Menjaharkan Dzikir dan Doa Bersama Usai Sholat Fardhu

Menjaharkan Dzikir dan Doa Bersama Usai Sholat Fardhu

SUNNAH – MENJAHARKAN (MENGERASKAN SUARA) DZIKIR & DOA BERSAMA USAI SHOLAT FARDHU

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah dengan segala limpahan nikmat-nikmat-Nya yang zhahir maupun yang batin. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Berdzikir sesudah shalat merupakan sunnah yang sudah diamalkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hendaknya kita mengikuti beliau dalam amal ini dan mencontoh bagaimana beliau melaksanakannya.

Sebagian saudara kita (kaum muslimin) ada yang memandang bahwa dzikir sesudah shalat harus lirih, tidak boleh mengeraskannya karena bisa mengganggu orang di sekitarnya yang juga berdzikir atau mengganggu mereka yang sedang menyelesaikan shalatnya.

Sehingga ketika ada ikhwan yang mengeraskan suara dzikir diingkari dan dianggap bid’ah. 

Bagaimana tatacara dzikir sesudah shalat yang sesuai sunnah? Apakah disunnahkan mengeraskannya atau melirihkannya?

Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud“, dan Kami telah melunakkan besi untuknya (Qs Saba : 10)

Dzikir setelah shalat merupakan ibadah yang sangat disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga melakukannya dengan suara keras.Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah shalat, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنْ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ibnu Abbas menambahkan, ‘Aku mengetahui mereka selesai shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya.”dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

كُنْتُ أَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّكْبِيرِ

“Aku mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.” (HR. al-Bukhari)

Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ مِنْ صَلاتِهِ يَقُولُ : بِصَوْتِهِ الأَعْلَى : ” لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ ، وَلا نَعْبُدُ إِلا إِيَّاهُ ، لَهُ النِّعْمَةُ ، وَلَهُ الْفَضْلُ وَلَهُ الثَّنَاءُ الْحَسَنُ ، لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mengucapkan salam dari shalatnya akan berkata dengan suaranya yang paling tinggi: laa ilaaha illallaahu wahdahuu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syay’in qadiir. ..

Hadits-hadits di atas merupakan dalil tentang sunnahnya menjaharkan (mengeraskan) suara dzikir sesudah shalat. Dan ini menjadi bantahan bagi mereka yang mengingkari dan melarangnya.

Ibnu Huzaiman memasukkan hadits di atas dalam kitab Shahih-nya, dan memberinya judul, Bab: Raf’u al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr ‘inda Inqidha’ al-Shalah – Bab: meninggikan ( mengeraskan ) suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat ( wajib ).. hal ini menunjukkan bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan takbir dan dzikir sesudah shalat.

Ibnu Daqiq al-‘Id, juga menyatakan hal yang sama, “ Dalam hadits ini, terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir.”

( Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul Ahkam )

Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, bahwa hadits ini adalah dalil bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan di antara ulama muta’akhirin yang menyunahkannya adalah Ibnu Hazm al-Zahiri.

Sedangkan Imam al-Syafi’i rahimahullaah, memaknai hadits di atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat dzikir, bukan mengeraskan terus menerus.

Imam Syafi’i berpendapat agar imam dan makmum melirihkan dzikir kepada Allah Ta’ala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu melirihkannya. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. ( Lihat Syarah Shahih Muslim lin Nawawi ).

Penjelasan Syaikh Dr. Musthafa Dib Al-Bugha:

“Saya melihat -wallahu a’lam, dalil-dalil yang menunjukkan anjuran memelankan suara saat dzikir tidak tegas. Bahkan hadits Ibnu Abbas yang menganjurkan supaya suara dikeraskan lebih tegas.

Jika yang dimaksud adalah untuk keperluan pengajaran, sebagaimana kata Imam Syafi’i, maka kebutuhan untuk mengajari itu selalu ada, terutama di zaman kita yang banyak didapati kelalaian dan ketergesa-gesaan orang-orang setelah shalat untuk keluar masjid demi kesibukan dunia. Oleh karena itu, tidak mengapa dzikir dan doa itu dilakukan secara berjamaah dan dengan suara keras. Wallahu a’lam.”

Sumber: kitab “Tanwirul Masalik” jilid 1 halaman 223 cetakan ke-3 Darul Musthafa, Damaskus, Suriah

Zikir Keras

Berikut ini kami sertakan fatwa-fatwa para ulama tentang dzikir sesudah shalat:

1. Fatwa Syaikh Utsaimin rahimahullaah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin pernah ditanya tentang hukum menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan bagaimana cara pelaksanaannya?

Beliau menjawab: Bahwa sesungguhnya menjaharkan dzikir sesudah shalat fardhu adalah sunnah.

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu menunjukkan sunnah tersebut, bahwa mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang selesai melaksanakan shalat fardhu telah ada pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,

كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ

“Dan aku tahu apabila mereka telah selesai dari shalat dengan itu, (yaitu) apabila aku mendengarnya.” (Hadits ini juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud. Hadits ini adalah salah satu dari hadits-hadits dalam al-‘Umdah).

Dalam Shahihain, dari hadits al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca apabila telah selesai shalat:

لَا إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

“Tidak ada tuhan yang hak kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.” Al-hadits. Dia tidak akan mendengar dzikir ini kecuali jika orang yang berdzikir mengeraskannya.

Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhum. Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.

Tidak didapatkan keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membedakan antara tahlil dan selainnya.

Bahkan di dalam hadits Ibnu Abbas, mereka mengetahui selesainya shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.

Dengan ini terbantahkan pendapat orang bahwa tidak boleh jahar (keras) dalam membaca tasbih, tahmid, dan takbir.

Ibnu Taimiyah, para ulama salaf dan khalaf memilih menjaharkan dzikir sesudah shalat berdasarkan hadits Ibnu Abbas dan al-Mughirah radhiyallahu ‘anhum.

Dan mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat disyariatkan baik saat membaca tahlil, tasbih, takbir, ataupun tahmid berdasarkan keumuman hadits Ibnu Abbas.

Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah. Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut bid’ah?!

Syaikh Sulaiman bin Sahman rahimahullaah berkata, “Hal itu ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari perbuatan dan taqrirnya.

Para sahabat melaksanakan hal itu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau mengajarkannya kepada mereka.

Beliau menyetujui mereka atas hal itu sehingga mereka mengetahuinya dengan pengajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka.

Mereka melaksanakan dan beliau menyetujui mereka di atas perbuatan tersebut setelah mengetahuinya, beliau tidak mencela mereka.”

Adapun alasan mengingkari dzikir jahar dengan firman Allah Ta’ala,

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآَصَالِ

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,” (QS. Al-A’raf: 205).

Maka kami jawab:

Sesungguhnya Dzat yang memerintahkan menyebut nama Rabbnya (dzikir) dalam hati dengan merendahkan diri dan rasa takut adalah yang memerinthakan untuk menjaharkan dzikir sesudah shalat wajib.

Apakah orang yang tersebut lebih mengetahui maksud Allah Ta’ala daripada Rasul-Nya? Atau ia meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui maksud Allah tapi beliau menyelisihinya.

Kemudian ayat yang menyebutkan dzikir pada pagi hari dan sore hari bukan dzikir sesudah shalat lima waktu. Imam Ibnu katsir rahimahullaah dalam tafsirnya memahami makna jahar (keras) di sini dengan terlalu keras ( berteriak-teriak ).

Adapun yang mengingkari dzikir jahar ini dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

“Wahai manusia kasihanilah diri kalian, karena kalian tidaklah berdoa kepada Dzat yang tuli…! (sampai akhir hadits)”.

Maka bisa dijawab dengan mengatakan:

Sesungguhnya orang yang menyabdakan hal itu, dia juga yang dulunya mengeraskan dzikir setelah shalat wajib ini.

Itu berarti, tuntunan ini punya tempat sendiri, sedangkan yang itu juga ada tempatnya sendiri. Dan sempurnanya mengikuti sunnah beliau adalah dengan menempatkan semua nash yang ada pada tempatnya masing-masing.

Kemudian ungkapan dalam sabdanya,

“Kasihanilah diri kalian,”

menunjukkan bahwa para sahabat terlalu meninggikan suaranya sehingga menyulitkan dan memberatkan mereka.

Karena sebab inilah beliau bersabda,

“ Kasihanilah diri kalian.”

Maksudnya, berlemahlembutlah terhadap diri kalian dan jangan terlalu membebani diri kalian. Sedangkan menjaharkan dzikir sesudah shalat bukan termasuk kesulitan dan membebani.

Adapun orang yang mengatakan bahwa amalan itu bisa mengganggu orang lain, maka bisa dijawab dengan mengatakan padanya:

Jika maksudmu akan mengganggu orang yang tidak biasa dengan hal itu, maka seorang mukmin jika sudah ada kejelasan bahwa hal itu merupakan sunnah, maka hal ( gangguan ) itu akan hilang ( dengan sendirinya ).

Jika maksudmu akan mengganggu jamaah lain yang masih shalat, maka jika jamaah tidak ada yang masbuq ( terlambat ) maka mengeraskan suara tersebut tidak akan mengganggu mereka sebagaimana fakta lapangan, karena mereka sama-sama mengeraskan dzikirnya.

Jika ada yang masbuq dan sedang menyelesaikan shalatnya, jika ia dekat denganmu sehingga bisa mengganggunya, maka jangan keraskan suara dzikir dengan tingkatan suara yang bisa mengganggunya, agar kamu tidak mengganggu shalatnya.

Sedang jika ia jauh darimu, maka ia tak akan terganggu oleh suara keras dzikirmu yang keras.

Berdasarkan keterangan yang kami sebutkan, menjadi jelas bahwa mengeraskan dzikir setelah shalat wajib adalah sunnah. Hal itu sama sekali tidak bertentangan dengan nash yang shahih maupun dengan penalaran yang jelas.

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar menganugerahkan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita semua. sesungguhnya Dia itu maha dekat lagi maha mengabulkan doa. ( Fatawa wa Rasail Ibni Utaimin, jilid 13 ).

Adapun orang yang berkata bahwa menjaharkan bacaan dzikir sesudah shalat adalah bid’ah, sungguh dia telah salah.

Bagaimana sesuatu yang biasa dilaksanakan pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebut bid’ah?! ( Syaikh Utsaimin ).

Fatwa Syaikh Ibnu Bazz

Al-‘Allamah Ibnu Bazz pernah ditanya tentang sunnah dzikir sesudah shalat, mana yang sesuai sunnah, mengeraskan dzikir atau melirihkannya?

Beliau menjawab:

Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam.

Hal itu didasarkan hadits dalam Shahihain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa mengeraskan suara dzikir sesudah manusia selesai melaksanakan shalat wajib sudah ada pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Abbas berkata :

“ Aku mengetahui kalau mereka sudah selesai shalat apabila aku mendengarnya.”

( Kumpulan pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibnu Bazz oleh Muhammad al-Syayi’ ).

Dalam Jawaban lain, beliau berkata:

Telah disebutkan dalam kitab shahihain, dari riwayatnya Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

“ Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “.

Ibnu Abbas juga mengatakan:

“Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat aku mendengar (suara dzikir) itu.”

Hadits shahih ini dan hadits-hadits semakna lainnya yang berasal dari hadits Ibnu Zubair, dan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya,

semuanya menunjukkan disyariatkannya mengeraskan dzikir ketika orang-orang selesai shalat wajib, yang kira-kira sampai terdengar oleh orang-orang yang berada di pintu-pintu dan di sekitar masjid, sehingga mereka tahu selesainya shalat ( jama’ah ) dengan ( kerasnya suara dzikir ) itu.

( Tapi )bagi orang yang didekatnya ada orang lain yang sedang menyelesaikan shalatnya, maka sebaiknya ia memelankan sedikit suaranya, agar tidak mengganggu mereka, karena adanya dalil-dalil lain yang menerangkan hal itu.

Dalam tuntunan mengeraskan dzikir ketika para jamaah selesai shalat wajib ini, ada banyak manfaat, diantaranya:

1. Menampakkan pujian kepada Allah Ta’ala yang telah memberikan mereka kenikmatan bisa menjalankan kewajiban yang agung ini.

2. Dan ( Sebagai sarana untuk ) mengajari orang yang jahil dan mengingatkan orang yang lupa. Jika saja tidak ada hal itu, tentunya sunnah ini akan jadi samar bagi banyak orang. Wallahu waliyyut taufiq.

Yang sunnah adalah menjaharkan dzikir sesudah shalat lima waktu dan sesudah shalat Jum’at ba’da salam. ( Syaikh Ibnu Bazz ).,

Beliau ditanya tentang menjaharkan doa dan dzikir secara umum, dan sesudah shalat secara khusus? Apakah doa dan dzikir itu dengan keras, lirih, atau di antara keduanya?

Beliau menjawab :

“Doa yang dicontohkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang disyari’atkan, seseorang diberi pilihan antara menjaharkannya atau melirihkannya. Allah Ta’ala berfirman,

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (QS. Al-a’raf: 55)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui yang lirih dan tersembunyi.

Engkau boleh berdoa dengan keras dan lirih, kecuali apabila menjaharkannya bisa mengganggu orang disekitarmu; yang tidur, shalat, atau yang sedang membaca Al-Qur’an al-Karim, maka engkau harus melirihkan suaramu.

Atau apabila kamu takut tumbuh riya’ dan sum’ah dalam dirimu, maka engkau lirihkan suaramu dalam berdoa, karena hal ini lebih bisa menjadikan ikhlas.

Perlu diperhatikan, bahwa mengeraskan di sini bukan dengan suara bersama-sama (koor), sebagaimana yang dilakukan sebagian orang.

Setiap orang berdoa untuk dirinya dengan lirih dan keras. Adapun berdoa dengan berjama’ah (bersama-sama), maka termasuk bid’ah.

Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa para sahabat menjaharkan dzikir sesudah shalat; tahlil dan ihtighfar sesudah salam sebanyak tiga kali, lalu membaca:

اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

sampai akhir dari dzikir-dzikir yang dicontohkan, maka membacanya dengan keras.

Tapi dengan sendiri-sendiri, bukan dengan berjamaah ( bersama-sama ) sebagaimana yang kami sebutkan di awal.

Dzikir berjama’ah ini termasuk perkara bid’ah (yang diada-adakan).

” Setiap orang berdzikir sendiri-sendiri dan mengeraskannya sesudah shalat.”

(al-Muntaqa’ min Fatawa al-Fauzan: Juz 3).

Sedangkan dzikir sesudah shalat, maka yang sunnah adalah menjaharkannya sesuai dengan hadits-hadits shahih . . . ( Syaikh Shalih Fauzan ).

Fatwa Lajnah Daimah

Disyariatkan untuk mengeraskan dzikir setelah shalat wajib, karena adanya keterangan yang shahih dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ( ia mengatakan ):

“ Sesungguhnya mengeraskan dzikir saat selesai dari shalat wajib, itu telah ada di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “.

Ibnu Abbas juga mengatakan:

“Aku tahu selesainya shalat mereka itu, saat ku dengar (suara dzikir) itu”.

( Mengeraskan dzikir setelah shalat wajib tetap disunnahkan ), meski ada orang-orang yang masih menyelesaikan shalatnya, baik mereka itu ( menyelesaikan shalatnya secara ) sendiri-sendiri atau dengan berjama’ah.

Dan hal itu yakni mengeraskan dzikir ) disyariatkan pada semua shalat wajib yang lima waktu.

Adapun mengeraskan doa dan membaca Al-Qur’an secara jama’i ( bersama-sama ), maka hal ini tidak pernah ada tuntunannya dari Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, maupun dari para sahabat beliau. ( Oleh karena itu ) , perbuatan itu termasuk bid’ah. Adapun jika ia berdoa untuk dirinya sendiri, atau membaca Quran sendiri dengan suara tinggi, maka hal itu tidak mengapa, asal tidak mengganggu orang lain.”

Sanggahan paragraf terakhir fatwa di atas, bahwa Nabi telah mengajarkan Zikir setelah sholat, jika dibaca sendiri-sendiri maka yang ada akan menjadi tak terkendali, maka baiknya agar diserentakkan (secara bareng dan bersama-sama).

Penutup

Dari hadits dan penjelasan ulama di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat wajib adalah sunnah. Ini merupakan petunjuk yang dzahir dan sharih dari teks hadits dalam Shahihain.

Walaupun ada pendapat sebagian ulama – seperti imam Syafi’i, Imam Nawawi dan Syaikh Al-Albani- yang melarang menjaharkannya dan membawa makna hadits di atas sebagai pengajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya, jadi dilaksanakan hanya temporar dan tidak terus menerus.

Jika tidak ada tujuan seperti itu maka dianjurkan untuk melirihkannya.

Pendapat yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir sesudah shalat sesuai dengan dzahir hadits.

Maka, sebagaimana kaidah Ushul Fiqih bahwa makna dzahir harus lebih didahulukan dan diamalkan sehingga ada dalil kuat lainnya yang me-nasakh-nya, atau men-takhshish-nya atau men-takwil-nya.

Dan tidak didapatkan adanya dalil kuat yang menerangkan, bahwa dikeraskannya dzikir setelah shalat wajib itu hanya untuk sementara waktu saja.

zikir jahr

*************************

DOA BERSAMA SETELAH SHOLAT JAMAAH

Dari Abu Umamah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang doa yang paling didengari oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, baginda Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.

“Artinya : Di pertengahan malam yang akhir dan setiap selesai shalat fardhu”.

(Sunan At-Tirmidzi, bab Jamiud Da’awaat 13/30).

ini yang sangat dianjurkan oleh Baginda Rasul SAW:

“دَخَلَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا . وَمَا هُوَ إِلَّا أَنَا وَأُمِّيْ وَأُمُّ حَرَامٍ خَالَتِيْ . فَقَالَ قُوْمُوا فَلِأُصَلِّي بِكُمْ ) فِيْ غَيْرِ وَقْتِ صَلاَةٍ ) فَصَلَّى بِنَا . فَقَالَ رَجُلٌ لِثَابِتٍ : أَيْنَ جَعَلَ أَنَسًا مِنْهُ ؟ قَالَ : جَعَلَهُ عَلَى يَمِيْنِهِ . ثُمَّ دَعَا لَنَا ، أَهْلَ الْبَيْتِ ، بِكُلِّ خَيْرٍ مِنْ خَيْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ . فَقَالَتْ أُمِّي : يَا رَسُولَ اللهِ ! خُوَيْدِمَك . ادْعُ اللهَ لَهُ. قَالَ فَدَعَا لِي بِكُلِّ خَيْرٍ . وَكَانَ فِيْ آخِرِ مَا دَعَا لِيْ بِهِ أَنْ قَالَ اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ”

الراوي : أنس بن مالك | المحدث :مسلم | المصدر : صحيح مسلم. الصفحة أو الرقم: 660 | خلاصة حكم المحدث : صحيح

Artinya : “Dari Anas bin Malik ra, berkata: Rasulullah SAW datang ke rumah kami dan yang ada di rumah hanyalah aku, ibuku dan Ummu Haram Ibu saudaraku (bibi) lalu Baginda bersabda: “Bangunlah aku akan mengimami shalat bersama kalian (dalam waktu bukan waktu solat fardhu)”lalu Baginda mengimami kami. Ada seorang lelaki berkata kepada Tsabit: Di mana Rasulullah meletakkan Anas? Jawab Tsabit: Di sebelah kanan Baginda. Anas berkata : Kemudian Baginda mendoakan kebaikan bagi kami sekeluarga di dunia dan akhirat. Lalu ibuku berkata: Wahai Rasulullah, doakanlah khadam kecilmu ini (Anas). Lalu Baginda mendoakan dengan semua kebaikan dan di akhir do’anya baginda mendoakan Anas dengan do’a : “Ya Allah, banyakkan hartanya dan anaknya dan berkati dia padanya “ (HR : Imam Muslim)

Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).

Menurut al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43), kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman tentang kisah Nabi Musa AS:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).

Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa AS, sedangkan Nabi Harun AS hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa AS yang berdoa dan Nabi Harun AS yang mengucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan berdoa. Hal ini pada dasarnya menguatkan substansi hadits di atas, bahwa orang yang berdoa dan yang mengucapkan amin sama-sama mendapatkan pahala doa. Mengenai doa Nabi Musa AS tersebut, telah dijelaskan dalam ayat sebelumnya, yaitu ayat berikut ini:

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ، (يونس : ٨٨).

“Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasankalah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (QS. Yunus : 88).

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنْ يَعْلَى بْنِ شَدَّادٍ قَالَ: حَدَّثَنِيْ أَبِيْ وَعُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ حَاضِرٌ يُصَدِّقُهُ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ؟ يَعْنِيْ أَهْلَ الْكِتَابِ، فَقُلْنَا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ وَقَالَ: اِرْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ وَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، فَرَفَعْنَا أَيْدِيَنَا سَاعَةً، ثُمَّ قَالَ: اَللّهُمَّ أَنْتَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ وَأَنْتَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ، ثُمَّ قَالَ: أَبْشِرُوْا فَقَدْ غُفِرَ لَكُمْ. رواه الإمام أحمد بسند حسنه الحافظ المنذري، والطبراني في الكبير وغيرهما.

“Ya’la bin Syaddad berkata: “Ayahku bercerita kepadaku, sedangkan Ubadah bin al-Shamit hadir membenarkannya: “Suatu ketika kami bersama Nabi SAW. Beliau berkata: “Apakah di antara kamu ada orang asing? (Maksudnya ahlul-kitab).” Kami menjawab: “Tidak ada, ya Rasulullah.” Lalu Rasul SAW memerintahkan agar mengunci pintu. Kemudian bersabda: “Angkatlah tangan kalian dan ucapkan la ilaha illlallah.” Maka kami mengangkat tangan kami beberapa saat. Kemudian Rasul SAW berkata: “Ya Allah, Engkau telah mengutus aku membawa kalimat ini, dan Engkau janjukan surga padaku dengan kalimat tersebut, sedangkan Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian Rasul SAW bersabda: “Bergembiralah, karena Allah telah mengampuni kalian.” (HR. al-Imam Ahmad dengan sanad yang dinilai hasan oleh al-Hafizh al-Mundziri, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir dan lain-lain.

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat membaca kalimat tauhid (la ilaha illallah) bersama-sama. Lalu para sahabat pun mengucapkannya bersama-sama sambil mengangkat tangan mereka. Kemudian Rasulullah SAW membacakan doa. Dengan demikian, dzikir bersama sebenarnya memiliki tuntunan dari hadits shahih ini.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang di antara jamaah memimpin doa, sedangkan jamaah yang lain mengucapkan amin, baik hal tersebut didahului dengan dzikir bersama maupun tidak, pada dasarnya memiliki dasar hadits yang kuat, dan bahkan merupakan tuntunan al-Qur’an al-Karim sebagaimana yang terdapat dalam kisah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS.

__________________________

Pendapat Tidak Boleh di pimpin imam atau dikomandoi satu orang

Alhamdulillah banyak dari Salafy mulai menerima adanya praktek zikir berjamaah setelah sholat, akan tetapi sayangnya mereka masih melarang hal itu di pimpin satu orang, artinya mereka katakan bahwa yang di maksud zikir tetap sendiri-sendiri dengan suara yang nyaring. Benarkah begitu??

Jawaban & Sanggahan

Boleh dan silahkan saja para Salafy berpendapat seperti itu, akan tetapi jika melihat ketaatan & ahlak para sahabat kepada Nabi saw, akankah mereka tidak mengikuti zikir Nabi, mendahului zikir Nabi atau berzikir keras melampaui Nabi?. Hal itu tidaklah mungkin, saat itu Rasul saw mengajarkan zikir-zikir kepada sahabat Nabi saw, dan para sahabat mengikutinya.

Pendapat bahwa hanya zikir saja yang di baca Keras, membaca Qur’an tidak

Sebagian Salafy katakan bahwa hanya zikirlah yang diperbolehkan dibaca agak keras, sedangkan membaca Qur’an keras tidak ada contohnya.

Jawaban & Sanggahan

Boleh & silahkan saja Salafy berpendapat seperti itu, akan tetapi lihatlah dan perhatikanlah bahwa Rasulullah saw memerintahkan beberapa Surat dalam Qur’an untuk di rutinkan dibaca setelah sholat. Akan terasa ganjil jika zikir dibaca keras sedangkan bagian Qur’an tidak, bukankah membaca Qur’an juga bagian dari zikir??, perhatikanlah sabda Nabi saw berikut ini:

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Berkata: “Aku Mendengar RASULULLAH Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Bersabda:

مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَىْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِىِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ

“ALLAH Tidak Pernah Mendengarkan Sesuatu Seperti Mendengarkan Nabi yang Indah Suaranya Melantunkan Al-Qur’an dan Mengeraskannya”. (HR. Bukhari No. 5024 dan Muslim No. 792).

Wallahu a’lam

Menjaharkan Dzikir dan Doa Bersama Usai Sholat Fardhu

Sumber FB Group : Dakwah Buya Arrazy Hasyim

21 November 2021

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Menjaharkan Dzikir dan Doa Bersama Usai Sholat Fardhu". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait