Rahasia Shahih al-Bukhari yang Dimulai dan Diakhiri dengan Hadits Gharib.
Salah satu guru saya, Syekh Abdul Karim Basyarahil mewarisi kebiasaan gurunya; al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Saqqaf, setiap bulan Ramadhan beliau akan membaca Mukhtasar Shahih al-Bukhari atau yang dikenal dengan nama al-Tajrid al-Sharih karya salah seorang Ulama Zabid, Yaman, Syekh al-Muhaddits Ahmad al-Zabidi al-Hanafi (w. 893 H).
Kitab ini merupakan upaya Syekh al-Zabidi untuk meringkas Shahih al-Bukhari dengan menghapus sanadnya agar bisa cepat dibaca, kemudian tidak menyebutkan hadits yang terulang. Di Shahih al-Bukhari banyak hadits yang disebutkan lebih dari satu kali karena tujuan tertentu. Nah, al-Zabidi di bukunya ini hanya menyebutkan setiap hadits cukup satu kali. Karena tujuan beliau, agar orang yang membaca bukunya ini bisa membaca seluruh hadits al-Bukhari tanpa terkecuali dengan waktu yang lebih singkat.
Sebetulnya masih banyak ulama yang meringkas Shahih al-Bukhari, Di antara ulama yang juga ikut meringkas Shahih al-Bukhari ada al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Ahmad bin Abi Jamroh yang dijuluki sebagai Sulthan al-Masyriq wa al-Maghrib oleh Rasulullah dalam mimpi seorang wali. Bahkan konon ceritanya, Sidi Ibnu 'Athoillah dimakamkan di dekat maqam beliau karena mengharap berkah kepada sang imam. Bahkan Syekh al-Azhar Abdullah Al-Syarqawi menulis syarah atas kitab al-Zabidi yang dinamakan dengan Fath al-Mubdi fi Syarah Mukhtasar al-Zabidi, yang kemudian kitab ini dijadikan salah satu pelajaran wajib di Ma'had al-Azhar atau setara dengan SMA di Indonesia.
Karya Ibn Abi Jamrah ini berjudul Jam'u al-Nihayah fi bad'i al-Khair wa al-Ghayah yang kemudian beliau tulis kitab syarah atas mukhtasar itu yang berjudul Bahjah al-Nufus setebal 2 jilid. Syarah ini ditulis dengan nuansa sufi yang sangat kental. Banyak isyarat-isyarat yang mungkin tidak kita bisa dapati kecuali di buku beliau itu. Di awalnya saja, saat menuliskan penjelasan hadits yang menerangkan awal mula turun wahyu, beliau menuliskan 70 point penting yang bisa diambil dari hadits tersebut.
Tapi, bisa jadi karena karya al-Zabidi ini lebih luas manfaatnya, karena membuat thalib bisa membaca semua hadits shahih al-bukhari dalam waktu singkat, dan ditambah banyak ulama yang mencari keberkahan dengan mengkhatamkan al-Bukhari, sehingga karya beliau lebih sering dipakai untuk dibaca ataupun menjadi bahan ajaran.
Di antara ulama yang memiliki kebiasaan mengajar kitab Mukhtasar Shahih al-Bukhari ini al-Habib al-Allamah Abdurrahman bin 'Ubaidillah al-Saqqaf (w. 1375 H) seorang ahli hadits, fiqih, ilmu sosial dan sastra Arab. Dari kebiasaan beliau ini, lahir sebuah karya yang mengumpulkan banyak faidah penting seputar hadits yang berjudul: Balabil al-Taghrid fi ma istafadna-hu Ayyama al-Tajrid.
Ada 32 faidah dengan berbagai cabang pembahasan yang beliau tuliskan di sana. Salah satu faidah yang saya baca di kitab tersebut, rahasia Imam al-Bukhari yang meletakkan hadits pertama dan hadits terakhir di shahih al-Bukhari dengan hadits gharib.
Faidah ini sengaja saya pilih, karena Guru kami: Syekh Muhammad Salim Abu Ashi sering kali menyentil thalib yang begitu gemar menghadiri majlis riwayat tanpa pernah mementingkan majlis dirayah. “Lihat tuh, banyak thalib yang koar-koar sudah khatam Syamail, khatam al-Bukhari, punya sanad kutub sittah, tapi kalau ditanya kenapa hadits awal dan akhir di shahih al-Bukhari diisi dengan hadits gharib dia justru diam tak menjawab.” Ujar Syekh salim di beberapa majlis.
~~
Apa itu hadits gharib?
Jika menilai hadits dari prespektif banyaknya jalur sanad, para ulama hadits yang di antaranya ada al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani akan membaginya menjadi dua macam:
Jika jalur sanadnya tiap thabaqah diriwayatkan oleh jumlah yang sangat banyak, hingga sampai pada titik jumlah tersebut tidak mungkin sepakat untuk berbohong, maka ini oleh ulama dinamakan dengan mutawatir.
