Definisi Dalil Beserta Klasifikasinya

 Definisi Dalil Beserta Klasifikasinya - Kajian Islam Tarakan

DEFINISI DALIL BESERTA KLASIFIKASINYA

Oleh: Abdul Wahab Ahmad

Ketika membahas tentang akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Asy'ariyah-Maturidiyah), tak sedikit orang yang bilang bahwa Asy'ariyah tak punya dalil, bicara tanpa dalil, hanya akal-akalan, hanya berfilsafat dan sebagainya. Kesimpulan tanpa bukti ini bahkan ditulis dalam buku-buku berbahasa Arab. Intinya mereka mengira bahwa yang dimaksud dengan dalil hanyalah teks berupa ayat, hadis dan qaul ulama saja. Sebelumnya saya telah menulis sebuah postingan yang berjudul "Akidah Asy'ariyah Akal-akalan?" yang membantah anggapan tersebut. Namun sepertinya itu tak cukup bagi sebagian orang. Sekarang saya akan menjabarkan apa itu dalil dan apakah argumen rasional juga diperhitungkan oleh para ulama sebagai dalil.

Imam al-Amidy dalam karya monumentalnya, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, mendefinisikan dalil sebagai:

وَأَمَّا حَدُّهُ عَلَى الْعُرْفِ الْأُصُولِيِّ، فَهُوَ مَا  يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ بِهِ إِلَى الْعِلْمِ بِمَطْلُوبٍ خَبَرِيٍّ، وَهُوَ مُنْقَسِمٌ: إِلَى عَقْلِيٌّ مَحْضٌ، وَسَمْعِيٌّ  مَحْضٌ، وَمُرَكَّبٌ مِنَ الْأَمْرَيْنِ.

"Adapun definisinya menurut para ahli Ushul Fiqh adalah apa yang memungkinkan untuk sampai kepada pengetahuan yang diselidiki yang berupa kabar (bukan pengetahuan inderawi). Dalil tersebut terbagi menjadi dua, yaitu murni aqli, murni sam'i dan gabungan keduanya". 

Definisi serupa di atas mudah ditemukan dalam kitab-kitab lain, utamanya kitab ilmu Ushul Fiqh. Bedanya hanya soal istilah saja, sebagian memakai istilah "dalil sam'i" dan sebagian lagi memakai "dalil naqli", keduanya merujuk pada hal yang sama. Dalil naqli/sam'i adalah semua dalil tekstual dari sumber hukum islam, bisa berupa ayat al-Qur’an, hadis shahih, ijma' atau qaul mujtahid bagi para muqallid. Semua dalil tekstual ini adalah hujjah yang diakui akan tetapi kandungannya masih bisa dipilah menjadi dua; ada yang qath'i ad-dilalah (petunjuknya sudah jelas tanpa ada kemungkinan multi tafsir) dan ada yang dhanni ad-dilalah (petunjuknya masih belum jelas sebab mengandung beberapa kemungkinan penafsiran). 

Dalil naqli yang qath'i ad-dilalah misalnya firman Allah هو الله أحد  (dialah Allah Yang Maha Esa). Petunjuk dalil ini sudah jelas tentang keesaan Allah dalam semua aspek dan tak bisa ditafsirkan lain, semisal dengan tafsiran esa dalam trinitas. Adapun dalil naqli yang dhanni ad-dilalah misalnya firman Allah ثلاثة قروء (tiga quru'). Kata quru' bisa bermaksud masa suci dan bisa bermaksud masa haid. Dalil naqli jenis dhanni ini banyak sekali bahkan mendominasi sehingga kita dapati para ulama berbeda pendapat dalam hampir semua hal, meskipun Qur’an-nya ya hanya yang satu itu dan kitab hadisnya ya itu-itu saja dan semua ulama sudah membacanya. Mereka membaca teks yang sama persis, semua mengimaninya sebagai hujjah akan tetapi mempunyai penafsiran berbeda atas teks itu sebab teksnya sendiri memang memungkinkan dipahami berbeda. Perbedaan penafsiran ini berlaku dalam teks akidah, fikih, akhlaq, dan lainnya. 

Adapun dalil aqli berarti dalil rasional, yakni dalil yang didapatkan dari pemikiran logis. Bila anda melihat seorang anak, tentu anda tahu bahwa anak itu mempunyai ibu meskipun anda tak pernah melihatnya. Keberadaan ibu anak itu diperoleh dari kesimpulan rasional. Demikian juga ketika kita melihat semesta ini yang begitu teratur, kita tahu bahwa ada sosok Pencipta yang menciptakan dan mengaturnya sedemikian rupa. Dalil aqli ini juga diakui sebagai hujjah dalam agama, bahkan dalil naqli juga bergantung padanya. 

Nyaris semua ilmu dalam khazanah Islam lahir dari rahim dalil aqli ini sebab untuk memahami dalil naqli juga sering kali butuh argumen rasional. Berikut ini sedikit contohnya:

 - Ilmu tafsir membutuhkan dalil aqli untuk menentukan apa munasabah suatu ayat/surat dengan ayat/surat lainnya, untuk menyelesaikan tanaqudlul ayat (pertentangan antar ayat), untuk menentukan mana tafsir yang paling rasional, untuk menentukan metodologi tafsir yang hendak dipakai dan seterusnya. Jangan dikira Allah dan Rasulullah sudah memberikan ketentuan tentang metodologi tafsir dan apa tafsiran tiap ayat yang sebenarnya dikehendaki Allah. 

 - Ilmu hadis membutuhkan dalil aqli untuk menentukan teori sahih tidaknya suatu sanad, kriteria ketsiqahan para rawi, kriteria persambungan riwayat antar rawi, kriteria kritik matan, tatacara menyelesaikan tanaqudl (pertentangan makna), tatacara tarjih riwayat/matan dan seterusnya dalam ilmu hadis. Jangan dikira semua itu sudah dijelaskan dengan gamblang oleh Rasulullah. Bahkan menjelaskan bahwa hadis terbagi menjadi Shahih, Hasan dan dla'if saja Rasulullah tak pernah melakukannya. 

 - Ilmu Ushul Fiqh yang menjadi pondasi lahirnya fiqh juga disusun sepenuhnya oleh dalil aqli. Jangan kira Allah dan Rasulullah pernah menjelaskan tatacara memperlakukan nash umum-khusus, nash mutlaq-muqayyad, nash muhkam- mutasyabih perbedaan manthuq-mafhum, bagaimana memahami amar dan nahi, bagaimana menyelesaikan ta'arudul adillah, dan banyak hal lain yang dibahas dalam ilmu ushul fiqh. Semua itu adalah olah akal para mujtahid dalam memahami teks, sama sekali tak ada petunjuk teknis yang jelas dari Allah dan Rasulullah. Bahkan petunjuk operasional melakukan qiyas saja tak dijelaskan meskipun keberadaan qiyas sendiri bisa dilacak sejak masa Rasulullah. 

 - Ilmu Fikih memerlukan dalil aqli untuk mencari definisi yang tepat, menentukan illat hukum suatu perkara, menentukan maqashid as-syari'ah, tahrir mahallin niza' (mengurai inti perbedaan pendapat) dan lain sebagainya. Jangan kira ada petunjuk tekstual dari Allah dan Rasulullah untuk itu semua.

Demikian juga semua ilmu lainnya tak bisa lepas dari dalil aqli, tak terkecuali ilmu tauhid atau ilmu kalam. Menyangkal dalil aqli dengan anggapan "hanya akal-akalan" hanya menunjukkan dua hal: 1. Menyangkal dasar keberadaan semua ilmu keislaman. 2. Mempertontonkan kebodohan yang amat parah.

Ilmu tauhid/kalam sebenarnya masuk dalam kategori ketiga dalam klasifikasi dalil di atas, yakni dalil gabungan antara naqli dan aqli. Memahami tauhid harus sesuai dengan keduanya sekaligus sebab kita dilarang mengatakan sesuatu yang tidak ada landasan tekstualnya dan sekaligus diperintahkan untuk memakai akal sehat. Betapa banyaknya sanggahan Allah dalam al-Qur'an kepada para kaum kafir/musyrik gagal paham yang tak memakai akalnya secara benar. Jangan sampai meniru kebodohan penyembah berhala, penyembah api, penyembah matahari dan bintang atau penyembah manusia yang dipertuhankan. Jangan sampai menisbatkan sifat yang tak layak bagi kemuliaan Allah sebab Allah sendiri menafikan sifat seperti itu dalam firman-Nya سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ, maka suci tuhanmu dari apa yang disifatkan oleh mereka itu. Jangan sampai juga dalam hal akidah berkata seperti perkataan penyembah berhala "kami menemukan leluhur kami sudah berkeyakinan begitu" atau hanya taklid buta saja. 

Bahkan kita diperintah untuk belajar dari kisah pencarian Nabi Ibrahim akan Tuhan ketika melihat bulan dan matahari, hujjahnya ketika menghadapi Azar atau ketika menghadap seluruh kaumnya setelah dia menghancurkan biara. Ternyata semua dalil Nabi Ibrahim saat itu memakai dalil aqli. Dan, memang faktanya ketika menghadapi orang kafir, satu-satunya dalil yang bisa dipakai hanyalah dalil aqli. Demikian juga untuk memutuskan mana akidah kaum muslimin yang paling tepat ketika masing-masing kelompok sudah berdalil dengan ayat atau hadis shahih, itu hanya bisa dilakukan dengan dalil aqli, bukan naqli lagi sebab dalil naqli itulah yang diperdebatkan.

Jadi, ketika ada beberapa kelompok kaum muslimin yang berselisih tentang makna الرحمن على العرش استوى  misalnya; 

 1. Kelompok pertama mengatakan bahwa artinya adalah Allah mempunyai sifat duduk (julus/qu'ud) di atas Arasy tetapi cara duduknya misterius hanya Allah yang tahu dan Dia menyisakan satu tempat kecil sebagai tempat duduk nabi Muhammad.

 2. Kelompok kedua mengatakan bahwa artinya adalah Allah mempunyai sifat menetap/bertempat (istaqarra) di atas Arasy tetapi tidak menempel (min ghairil mumasah) dan cara menetapnya juga misterius.

 3. Kelompok ketiga mengatakan bahwa artinya adalah Allah  berkuasa atas Arasy secara mutlak tanpa harus melakukan penaklukan (istawla bil qahri la bil ghalabah) sebab pada hakikatnya adalah adalah memang maha Menguasai secara mutlak (al-Qahhar)

 4. Kelompok keempat mengatakan bahwa arti kata "istawa"  hanya Allah saja yang tahu sebab secara bahasa istawa mengandung banyak  kemungkinan penafsiran sedangkan tak ada satu nash pun yang menentukan mana yang tepat. Jadi lebih bijak kalau maknanya dipasrahkan ke Allah saja tak perlu kita bahas.

Maka untuk menentukan mana pendapat yang unggul, yang diperlukan adalah dalil aqli. Kalau malah ada yang menjawabnya dengan salah satu jawaban di atas lalu mengklaim dirinya paling benar dengan berdalil الرحمن على العرش استوى  lalu membaca terjemahnya yang dipilih sesuai seleranya sendiri, maka orang tersebut pasti IQ-nya hanya sedikit lebih tinggi daripada sebongkah batu. Keempat jawaban di atas didukung oleh banyak tokoh ternama yang kalau pernyataan mereka mau dikutip semua bisa sangat panjang. Kalau kelompok pertama menukil pernyataan tokoh yang sependapat dengannya, maka tiga kelompok lainnya juga bisa menukil tokoh yang membelanya dan demikian seterusnya tanpa ada ujungnya. Lalu tokoh kelompok manakah yang benar? Lagi-lagi jawabannya mutlak harus dengan dalil aqli sebab kita tak bisa bertanya pada Allah atau Rasulullah tentang kelompok mana yang benar padahal HANYA KEDUANYA SAJA rujukan utama ketika umat ini berselisih paham, bukan manusia yang manapun yang mempunyai gelar apapun dan dianggap sealim apapun. Semua tarjih ditentukan oleh adu argumentasi rasional (aqliyah). 

Sekarang mari kita coba mengurainya. Tafsiran kelompok pertama dan kedua tidak layak bagi Allah sebab kedua jawaban ini berangkat dari asumsi bahwa Allah itu sebenarnya adalah Materi yang menempati ruang tertentu dengan cara tertentu yang misterius. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa Allah punya bentuk fisik, ukuran fisik dan seterusnya yang intinya sama saja dengan seisi semesta yang kita kenal ini meskipun bentuk dan susunan molekulnya beda. Pernyataan seperti ini tak ada bedanya dengan meyakini bahwa Allah itu Alien raksasa yang misterius. Ini bertentangan dengan spirit ayat لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ,  هل تعلم له سميا dan banyak ayat lainnya. 

Sedangkan jawaban ketiga bisa dibenarkan secara bahasa dan tak bertentangan dengan ayat lain yang lebih jelas maksudnya. Secara sederhana, pendapat ini bisa dipakai. Namun ada satu kelemahan dari pendapat ini,  tak ada jaminan bahwa makna itulah yang dikehendaki Allah dan Rasulullah sebab mereka berdua tidak pernah memberikan keterangan jelas. Selain itu, pendapat ketiga ini sangat bergantung pada konteks secara keseluruhan sehingga bila kata itu (istawa) dipisah ke dalam konteks yang berbeda, maka akan berbeda pula artinya.

Adapun pendapat keempat, maka inilah pendapat paling aman sebab tak menetapkan makna apapun yang tak ada nash ayat atau hadisnya yang secara gamblang menjelaskan bahwa maknanya demikian. Di lain pihak, tak ada satu pun nash yang dilanggar dengan posisi netral ini sehingga pendapat ini nyaris tak punya celah. Pendapat ini dikenal dengan istilah tafwidh dan inilah pendapat yang dipilih mayoritas ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Nah beginilah para ulama ketika melakukan tarjih masalah akidah dalam kitab-kitab yang besar itu. Jangan kira sebab tulisan ini tidak memakai bahasa Arab lantas bukan dalil atau akal-akalan. Semua orang yang waras memakai dalil aqli untuk mempertahankan tafsirannya, termasuk mereka yang diklaim paling salaf seperti Ibnu Taymiyah. Majmu' al-Fatawa, Dar'u Ta'arudil Aqli wan Nash, Bayan Talbis al-Jahmiyah, al-Hamawiyah dan banyak lainnya adalah kitab-kitab Ibnu Taymiyah yang penuh sesak dengan dalil aqliyah. Dia menukil sekian banyak ikhtilaf lalu mentarjihnya dengan argumen rasional yang akan memukau orang awam yang tak paham isu ini. Jujur, saya terinspirasi dan mengikuti gaya berargumen Ibnu Taymiyah setelah mempelajari puluhan kitabnya meskipun hasilnya bertolak belakang dengan yang ia simpulkan sebab saya bukan tipe "katak" yang menjadikan kitab Ibnu Taymiyah (dan Ibnu Qayyim) sebagai tempurungnya. 

Wallahu a'lam dan semoga bermanfaat.

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

8 Februari 2018  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Definisi Dalil Beserta Klasifikasinya". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait