Hukum Lebaran Ketupat

Hukum Lebaran Ketupat

HUKUM LEBARAN KETUPAT

Sarinyala.id 

Istilah Kegiatan terkait syawalan seperti Riyoyo Kupatan atau Lebaran Ketupat adalah salah satu tradisi kearifan lokal, khususnya masyarakat muslim pulau Jawa, yg dilaksanakan setelah hari raya Idul Fitri, tepatnya seminggu setelah Idul Fitri atau 1 Syawal. Perayaan tradisi lebaran ketupat ini, dilambangkan sebagai simbol kebersamaan, terkait budaya, sosial dan keagamaan.

Selain itu, tradisi lebaran Ketupat juga memiliki fungsi perayaan atau seremoni bagi kaum Muslimin yg menunaikan puasa Syawal. Sebab, dalam banyak hadits, ibadah puasa tujuh hari di bulan Syawal (mayoritas melaksanakannnya selepas Idul Fitri), memiliki KEISTIMEWAAN (fadhilah) yg sangat melimpah. 

Makanya, lebaran ketupat dihadirkan dalam ruang sosio-budaya, sbg bentuk PENGHORMATAN teruntuk mereka yg menjalankan puasa tsb. Kemudian, dari sanalah lebaran Ketupat lahir sbg kultur budaya religi Jawa, yg mengakar hingga masa kini.

Filosofi ketupat

Banyak makna filosofis yang dikandung dalam makanan ketupat ini. Misalnya, kata “KETUPAT” atau “KUPAT” berasal dari kata bahasa Jawa “NGAKU LEPAT” yg berarti “MENGAKUI KESALAHAN”. 

Pengertian yg lain, kata KUPAT berasal (serapan) dari bahasa Arab, yaitu KAFAT atau KAFFAH, yg maknanya adalah MENYELURUH atau TOTALITAS. Maksudnya, dapat dilihat dalam dari ayat Alquran Surat Al-Baqarah ayat 208 berikut ini :

يَا اَيُّهَا الَّذِينَ اَمَنُوا ادْخُلُوا فِى السِّلْمِ كآفَّةً.

“Hai orang² yg beriman, masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara kaffah."

Sehingga dgn ketupat, sesama Muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan dgn cara silaturrahim, saling memberi dan menerima serta memakan ketupat tsb bersama².

Produk Historical Budaya

Secara historis, lebaran ketupat itu memang bagian dari produk budaya. Jelas, yg namanya produk budaya bukan sesuatu yg mesti harus ada. Ia lahir dari rahim budaya, bukan berasal dari ajaran agama yg qath’i (pasti) dan tidak dapat ditawar² lagi. Namun, meski begitu, ia ada dibentuk dari sesuatu yg memiliki koneksasi dan spiritualitas dgn ajaran agama. 

Pemulaan historisitas yg masyhur, dimulai dari inisiatif Walisongo rahimahumullah, khususnya Sunan Kalijaga rahimahullah (1450 M Tuban - 1513 M Kadilangu, Demak), memoles wajah tradisi budaya yg kontra dgn nilai² suci agama Islam, menuju tradisi yg berkesesuaian dgn Islam. Dari sanalah kemudian lebaran Ketupat berakar dan membudaya hingga ini masa.

Hukum

Jika ditanya hukumnya, kita perlu  memahami suatu kaidah fiqih (Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah) yaitu : 

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

Al ‘Adatu Muhakkamatun (“adat kebiasaan atau tradisi adalah dapat dijadikan dasar hukum).

Al-‘aadah muhkamah secara bahasa AL-‘AADAH diambil dari kata AL-‘AUD (العود) atau AL-MU’AWADAH ( المعاودة) yg artinya BERULANG (التاكر ار).

Imam Zainuddin Bin Ibrahim Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Bin Bakar Al-Hanafi Al-Mishri atau Imam Ibnu Nujaim rahimahullah (926 - 970 H / 1520 - 1562 M di Mesir) mendefinisikan istilah AL-‘AADAH sbg berikut :

عبارة عما يستقق ر في ا لنفو س من الا مو ر المتكررة المقبولة عند الطباع الساليمة

“Sesuatu ungkapan dari apa yg terpendam dalam diri, perkara yg berulang² yg biasa diterima oleh tabi’at (perangai) yg sehat.”

Menurut ulama pencetus ilmu balagah, pakar ilmu nahwu, ilmu kalam, dan fiqih - Ushul fiqih, Al-Imam Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdur Rahman bin Muhammad Al-Jurjani Asy-Syafi'i Al-Asy'ari atau Imam Al-Jurjani rahimahullah (wafat 471 H / 1078 M) :

العادة ا استمر النفس عليه على حكم المعقول وعا دوا اليه مرة بعد اخرى

“AL-‘AADAH ialah sesuatu(perbuatan/perkataan) yg terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang²inya terus menerus”.

Sebagian ulama, mengartikan  AL-‘AADAH dalam pengertian yg sama dgn AL-URF, karena substansinya sama, meskipun dgn ungkapan yg berbeda, misalnya al-‘urf di definisikan dgn :

العرف هو ما تعارف عليه الناس واعتاده فى اقوالهم وافعالهم حتى طار ذالك مطردا غالبا

‘URF adalah apa yg dikenal oleh manusia dan mengulang²nya dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tsb menjadi biasa dan berlaku umum.”

Menurut ulama Ahli Ushul fiqh dan pakar Tarikh Tasyri Islam, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo Mesir, Syaikh Prof DR. Abdul Wahab Khallaf rahimahullah (1888 - 1956 M) :

العرف هو ما تعارفه النس وسار عليه من قول او فعل اوترك ويسمى العادة وفى لسان الشرعيين لافرق بين العرف والعادة

“AL-‘URF ialah sesuatu yg telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari : perkataan, perbuatan atau sesuatu yg ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dgn AL-‘AADAH dan dalam bahasa ahli syara’, tidak ada perbedaan antara al-‘urf dan al-‘aadah."

Jika kita memperhatikan ta’rif² diatas, yg diberikan oleh beberapa ulama yg ahli di bidangnya, maka bisa di fahami bahwa istilah AL-‘URF dan AL-‘AADAH adalah SEMAKNA, yg merupakan PERBUATAN atau PERKATAAN.

Dengan ketentuan, keduanya harus betul² telah berulang² di kerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yg sehat tabi’at yg sejahtera, mengandung hal yg bermanfaat dan tidak bertentangan dgn syara’.

Sebaliknya, tidaklah termasuk dalam pengertian al-‘aadah dgn al-‘urf, hal² yg membawa kerusakan, kedurhakaan dan tidak ada faedahnya sama sekali.

Berdasarkan Adat Zaman Rasulullah

Diantara perbuatan yg hukumnya oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, ditetapkan berdasarkan ADAT ialah seperti yg diterangkan hadits berikut ini :

قدالنبي صلى الله وسلم المدينة وهم يسلفون فىالسمار السنة والسنتين فقال: من سلف في شمر فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم الى اجل معلوم ( اخرجه البجارى عن ابن عباس

“Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam datang di Madinah, mereka (penduduk madinah) telah biasa member uang panjar (uang muka) pada buah²an untuk waktu satu tahun atau dua tahun. Maka, nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda : barang siapa yg memberi uang panjar pada buah²an, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yg tertentu, timbangan yg tertentu dan waktu yg tertentu.”

Demikianlah, maka semua kebiasaan yg bermanfaat dan tidak bertentangan dgn syara dalam muammalah seperti dalam jual beli,  sewa menyewa, kerja samanya pemilik sawah dgn penggarap, termasuk dalam hubungan budaya yg terjadi di tengah masyarakat dan sebagainya adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada ADAT KEBIASAAN atau URF’ yg berlaku.

Dalam hubungannya dgn kaidah ini, mayoritas para fuqoha’ mengatakan :

كل ما ورد بهالثرع مطلقا ولا ظا بط له فيه ولا فى اللغة يرجه فيه الى العرف

"Semua yg datang dari syara’, secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf’.”

Hadits riwayat dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu Anhu (wafat 650 M, Jannatul Baqi' Madinah) bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda :

مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ

"Apa yg dipandang baik oleh orang² Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yg dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sbg perkara yg buruk" (HR. Imam Ahmad, Imam Al-Bazzar, Imam Ath-Thabrani rahimahumullah dalam Kitab Al-Kabiir).

Menurut ulama Al-Azhar

Hari Raya Ketupat bukan tambahan ibadah, tidak ada unsur² ibadah sama sekali. Hanya sekedar bentuk menghantar sedekah makanan berbentuk ketupat. Bagaimana hukum perayaan semacam ini ?

Berikut ringkasan fatwa ulama Al-Azhar, Mesir :

ﻣﺎ ﺭﺃﻯ اﻟﺪﻳﻦ ﻓﻰ اﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﻌﺾ اﻟﺪﻭﻝ ﺑﺄﻋﻴﺎﺩ ﻣﺜﻞ ﺃﻋﻴﺎﺩ اﻟﻨﺼﺮ ﻭﻋﻴﺪ اﻟﻌﻤﺎﻝ ﻭﻋﻴﺪ ﺭﺃﺱ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ؟

"Apa pandangan Islam tentang perayaan di sebagian negara seperti memperingati hari kemerdekaan, hari buruh, perayaan awal tahun dan sebagainnya ? "

Seorang Mufti Mesir, yg dikenal sbg ulama ahli Fiqih  bermadzhab Syafi'i dan menguasai berbagai disiplin ilmu seperti Nahwu, Hadits, Ushul Fiqih, Mantiq, dan Tafsir, yaitu Syaikh Athiyyah bin 'Athiyyah Al-Ajhuri Asy-Syafi'i Al-Burhani Adl-Dlarir Al-Azhari Al-Mishri atau Syekh Athiyyah rahimahullah (wafat 1190 H / 1776 M) menjawab :

ﻭﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺩﻳﻨﻰ ﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻌﻴﺪﻯ اﻟﻔﻄﺮ ﻭاﻷﺿﺤﻰ، ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻏﻴﺮ ﻣﻨﺼﻮﺹ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﺎﻟﻬﺠﺮﺓ ﻭاﻹﺳﺮاء ﻭاﻟﻤﻌﺮاﺝ ﻭاﻟﻤﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻮﻯ

(Hukum Memperingati Hari Besar) kaitannya dgn agama ada 2 : Pertama, adalah dijelaskan dalam agama seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Kedua, tidak dijelaskan dalam agama seperti hijrah, Isra’ dan Mi’raj, serta Maulid Nabi

ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻣﺸﺮﻭﻉ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﺆﺩﻯ ﻋﻠﻰ اﻟﻮﺟﻪ اﻟﺬﻯ ﺷﺮﻉ، ﻭﻻ ﻳﺨﺮﺝ ﻋﻦ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻨﺼﻮﺻﺎ ﻋﻠﻴﻪ، ﻓﻠﻠﻨﺎﺱ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﻗﻔﺎﻥ، ﻣﻮﻗﻒ اﻟﻤﻨﻊ ﻷﻧﻪ ﺑﺪﻋﺔ، ﻭﻣﻮﻗﻒ اﻟﺠﻮاﺯ ﻟﻌﺪﻡ اﻟﻨﺺ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻌﻪ

"Perayaan yg dijelaskan dalam Islam hukumnya disyariatkan dgn syarat dilakukan sesuai perintahnya. Dan perayaan yg tidak dijelaskan dalam Islam, maka bagi umat Islam ada 2 pendapat. Ada yg MELARANG karena dianggap Bid’ah. Ada juga yg MEMBOLEHKAN, karena tidak ada dalil yg melarangnya.

ﻓﺎﻟﺨﻼﺻﺔ ﺃﻥ اﻻﺣﺘﻔﺎﻝ ﺑﺄﻳﺔ ﻣﻨﺎﺳﺒﺔ ﻃﻴﺒﺔ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺑﻪ ﻣﺎ ﺩاﻡ اﻟﻐﺮﺽ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻭاﻷﺳﻠﻮﺏ ﻓﻰ ﺣﺪﻭﺩ اﻟﺪﻳﻦ، ﻭﻻ ﺿﻴﺮ ﻓﻰ ﺗﺴﻤﻴﺔ اﻻﺣﺘﻔﺎﻻﺕ ﺑﺎﻷﻋﻴﺎﺩ، ﻓﺎﻟﻌﺒﺮﺓ ﺑﺎﻟﻤﺴﻤﻴﺎﺕ ﻻ ﺑﺎﻷﺳﻤﺎء

Kesimpulannya. Apapun bentuk perayaan yg baik adalah tidak apa², selama tujuannya sesuai dgn syariat dan rangkaian acaranya masih dalam koridor dalam Islam. BOLEH saja peringatan itu disebut PERAYAAN. Sebab yg dinilai adalah SUBTANSINYA, BUKAN NAMANYA (Fatawa Al-Azhar, 10/160) 

Sekali lagi, Hari Raya ketupat hanya istilah, yg kegiatannya sekedar bersilaturahmi ke tetangga dan kerabat dgn menyuguhkan makanan khas, ketupat, dinikmati bersama setelah puasa sunah 6 hari bulan Syawal.

