𝗦𝗶𝗸𝗮𝗽 𝗨𝗺𝗮𝘁 𝗞𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗕𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮 𝗚𝗮𝘆𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁
Oleh: Fauzan Inzaghi
Saling kritik, saling serang pemikiran dan perbedaan sudut pandang yang nyaris tidak bisa bersatu antara dua ulama paling berpengaruh di Suriah pada masa itu dan sangat terkenal pada masa itu, bahkan semua orang tahu, yaitu antara Syekh Kuftaro (gurunya Syekh Rajab dan Syekh Adnan Afyuni, Mufti Damaskus) dengan Syekh Hasan Habannakeh (gurunya Syekh al-Buty dan Syekh Wahbah Zuhaily), bahkan kalangan awam sering menganggapnya perang dingin. Gaya Syekh Kuftaro yang lembut dan gaya Syekh Hasan yang keras serta frontal dalam mengkritik sekilas terlihat nyaris tidak ada kecocokan antara keduanya, tapi!!
Suatu kali, ketika Syekh Hasan Habannakeh ditangkap dan dipenjara karena kritikan beliau kepada pemerintah, membuat Syekh Kuftaro langsung menjumpai presiden. Lalu beliau berkata kepada presiden "lepaskan Syekh Hasan." Presiden menjawab "tapi beliau selalu mengkritik Anda, bukankah kalian berdua tidak pernah cocok?" Syekh Kuftaro menjawab "𝗸𝗮𝗺𝗶 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗯𝗶𝗮𝘀𝗮 𝘀𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗸𝗿𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗯𝗲𝗱𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁, 𝗶𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘂𝗿𝘂𝘀𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗹𝗶𝗮𝗻! 𝗧𝘂𝗴𝗮𝘀 𝗸𝗮𝗹𝗶𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗶 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮! 𝗦𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗽𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗹𝗶𝗮𝘂!"
Banyak yang mengatakan bahwa perbedaan gaya penyampaian kerap kali dilakukan ulama, untuk menciptakan keseimbangan. Contoh dalam pemerintahan, gaya keras dipakai oleh ulama agar pemimpin berhati-hati dalam mengambil kebijakan, hingga dia bakal berpikir "gua gak mau cari masalah dengan jamaahnya Syekh Hasan yang panas." Tapi begitu mereka mau bertindak "ah orang Islam banyak kali kritik sih, gua jadiin musuh aja sekalian apa?" Nah, di sini ulama gaya Syekh Kuftaro muncul untuk mengademkan. Misinya "jangan jadikan umat Islam musuh, bukannya kami kerap mendukung kebijakan kalian?" Air disiram, tapi kelemahannya main adem, tidak bisa bergerak frontal kalau ada kebijakan kontroversial, karena kalau terlalu sering mengkritik malah dianggap musuh, makanya mereka butuh api panas untuk melakukan tugas itu dan api butuh air yang adem untuk mendinginkan suasana, keduanya saling mengisi dalam membangun masyarakat. Mereka sebenarnya saling melindungi, hanya saja tidak bicara, karena bahaya, dan terbukti ketika salah satunya terlibat masalah yang satunya membantu.
Ini yang jarang dipahami orang yang hanya melihat perbedaan antar ulama dengan pandangan hitam putih dan satu sudut pandang. Padahal kalau mau melihat dari sudut pandang "dari atas" akan tampak menyeluruh, dari atas kabel ruwet dan awut-awutan akan tampak saling tersambung, tapi kalau lihatnya dari dalam kabel, 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘳 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱 𝘭𝘰. Makanya ketika ada ulama yang secara lahir tampak berkonflik, kita jangan ikut-ikutan masuk ke konflik mereka, ingat pesan Syekh Kuftaro pada presiden "𝗧𝘂𝗴𝗮𝘀 𝗸𝗮𝗹𝗶𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗼𝗿𝗺𝗮𝘁𝗶 𝘂𝗹𝗮𝗺𝗮!!"
Keseimbangan ini yang membuat umat Suriah yang sangat kacau pada pada tahun 50-an dan awal 60-an, karena kudeta yang tak kunjung selesai, meraih masa kebangkitan pada akhir 60-an dan 70-an. Ulama besar banyak dilahirkan dari pendidikan masa itu, kemudian mendominasi dunia keilmuan timur tengah pada tahun 80-an, 90-an, sampai awal 2000-an, begitu juga dalam dunia akademisi. Mesjid di Suriah bisa dikatakan paling aktif di timteng pada masa itu, keadaan sosial membaik dan keamanan luar biasa. Yang tinggal di Suriah sebelum tahun 2010 mungkin bisa menceritakan bagaimana hidup di Suriah. Itu karena keseimbangan yang diciptakan, tidak sempurna? Iya, kadang mereka salah? Iya. Tapi masyarakat butuh kedua tipe.
Tapi tentu kerasnya Syekh Hasan bukan serampangan, beliau sebenarnya penuh perhitungan, buktinya ketika konflik 60-an beliau menghentikan anak muda yang ingin melakukan pemberontakan karena akan menimbulkan masalah lebih besar. Syekh Kuftaro yang lembut pun bukan pengecut, tahun 80-an Syekh Kuftaro yang marah besar ketika peristiwa pelarangan jilbab, membuat mereka syok. Hanya saja porsi main apakah keras atau lembut mana yang lebih banyak saja dalam berperan. Dalam al-Quran ada ayat 𝘵𝘢𝘳𝘨𝘩𝘪𝘣 (memberi berita gembira) dan ayat 𝘵𝘢𝘳𝘩𝘪𝘣 (memberi ancaman). Sekali jangan ikut-ikutan konflik lahir antar ulama, apalagi saling hujat.
Pertanyaan sisa, lalu kenapa kami yang awam harus memahami ulama? Bukan ulama yang memahami kami? Jawaban pertama, inikan lagi ngebahas fikih tentang awam, yang dibicarakan ya apa yang harus dilakukan awam, kalau tulisannya tentang fikih ulama ya beda lagi, bukan di sini nulisnya, dan bukan ane juga yang nulis, siapa ane kan? Yang pasti ada fikihnya. Dan jawaban kedua? Makanya jangan banyak kali maen HP "𝘩𝘢𝘪 𝘨𝘢𝘮 𝘣𝘢𝘬𝘰𝘯𝘨", ngaji la ke ulama senior yang berada di luar konflik, ntar diajarin gimana bersikap atau minimal sering-sering kunjungi mereka, kalau mau tau dari HP mana dapet, dapetnya berita hoax aja, pak cik.
Sumber FB : Serambi Salaf
13 Maret 2022 pukul 12.16