Fanatik Madzhab
Sayyid Muhammad Alawi Al Maliki rohmatulLah 'alaih, sebagaimana jelas tertera dalam nama beliau, adalah 'alim bermadzhab Maliki. Namun, murid murid beliau tak pernah beliau arahkan untuk bermadzhab Maliki. Untuk santri santri beliau dari Indonesia, kabarnya beliau meminta teman teman beliau para habib Yaman untuk mengajarkan madzhab Syafi'i yang merupakan madzhab mayoritas di Indonesia.
Para masyayikh Indonesia yang mencari ilmu di Arab sedari dulu belajar dari ulama' beragam madzhab. Sayyid Muhammad yang bermadzhab Maliki, Habib Zain bin Smith yang bermadzhab Syafi'i, Sayyid Amin Kutbi yang bermadzhab Hanafi dan puluhan ulama' ulama' lain di daerah Hijaz. Belum lagi yang belajar di daerah Syam dan Mesir serta Turki. Yang jarang disebut memang guru guru bermadzhab Hanbali.
Konfigurasi guru lintas madzhab ini membuat fanatisme madzhab sulit sekali terjadi di kalangan ulama'. Kalau sekali kali terjadi perdebatan pendapat lewat tulisan maupun lisan, itu adalah perdebatan ilmiah yang dilakukan dengan penuh adab.
Kalau di NU, sejak anggaran dasar sudah ditegaskan bahwa NU menjadikan 4 madzhab sebagai acuan dalam fiqh. Walau tentu saja madzhab Syafi'i mendapatkan prioritas karena merupakan madzhab mayoritas penduduk Indonesia.
Semua madzhab itu adalah kekayaan Islam, pendukung Al Qur'an dan Sunnah serta menunjukkan keluasan dan keluwesan syariat Islam yang sholih li kulli zaman wa makan.
Bandingkan dengan fanatisme "madzhab" baru yang mengklaim diri mereka mengikuti fiqh dalil, membawa bawa nama tauhid dan sunnah, sambil mengecam dan mengecap madzhab lain sebagai ahli bid'ah dan pelaku kesyirikan.
WalLahu a'lam.
Sumber FB Ustadz : Ahmad Halimy
7 Mei 2022 pada 10.15 ·