Tapi bukankah Nabi hanya mengakui 2 hari raya dan tidak mengakui selain Idul Fitri dan Idul Adha ? Nabi bersabda :

«ﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻗﻮﻡ ﻋﻴﺪا، ﻭَﺇِﻥَّ ﻋﻴﺪﻧﺎ ﻫَﺬَا اﻟﻴَﻮْﻡُ»

“Sungguh bagi setiap kaum memiliki hari raya. Dan ini adalah hari raya kita” (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim rahimahumallah)

Mufti Al-Azhar juga menjawabnya :

ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻧﺺ ﻳﻤﻨﻊ اﻟﻔﺮﺡ ﻭاﻟﺴﺮﻭﺭ ﻓﻰ ﻏﻴﺮ ﻫﺬﻳﻦ اﻟﻌﻴﺪﻳﻦ، ﻓﻘﺪ ﺳﺠﻞ اﻟﻘﺮﺁﻥ ﻓﺮﺡ اﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑﻨﺼﺮ اﻟﻠَّﻪ ﻟﻐﻠﺒﺔ اﻟﺮﻭﻡ ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻫﻢ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻛﺎﻧﻮا ﻣﻐﻠﻮﺑﻴﻦ ” ﺃﻭاﺋﻞ ﺳﻮﺭﺓ اﻟﺮﻭﻡ “.

"Tidak ada dalil yg melarang untuk menampakkan rasa bahagia di selain 2 hari raya tsb. Sungguh Al Qur’an telah menegaskan kebahagiaan umat Islam atas pertolongan Allah yg diberikan kepada Bangsa Romawi atas kemenangan mereka setelah sebelumnya mereka kalah, yg dijelaskan dalam permulaan Surat Ar-Rum". (Fatawa Al-Azhar, 10/160)

Bid'ah Menurut Imam Asy-Syathibi

Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki Al-Lakhmi Al-Gharnati atau Imam Asy Syatibi rahimahullah (wafat 1388 M di Granada, Spanyol) dalam kitab Al-I’thisham, secara ringkas dan tegash menjelaskan bahwa bid’ah adalah suatu cara baru dalam agama yg diciptakan untuk menandingi cara² dalam syariat, cara ini dianggap memiliki kelebihan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Bukan Hari Raya Baru

Dalam banyak pembahasan, yg dinilai bid’ah adalah merayakan “Hari Raya Ketupat”-nya, yg biasa dilaksanakan tujuh hari setelah Iedul Fithri. 

Dikategorikan bid'ah, karena Umat Islam tidak memiliki hari raya selain Idul Fithri dan Idul Adha dan tidak boleh membuat hari raya baru. Akan tetapi, sekadar membuat ketupat pada saat Idul Fithri atau bahkan Idul Adha, hanya sbg salah satu hidangan tanpa menganggap bahwa hal itu disunnahkan atau memiliki keutamaan, bukanlah bid'ah.

Itu hanya tradisi yg mubah, karena tidak menyangkut urusan ibadah. Ketupat dan lontong –yg sebenarnya hanyalah nasi yg dibungkus daun- hanyalah salah satu menu dari menu² yg biasa ada pada saat hari raya, disamping kue², opor, soto atau yg lainnya

Mubah

Berarti, perayaan seperti Lebaran Ketupat dalam rangka membuat makanan tradisi tidak dilarang dan tidak ada dalil yg melarang, maka status hukumnya MUBAH (boleh kita laksanakan), dan bisa juga bernilai sunnah jika aktifitasnya berisi ragam aktifitas amaliah kesunnahan yg Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam ajarkan, seperti bersedekah, saling maaf memaafkan dan saling mendoakan, saling memberi hadiah, meramaikan syi’ar² Islam, silaturrahim, tasyakuran, dzikir bersama, makan bersama dan semacamnya, atau ada contoh lebaran Ketupat diisi dgn shalat Dhuha berjamaah di Masjid. Sebab, Islam fis a fis dgn budaya, selama tidak menyalahi esensi Islam itu sendiri. 

Sumber FB : Sarinyala.id sedang di Jamaah Sarinyala Gresik.

7 Mei 2022 pada 23.10  · Gresik, Jawa Timur  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hukum Lebaran Ketupat". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait