Mengakui Kebenaran Tidak Akan Mengurangi Kehormatan
Para ulama dahulu dikenal dan populer bukan karena propaganda atau media yang menaikkan ratingnya, seperti sebagian orang-orang terkenal masa ini, melainkan karena keilmuan yang diakui, karya-karya yang ditinggalkan dan mawaqif (keteladanan) yang ditampakkan.
Diantara sosok yang dikekalkan sejarah sampai hari ini adalah Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri rahimahullah. Berbeda dengan sebagian ulama yang lahir dari keluarga miskin dan bersahaja, Ibnu Hazm terlahir dari keluarga kaya. Ayahnya adalah orang penting dalam Dinasti Bani Umayyah di Andalus. Namun demikian ia selamat dari berbagai godaan kesenangan duniawi dan mampu memimpin dirinya untuk lebih memilih ilmu daripada posisi. Seringnya, cobaan kesenangan lebih berat dari cobaan kesusahan.
Dalam Rasail-nya yang ditahqiq Dr. Ihsan Abbas, Ibnu Hazm bercerita bahwa suatu ketika ia berdebat dengan seseorang tentang sebuah masalah. Tentu saja, ketika itu Ibnu Hazm adalah seorang ulama yang disegani, memiliki banyak murid dan dikenal dimana-mana. Sementara lawan debatnya hanyalah alim biasa.
Ibnu Hazm berkata, “Aku mengalahkannya dalam debat itu karena ia memiliki aib pada lidah sehingga tidak fasik dalam bicara.” Aib seperti ini disebut al-bukuww; kesulitan dalam berbicara sehingga gugup dan tidak percaya diri.
Ketika Ibnu Hazm pulang ke rumah, timbul keraguan dalam dirinya, apakah ia memang benar dalam debat tadi atau malah sebaliknya. Ia lalu membuka kembali kitab-kitabnya. Ternyata ia telah salah, dan lawan debatnya itu yang sesungguhnya benar. Karena hari sudah larut malam, ia bertekad untuk mendatangi rumah orang tersebut besok pagi dan mengakui kekeliruannya.
Salah seorang murid dekat Ibnu Hazm, setelah mengetahui rencana gurunya untuk datang ke rumah lawan debat yang sudah dikalahkannya kemarin itu bertanya, “Benar engkau akan datang ke rumah orang itu, guru?” Ibnu Hazm menjawab, “Tentu saja. Bahkan, kalau bisa sekarang, sekarang saya akan menemuinya. Hanya saja hari sudah larut malam.” Muridnya bertanya lagi, “Apa yang akan engkau katakan pada orang itu?” Ibnu Hazm menjawab, “Saya akan katakan, “Engkau benar dan aku salah”.
Apakah pengakuan Ibnu Hazm terhadap kesalahannya membuat kehormatan dirinya berkurang? Sama sekali tidak. Meskipun sesungguhnya lawan debatnya itu bukan siapa-siapa. Kalaupun Ibnu Hazm tidak datang menemuinya dan mengakui kesalahannya, mungkin tidak akan ada juga orang yang akan mengetahui hal ini. Tapi kedewasaan diri, kematangan pribadi dan kebesaran jiwa membuat Ibnu Hazm enggan untuk tidak mengakui kesalahannya, meskipun pada seseorang yang sesungguhnya bukanlah ‘tandingannya’.
***
Bandingkan ini dengan kisah lain yang terdapat dalam kitab al-Ihkam fi Ushul Ahkam karya Ibnu Hazm juga. Ia menceritakan dari salah seorang sahabatnya, bahwa ada seorang syekh dan imam di sebuah masjid bernama Muhammad bin Yusuf bin Mathruh al-A’raj. Ia menjadi imam di Masjid Qurtubah pada masa itu. Sayangnya, ia tidak memiliki kesalehan sebagaimana mestinya seorang alim.
Suatu hari ia menyampaikan khutbah Jumat. Di dalam khutbah itu ia membaca ayat :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (التوبة : 128)
Ayat tersebut dibacanya salah (lahn). Yang seharusnya عَنِتُّمْ ia baca عَنِنْتُمْ (dengan penambahan huruf nun setelah huruf ‘ain).
Selesai shalat, beberapa thalabatul ‘ilm mendatanginya dan berkata, “Wahai Syekh, ayat yang Anda baca tadi keliru.”
Ia menjawab, “Tidak ada yang keliru. Memang itu yang benar, dan seperti itu pula yang kami dapati dari guru-guru kami dulu.”
Mereka tetap ngotot bahwa ia telah salah. Ia pun juga ngotot bahwa ia tidak salah.
Akhirnya ia masuk ke kamarnya (di dalam masjid itu) untuk mencek mushaf yang ia punya. Ia kaget, ternyata ia memang telah salah. Yang benar adalah عَنِتُّمْ, bukan عَنِنْتُمْ. Tapi setan dan nafsu telah menguasai dirinya. Ia enggan untuk mengakui kesalahannya. Ia mungkin berpikir bahwa mengakui kesalahan akan menurunkan wibawanya di depan orang banyak. Tahukah kita apa yang ia lakukan? Ia ambil qalam (pena) dan ia tambahkan satu titik setelah huruf ‘ain agar sesuai seperti bacaannya yang salah tadi. Lalu ia keluar menemui mereka dan berkata, “Betulkan apa saya cakap? Silahkan lihat ini. Memang begini yang benar.”
Sumber yang meriwayatkan kisah ini pada Ibnu Hazm berkata, “Demi Allah, kami melihat huruf nun itu ditulis dengan tinta baru yang belum kering.”
نسأل الله السلامة ونعوذ به من الخذلان
[YJ]
Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi
23 Maret pada 08.50 ·