Jika syarat menjadi mutawatir ada yang tidak lengkap, misalnya pada salah satu thabaqahnya tidak mencapai jumlah yang banyak, maka hadits tersebut dinamakan dengan hadits Ahad.
Hadits Ahad kembali dibagi menjadi tiga, ada hadits masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan 3 orang atau lebih pada tiap thabaqah. Jika ada pada salah satu thabaqahnya hanya terdiri dari dua periwayat, namanya hadits aziz. Jika pada salah satu thabaqahnya hanya ada satu orang yang meriwayatkan, maka namanya hadits gharib.
Dalam hadits pertama pada Shahih al-Bukhari kita akan menemukan hadits niat, dan hadits terakhir adalah hadits tasbih. dan keduanya adalah hadits gharib.
Hadits niat ini tidak ada yang meriwayatkan dari nabi melainkan hanya 'Umar bin Khattab. Kemudian pada thabaqah berikutnya, hanya 'Alqamah yang meriwayatkan dari 'Umar. Pada thabaqah berikutnya, hanya Muhammad bin Ibrahim yang meriwayatkan dari 'Alqamah. Selanjutnya, hanya Yahya bin Sa'id yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Meskipun ada pendapat yang mengatakan bahwa ada banyak sahabat yang mendengar hadits ini selain 'Alqamah, karena dulu hadits ini dibacakan di atas mimbar oleh 'Umar, namun nyatanya yang ada hanya riwayat 'Alqamah.
Begitu juga kasus yang terjadi pada hadits tasbih yang hanya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, darinya hanya Abu Zur'ah, darinya hanya Ibnu Al-Qa'qa' hingga akhir sanad yang disebutkan.
Rahasianya adalah –Sebagaimana yang disebut oleh beberapa guru-guru Habib Abdurrahman bin Ubaidillah al-Saqqaf– Al-Bukhari dengan isyarat yang begitu halus ingin mengarahkan pembaca kepada sebuah hadits yang berisi:
بدأ الإسلام غريباً وسيعود غريباً كما بدأ فطوبى للغرباء
“Agama ini dimulai dengan keadaan asing, dan diakhiri dengan keadaan asing, maka sungguh beruntung orang-orang asing tersebut.”
Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim tersebut, sebetulnya sangat dikagumi oleh al-Bukhari. Tapi apa daya, hadits tersebut tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh al-Bukhari agar bisa masuk ke dalam rentetan hadits-hadits shahih yang lain, sehingga beliau hanya bisa memberikan isyarat ke sana dengan menyebutkan hadits gharib di awal, dan di akhir kitab shahihnya sebagai isyarat akan kandungan makna dari hadits tersebut.
Bahwa agama ini akan berakhir dengan keadaan asing, begitu juga shahih al-Bukhari yang menjadi bagian penting dari agama ini akan menjadi asing di akhir zaman, dan orang akan lebih senang dengan hadits-hadits palsu.
Apakah hadits gharib itu dhaif? Tidak juga. Dia bisa dihukumi shahih, sebagaimana hadits niat dan hadits tasbih yang ada di al-Bukhari. Bisa juga dihukumi hasan sebagaimana yang banyak terjadi di Sunan al-Tirmidzi. Bisa jadi dihukumi dhaif dan ini yang sering terjadi. Oleh karenanya ada ungkapan yang terkenal dari Imam Malik: Syarr-ul ilmi al-Gharib.
Sayyid Muhammad bin 'Ali al-Jufri pernah bercerita, dulu banyak ulama sangat senang mencari sanad hadits yang gharib, ibarat barang langka yang begitu mewah. Semisal al-Imam Abdul Razaq al-Shan'ani yang kemudian menyesal setelah banyak mencari hadits gharib, beliau berucap: “Dulu aku kira hadits gharib itu bagus, ternyata ia menyimpan bahaya.”
Bahaya yang dimaksud adalah kemungkinan salah dari orang yang meriwayatkan lumayan besar karena tidak ada riwayat lain yang mendukung. Dari sinilah terlihat betapa telitinya Imam al-Bukhari dalam meletakan tiap hadits pada kitabnya, sekalipun yang ditulis adalah hadits gharib, tapi ia tetap berada pada tingkatan shahih yang tinggi.
___
Foto: Khataman Mukhtasar Shahihal-Bukhari yang dikenal dengan nama al-Tajrid al-Sharih karya al-Muhaddits Ahmad al-Zabidi (w. 893 H) dengan sanad guru kami Syekh Abdul Karim Basyarahil melalui jalur Habib Muhammad bin Ahmad al-Syatiri (1422 H) dan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Saqqaf (1431 H)
___
Fahrizal Fadil.
Jum'at 29 April 2022.
Sahah Yamaniyyah, Kairo.
Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil
30 April 2022 pada 00.40 ·