Ikhtilaf Terjadi Karena Meninggalkan Quran-Sunnah?

Ikhtilaf Terjadi Karena Meninggalkan Quran-Sunnah?

Ikhtilaf Terjadi Karena Meninggalkan Quran-Sunnah?

"Ikhtilaf terjadi karena meninggalkan al-Quran dan Sunnah, maka untuk menghilangkannya mesti kembali kepada al-Quran-Sunnah" adalah asumsi prematur dan pemahaman dangkal terhadap Fiqh atau karena kurang literasi dalam kajian Fiqh atau tidak paham dengan Fiqh.

Jika masih berkesimpulan seperti asumsi diatas sebaiknya baca kitab-kitab fikih muqaran (perbandingan mazhab) klasik, seperti: al-Majmu` Imam Nawawi, al-Muhalla Imam Ibnu Hazm, dan al-Mughni Imam Ibnu Qudamah, lalu buktikan apakah para mujtahid yang ikhtilaf dalam masalah-masalah khilafiah di situ tidak kembali pada Quran-Sunnah? 

Definisi Fiqh menurut para ulama Ushul Fiqh dan Ulama Fiqh adalah

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصيلية

"Mengetahui hukum-hukum syariat terkait 'amaliyah yang berasal dari istinbath terhadap dalil-dalilnya yang spesifik"

Dari definisi ini dipahami bahwa hukum fiqh adalah hukum syariat. Makna hukum syariat, dalil-dalil yang menjadi dasar dalam penetapan hukum fiqh adalah dalil-dalil syariat yang disepakati oleh semua ulama, yaitu; Al-Qur'an, Sunnah, Ijma', dan Qiyas, dan dalil-dalil yang tidak disepakati oleh semua ulama, yaitu; mashalih al-mursalah, Ijma' ahl al-Madinah, istihsan, sadd al-dzarai', dan lain-lain. Bukan sekedar pendapat manusia yang dibangun dengan asumsi dan perkiraan.

Fiqh sejatinya adalah tafsir Al-Qur'an dan Sunnah terkait penjelasan amaliyah yang diinginkan oleh Allah dan Rasul dari setiap muslim. Bukan lawan dari Al-Qur'an dan Sunnah. Maka Fiqh -selama melalui proses menyimpulkan hukum berdasarkan konsep-konsep Ushul Fiqh- tidak akan pernah bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.

Seorang mujtahid yang menyimpulkan hukum dari dalil-dalil syariat mesti seorang mukallaf yang memiliki ilmu yang komprehensif terhadap bahasa Arab dengan keahlian diatas rata-rata, mengetahui ayat dan hadis yang bernarasi hukum, nasakh-mansukh, ijma' ulama, dan masih banyak ilmu lain terkait bahasa Arab, validasi riwayat, dan ilmu dalam menyimpulkan nash. Tidak cukup sekedar tahu bahasa Arab atau sekedar hafal dalil.

Dalam menyimpulkan hukum terjadi perbedaan pemahaman ulama. Perlu dicatat, perbedaan mereka dalam pemahaman dalil berdasarkan  argumentasi kaidah-kaidah ilmu yang sudah diakui oleh para ahlinya. Disebabkan oleh "karunia pemahaman" yang Allah berikan kepada masing-masing mereka. Bukan egoisme merasa paling benar dibanding pemahaman orang lain.

Syaikh Musthafa Said al-Khin dalam buku Atsarul Ikhtilaf fil Qawaid al-Ushuliyyah fi Ikhtilafil Fuqaha menyebutkan diantara sebab perbedaan hasil ijtihad para ulama fiqh, diantaranya, 

Pertama, perbedaan qira’at (cara membaca). Al-Qur’an diterima oleh para sahabat tidak dalam satu qira’at saja, melainkan dalam berbagai bentuk qira’at. 

Contoh:

 يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ     

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (Al-Maidah: 6).

Imam Nafi’, Ibnu Amir, dan Kisa’i membaca lafadz “wa arjulakum” dengan i’rab nashab, sedangkan imam Ibnu Katsir, Abu Amr, dan Hamzah membacanya dengan jar, yaitu “wa arjulikum”. Mayoritas ulama fiqih mengikuti bacaan nashab, sehingga mereka menyatakan kewajiban dalam berwudhu adalah membasuh kaki, bukan mengusapnya. Sedangkan ulama Syi’ah Imamiyyah memilih bacaan jar, dan menegaskan kewajiban mengusap kaki dalam wudhu. 

Kedua, tidak mengetahui ada hadit Nabi dalam permasalahan yang dibahas. Para sahabat berbeda intensitasnya dalam berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga mereka berbeda dalam mengetahui hadits-haditsnya. Ada sahabat yang mengetahui banyak hadits, sebaliknya ada sahabat yang hanya mengetahui sedikit hadits. Perbedaan pengetahuan tentang hadits ini menyebabkan perbedaan pendapat ulama. Sahabat Abu Bakar al-Shiddiq tidak memberi hak waris bagi seorang nenek, sampai sahabat Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin Maslamah bersaksi bahwa Nabi memberinya bagian seperenam dari harta warisan. Begitu pula Abu Hurairah menghukumi batalnya puasa orang yang junub, sampai beliau mendengar hadits riwayat Aisyah dan Ummu Salamah:

 أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُ فِي رَمَضَان. 

“Bahwa pada pagi hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, lalu beliau melanjutkan puasanya.” (H.R. Bukhari Muslim). (Baca juga: Dialog Para Imam Mazhab soal Hadits)

Ketiga, tidak pasti dalam menghukumi kesahihan sebuah hadis. Para ulama tidak langsung mengamalkan hadis yang mereka dapatkan tanpa terlebih dahulu meneliti kesahihannya. Perbedaan dalam menghukumi kesahihan hadis menyebabkan perbedaan dalam hukum fiqih. Misalnya, Sahabat Umar bin Khattab berpendapat bahwa orang yang junub tidak boleh bertayammum, dan tidak boleh shalat sampai dia mendapatkan air lalu mandi besar. Beliau tidak mengambil hadis riwayat Ammar bin Yasir yang menjelaskan sahnya tayammum bagi orang junub, karena menurut Umar hadis tersebut tidak sahih. 

Begitu pula hukum puasa bagi orang yang makan atau minum di siang hari puasa karena lupa. Menurut mayoritas ulama puasanya tetap sah dan tidak wajib mengqadha, berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

   إِذَا أَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا أَوْ شَرِبَ فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللهُ إِلَيْهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ   

“Apabila seseorang yang berpuasa makan atau minum karena lupa, maka sesungguhnya itu rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan tidaklah ia berkewajiban mengqadha’ (menggantinya)." (HR. Al-Daraquthni). 

Sedangkan Imam Malik tidak menganggap hadis di atas sebagai hadis sahih, sehingga ia berpendapat bahwa hukum puasa orang yang makan atau minum karena lupa adalah batal, dan ia wajib mengqadhanya. 

Karena problematika kehidupan manusia terus berubah dari zaman ke zaman, maka akan selalu muncul prilaku baru dan setiap perilaku baru menuntut penjelasan hukum, maka untuk menjelaskannya para mujtahid berijtihad dengan merujuk kepada Quran-Sunnah, lalu timbul ikhtilaf dalam menilainya seperti penjabaran di atas. Jika problematika-problematika itu sudah tuntas di zaman Rasulullah, tidak akan dilakukan ijtihad oleh para ulama mujtahid karena itu adalah tahshil al-hashil (perbuatan sia-sia), apalagi akan berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukumnya. Jangan terlalu mudah menghukumi bid'ah karena itu perbuatan bid'ah!

Catatan:

Bagi yang ingin share postingan ini, sebaiknya sekalian copy paste tulisan di postingan, jangan sekedar klik "share", karena hanya akan share video yang berisi narasi syubhat!

Baca juga kajian Sunnah berikut :

  1. 12 Kesunnahan saat Gosok Gigi atau Bersiwak
  2. Mandi Sunnah dalam Ibadah Haji dan Umrah
  3. Takut Bid'ah Meninggalkan Sunnah
  4. Empat Perbedaan Kurban Wajib dan Sunnah
  5. Awal Mula Keutamaan Sunnah Rasul Malam Jumat

Sumber FB Ustadz : Alnofiandri Dinar

15 November 2021 pada 07.34  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ikhtilaf Terjadi Karena Meninggalkan Quran-Sunnah?". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait