalanya sendiri?

~~

Fahrizal Fadil. 

Minggu, 8 Mei 2022.

Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil

9 Mei 2022

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Salah Faham Dalam Memahami Ucapan Imam Syafii". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait