Khilafiyah Dalam Aqidah

Khilafiyah Dalam Aqidah

Khilafiyah Dalam Aqidah

Pembagian Islam menjadi aqidah dan syariah sebenarnya masih sangat cair. Kadang bikin kita agak linglung juga.

Contohnya banyak orang bilang, kalau dalam masalah syariah kita bisa berbeda pendapat. Tapi dalam masalah aqidah tidak ada beda-beda. Soalnya aqidah itu hitam putih, hanya kenal satu dari dua pilihan, benar atau salah, lurus atau menyimpang.

Dahulu saya punya prinsip seperti itu. Urusan aqidah tidak ada kompromi, tapi kalau urusan syariah, masih mungkin ada beda persepsi.

Namun setelah belajar lagi dan lagi dan lagi, rupanya teori dasar itu tumbang juga. Mau bukti?

Contohnya sederhana saja, yaitu rukun iman yang enam : Percaya kepada Allah, Malaikat, Kitab Suci, Rasul, Hari akhir dan qadha qadarnya Alah SWT. Keenamnya wajib kita yakini dan kalau sampai satu saja tidak kita imani, bisa gugur semua iman kita.

Sampai disitu tidak ada yang keliru. Tapi ketika kita mulai masuk ke bagian yang lebih detail dari keenam tema itu, maka kita sudah masuk ranah khilafiyah, meskipun temanya masih tema aqidah.

Misalnya, di rukun yang pertama yaitu beriman kepada Allah SWT. Masih jadi urusan fundamental tidak boleh berbeda ketika kita bilang bahwa tiada tuhan selain Allah. Kalau sampai kita percaya adanya tuhan selain Allah, maka iman kita gugur.

Tapi masuk lebih jauh lagi, ketika kita berdoa kepada Allah, maka ada perintah Allah SWT langsung, sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Quran : 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (QS. Al-Maidah : 35)

Beredoa dengan cara tawassul itu diperintahkan, tinggal teknisnya ada yang disepakati seperti lewat amal shalih, tapi ada yang khilafiyah (tidak disepakati) seperti lewat perantaraan orang lain yang sudah wafat seperti para wali. 

Begitu juga ketika Allah SWT menyebutkan bahwa diri-Nya secara zhahir dalam Al-Quran punya anggota tubuh seperti wajah, tangan, kursi dan lainnya. Mulai lah terjadi khilafiyah dalam memahami ayat-ayat itu. 

Tangan Allah?

Sebagian ulama bilang tidak perlu menafsirkan atau mentakwil firman Allah menjadi makna lain. Kalau Allah SWT sendiri bilang bahwa diri-Nya punya tangan, ya sudah diimani saja memang ada tangan-Nya Allah itu. 

Tapi tentu saja tidak seperti tangan kita. Tangan Allah itu tangan, tapi tidak seperti tangan kita. Nah, itu teman-teman salafi biasanya yang berpendapat seperti itu.

Sementara ulama lain pandangannya beda lagi. Ketika Allah SWT sejak awal bilang bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya, maka sejak awal istilah tangan yang disebutkan dalam Al-Quran jangan dimaknai tangan betulan.

Mau apapun bentuknya, baik yang tidak seperti tangan kita, atau pun yang sama sekali tidak terlintas di benak kita. Pokoknya istilah 'tangan Allah' itu bukan tangan, titik.

Karena tidak mungkin Allah SWT punya tangan, meski tangannya berbeda dengan tangan kita. Tangan Allah SWT itu bisa saja maksudnya kekuasaan, pengaruh, kekuatan dan lain sebagainya. 

Ruh Allah

Kita mengenal istilah ruh sebagai nyawa yang menghidupkan jasad kita. Namun jangan sesekali berpikir bahwa Allah SWT itu punya ruh sebagaimana manusia. Walau pun di dalam Al-Quran adalah disebutkan istilah ruh Allah. 

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ

Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya (QS. As-sajdah : 9)

Ayat di atas kalau diterjemahkan secara apa adanya memang akan bikin kita kebingungan. Masak sih Allah meniupkan ruh manusia dari ruh-Nya ? Memangnya Allah SWT punya ruh? 

Tentu tidak, logika kita tidak akan bisa menerimanya. Ternyata di terjemahan DEPAG (Kemenag) ditafsirkan menjadi ruh (ciptaan)-Nya. 

Allah Adalah Cahaya?

Ketika Allah menyebutkan bahwa dirinya adalah cahaya langit dan bumi di dalam surat An-Nur : 

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ

Allah adalah cahaya langit dan bumi. (QS. An-Nur : 35)

Sejak awal kita tidak akan pernah memahami bahwa Allah itu cahaya, meski pun cahaya yang tidak kita kenal sekalipun. Tapi makna ayat ini seperti yang dituliskan dalam terjemah DEPAG : 

Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.  (QS. An-Nur : 35)

Sturuktur kalimatnya merupakan kalimat ismiyah terdiri dari mubtada' dan khabar. Mubtada'nya Allah dan khabarnya adalah cahaya. Kalau diterjemahkan apa adanya tentu maknanya menjadi : Allah adalah Cahaya. Tidak salah secara sturktur kalimat.

Tapi kita tidak akan sepakat mengatakan bahwa Allah itu cahaya. Terjemah DEPAG memberi tambahan (pemberi) dan (kepada) sehingga terjemahannya menjadi : Allah adalah pemberi cahaya kepada langit dan bumi. Dan bukan (Allah itu cahanya langit dan cahaya bumi).

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

11 Janurai 2022  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Khilafiyah Dalam Aqidah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait