Faidah Lughawiyyah

Faidah Lughawiyyah

Faidah Lughawiyyah

#Faidah_Lughawiyyah

Saat dihadapkan dengan sebuah lafadz yang mengandung dua makna: makna asal, dan majaz, tentu kita akan mengedepankan makna asal jika tidak ada tanda-tanda bahwa yang diinginkan adalah makna majaz. Seperti lafadz "al-asad" Yang makna asalnya adalah hewan buas yang kita kenal yakni singa, disisi lain, ia juga bisa dimaknai orang yang pemberani sebagai majaz, jika tidak ada qarinah, kita akan mengedepankan makna asalnya, yaitu hewan buas, dari pada harus memahaminya sebagai orang yang pemberani sebagai majaz. 

Bagaimana jika makna majaznya lebih sering dipakai dan lebih dikenal dari pada makna asalnya? Apakah masih harus mendahulukan makna asal? Bukankah saat kita mengatakan: “aku telah memukul zaid” makna yang difahami adalah kita hanya memukul sebagian dari zaid, dan tidak memukul seluruh tubuh zaid?

Disini Al-Imam Tajuddin Al-Subki menuliskan sebuah masalah:

و في تعارض المجاز الراجح و الحقيقة المرجوحة أقوال: ثالثها المختار المجمل. 

“Saat berhadapan antara makna majaz yang kuat (sering digunakan) dengan makna asal yang lemah (jarang digunakan) maka ada beberapa pendapat; pendapat ke tiga, dan itu yang aku pilih (imam subki) adalah masih umum (perlu dalil penjelas)”

Dalam ibarat tersebut Imam Al-Subki langsung menyebutkan pendapat ke tiga yang menjadi pilihannya, tanpa menyebutkan pendapat pertama yaitu mengedepankan makna asal yang menjadi pendapat Abu Hanifah, dan pendapat kedua yaitu mengedepankan makna majaz yang menjadi pendapat Abu Yusuf Al-Syaibani. 

Masalah ini menjadi penting jika kita melihat ke permasalah fiqih. Misalnya, ada orang yang bersumpah: “Saya tidak akan meminum dari sungai ini”, meminum makna asalnya adalah menyuguhkan air langsung ke mulut tanpa perantara. Namun, orang biasanya menciduk airnya dahulu baru meminumnya. Maka dalam masalah ini, makna majaz lebih sering digunakan dari pada makna asli dari meminum (al-syurb) itu sendiri. 

Berarti pada masalah tersebut jika difahami dengan makna asal dia bersumpah tidak akan minum air sungai ini langsung dengan mulutnya, dan makna majaznya dia tidak akan minum air dari sungai ini dengan menciduknya terlebih dahulu.

Dalam masalah ini, kapan ia dianggap melanggar janjinya? Jika kita mengedepankan makna asal yang menjadi pendapatnya Abu Hanifah, maka ia akan melanggar janji jika meminumnya langsung dari sungai menggunakan mulut. Jika kita mengedepankan makna majaz yang menjadi pendapatnya Abu Yusuf Al-Syaibani, yaitu meminum dengan menciduk air terlebih dahulu, maka ia melanggar janji jika ia meminum airnya dengan cidukan.

Tapi jika kita mengambil pendapat Al-Subki, maka kita tidak bisa menentukan yang mana yang melanggar janji kecuali dengan ada tanda-tanda atau penjelasan dari hal yang lain. Kendati demikian, dalam fotenote, muhaqqiq mengutip bahwa menurut Mazhab Syafi'i, baik orang tersebut meminum langsung dari mulutnya, maupun ia meminum dengan menyiduk air terlebih dahulu, ia tetap dianggap telah melanggar janji. Mazhab ini mengambil kesimpulan dengan menarik dua makna sekaligus. 

Permasalahan ini jika makna majaz lebih kuat dan lebih sering digunakan dibandingkan makna asli. Namun jika sedari awal makna asli memang sudah tidak digunakan, maka ulama sepakat tidak menggunakan makna asli. Seperti orang bersumpah: “Saya tidak akan memakan Al-nakhlah”, Al-nakhlah kan maknanya pohon kurma, tapi memang mereka saat mengatakan "saya tidak akan memakan Al-nakhlah" yang dimaksud adalah buahnya, bukan semua bagian pohonnya. Maka dalam masalah ini ia akan melanggar janji jika memakan buah kurma, tidak melanggar janji jika memakan batang pohonnya. Emang ada yang mau makan batangnya? 

__

Fahrizal Fadil

27 Februari 2022.

Sumber FB Ustadz : Fahrizal Fadil

27 Februari 2022 pada 07.04  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Faidah Lughawiyyah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait