Seni Kaligrafi dan Penulisan Al-Quran
Oleh : Ahmad Sarwat, Lc.MA
1. Penulisan Wahyu
Al-Quran pada masa kenabian dibawa turun oleh Jibril alaihissalam dalam format suara, tidak berupa teks tulisan di atas lembaran kertas.
Begitu Jibril pergi usai menyampaikan wahyu, Nabi SAW segera meminta para shahabat untuk menuliskan ayat yang baru turun.
2. Alat Tulis
Kala itu alat tulis yang mereka gunakan masih sederhana sekali. Belum ada kertas seperti yang kita gunakan di masa sekarang.
Maka ayat-ayat suci itu mereka goreskan di beberapa media, seperti gulungan kulit hewan, pelepah kurma, batu pipih atau pun tulang hewan.
3. Supervisi Nabi SAW
Namun yang pasti ayat-ayat suci ditulis di bawah supervisi langsung Nabi SAW. Usai dituliskan, Nabi SAW meminta teks itu dibaca ulang dan dikoreksi bia ada hal-hal yang belum benar.
Disini rasa penasaran kita ditantang. Kalau Nabi SAW dikatakan ummi, tidak bisa baca tulis, lalu bagaimana Beliau bisa mengoreksi tulisan para shahabat?
Kapan waktu nanti kita bahas khusus bab ini, insyaallah.
4. Para Penulis Wahyu
Di antara mereka yang tercatat dalam Sirah Nabawiyah menjadi penulis wahyu adalah Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Kaab radhiyallahuanhuma.
Sebenarnya bukan hanya mereka berdua saja, setidaknya ada 46 shahabat.
5. Bangsa Ummi?
Kasus ditulisnya ayat-ayat Al-Quran oleh para shahabat menjadi keunikan tersendiri. Meski di dalam Al-Quran disebutkan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang ummi, tidak membaca dan menulis, namun bukan berarti mereka buta huruf total.
Sebagian mereka sudah banyak yang mendalami ilmu baca tulis. Ini terbukti dari kebiasaan mereka menuliskan naskah perjanjian di dinding Ka'bah. Bahkan karya para pujangga Arab yang masyhur biasa digantung di dinding Ka'bah.
6. Jenis Huruf Yang Digunakan
Konon di masa itu huruf Arab yang berkembang berasal dari Kufah yang secara teknis wujudnya kotak-kotak .
Sebelum terjadi perkembangan variasi khat Arab, khat Kufi diyakini para sejarawan sebagai bentuk kaligrafi tertua dari berbagai aksara Arab dan terdiri dari bentuk yang dimodifikasikan dari aksara Nabataea lama.
Khat Kufi dikembangkan pada akhir abad ke-7 di Kufah, Irak, yang menjadi asal muasal namanya, dan pusat lainnya.
Khat Kufi dikembangkan dari huruf Nabatea, dan sudah dikenal seratus tahun (± 538 M) sebelum berdirinya kota Kufah Mesopotamia. Di masa sekarang Kufah terletak 170 Km selatan Baghdad.
Pada zaman praislam, huruf ini sudah digunakan di beberapa wilayah Arab, salinan pertama dari Alquran dan Taurat di Arab menggunakan huruf ini.
7. Sulit Kita Baca
Buat kita yang hidup di zaman sekarang, mungkin agak sedikit kesulitan membaca teks Al-Quran asli yang dulu ditulis dengan khat Kufi ini.
Apalagi di masa lalu, belum ada titik yang membedakan beberapa huruf yang berdekatan.
Contohnya huruf ba' (ب), ta' (ت), tsa' (ث) dan ya' (ي) di masa itu ditulis sama persis, tanpa ada satu pun titiknya. Begitu juga huruf jim (ج), ha' (ح) dan kha' (خ) ditulis sama persis karena belum ada titiknya.
Buat orang 'ajam non Arab seperti kita, pastilah tidak bisa terbaca. Bahkan setelah disempurnakan pun, khat Kufi tetap sulit dibaca oleh mereka yang pemula dan baru belajar mengeja huruf Arab.
Padahal di masa kenabian dulu, justru seluruh ayat Qur'an ditulis oleh para shahabat dalam format khat Kufi.
8. Perkembangan Varian Baru Khat Arab
Adapun khat yang akrab di masa kita adalah varian-varian baru hasil pengembangan seni kaligrafi yang cukup kaya dalam tatanan khazanah seni dunia Islam.
Di dunia Islam hari ini berkembang beberapa jenis khat yang beragam, seperti naskhi, diwani, diwani jali, riq'ah, tsuluts, farisi selain tentu saja Kufi sendiri.
9. Varian Khat Kufi
Namun khat Kufi sendiri menurut saya memang yang paling unik, karena paling berbeda sendiri.
Sebagai penggemar seni kaligrafi, saya sering juga menulis pakai jenis Kufi. Logo Rumah Fiqih Indonesia (RFI) itu sebenarnya salah satu varian khat Kufi juga.
Saya tertarik mendisain logo RFI justru karena uniknya. Kira-kira filosofinya kayak tanda tangan. Justru semakin tidak bisa dieja semakin unik. Walaupun tetap bisa dieja dan dibaca, tapi tentunya bukan oleh pemula.
Ada anak-anak TPA samping rumah yang tanya, itu kok logo RFI tulisannya aneh dan tidak bisa dibaca. Kayaknya ada yang salah deh.
Wah, tidak salah, tapi kalian saja yang belum sampai ilmunya. Teruskan saja dulu ngaji IQRO' nya sampai jilid enam. Nanti kalau sudah bisa baca, baru kita bahas seni kaligrafinya.
Karakternya yang kotak-kotak simetris itu paling asyik kalau dijadikan logo. Ketertarikan saya pada Khat Kufi ini sejak saya kecil.
Karena di rumah saya ada pajangan dinding berupa teks surat Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) yang ditulis bergaya Kufi.
Awalnya saya protes ke ibu saya. Ini kok nggak bisa dibaca dan menyalahi kaidah penulisan huruf Arab. Begitu saya protes ke ibu saya. Soalnya beliau lah yang memajang kaligrafi itu.
Lalu ibu saya menerangkan dengan sabar bahwa Kufi ini termasuk aliran khat yang resmi, bahkan sejarah seni aksara Arab justru diawali dengan khaf Kufi.
Lalu ibu saya malah menantang saya untuk menebak satu per saru huruf-hurufnya yang bisa saya kenali.
Wah ternyata asyik juga, kayak bermain teka-teki. Sejak itulah saya sering mendesain teks Arab pakai gaya Kufi yang unik, indah dan banyak orang tidak paham.
10. Perkembangan Seni Kaligrafi
Perkembangan jenis khat yang sebegitu banyak kadang kurang diikuti oleh kalangan awam. Sehingga ada beberapa teman saya yang pusing kalau lihat kaligrafi di dinding masjid.
Maklum lah, mungkin kurang mengikuti seni kaligrafi. Melek huruf Arab pun baru-baru ini saja. Kaligrafi teks Al-Quran di dinding Kiswah Ka'bah pun tidak semua bisa dibacanya.
Namun kalau kita menoleh ke belakangan menelusuri perkembangan Tehnik penulisan aksara Arab sejak awal mula, boleh jadi akan lucu kejadiannya.
Boleh jadi kalau para shahabat di masa lalu kita culik pakai mesin waktu ke masa sekarang, mereka akan terheran-heran membaca mushaf Al-Quran.
Saya bisa membayangkan mereka akan kebingungan kalau membaca mushaf Al-Quran versi kita sekarang. Karena jenis font yang kita gunakan hari ini belum pernah ada di masa mereka.
Wallahu a'lam
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
15 Maret 2022 ·