Qiyas vs Bidah

Qiyas vs Bid'ah

Qiyas Vs Bid'ah

Dalam perspektif Syaikhul Islam Muhammad al-Thâhir Ibn 'Asyur

أن الأئمةَ صرَّحوا بأن الحكمَ الثابتَ بالقياس يُقال فيه هو من الدين، مع كونه أمرًا أُحدِث بعد رسول الله، فما قالوا إنه من الدين إلا لأنه شهد له أصل المقيس عليه بالاعتبار، أي بأنه جديرٌ بأن يساويَه في حكمه لمساواته في علة الحكم. 

Para imam menjelaskan bahwa hukum yang ditetapkan dengan Qiyas disebut sebagai bagian dari agama ini. Padahal, eksistensinya sebagai amr (urusan agama) muncul setelah masa Rasulullah. Karenanya, tidaklah mereka berpendapat bahwa qiyas itu merupakan bagian dari agama ini kecuali karena qiyas tersebut ditopang ashl maqis 'alaih (sesuatu yang telah ada ketetapan hukumnya dalam al-Quran, al-hadits, maupun al-ijma') sebagai pertimbangan, maksudnya bahwa amr (urusan agama) tersebut pantas jika dipersamakan dalam hukum karena ada persamaan pada illat hukumnya. 

وكذلك القولُ في حديث: "كل بدعة ضلالة"؛ أي كل بدعة هي إحداثُ جنسٍ من الاعتقادات أو العبادات أو أصل في التشريع ليس راجعًا لأصول الشريعة فهو ضلالة. والضلالةُ ضدُّ الهداية، وهي في عرف الشرع المعاصي، فالمكروهُ ليس بضلالة.

Demikian pula pendapat dalam hadis: setiap bid'ah itu kesesatan, maksudnya setiap bid'ah yaitu pembaruan jenis baik itu i'tikad, ibadah, atau hukum asal dalam syariat yang tidak meruju' pada ashl syariat maka itulah kesesatan. Sementara itu, kesesatan adalah antonim dari hidayah, yang dalam urf syara' disebut kemaksiatan, sehingga makruh bukanlah kesesatan.

وعلى هذا التقرير فلفظُ البدعة جارٍ على أصل معناه اللغوي، كما هو الظاهر، ويكون من العام المخصوص، ومخصصاتُه الأدلةُ الكثيرة الدالة على أن كثيرًا من الأفعال التي أحدثها المسلمون بعد رسول الله هي واجبةٌ أو مندوبة أو مباحة أو مكروهة.

Berdasar ketetapan inilah, maka kata "bid'ah" berlaku pada asal makna lughawinya sebagaimana dhohir, dan termasuk kata am al-makhshus, sedangkan mukhashshishat (pengecualiannya atau sesuatu yang tak tercakup dalam bid'ah dalam hadits) adalah dalil-dalil yang banyak yang menunjukkan bahwa kebanyakan aktifitas baru yang dilakukan kaum muslimin pasca masa Rasulullah itu hukumnya ada yang wajib, mandub, mubah, atau makruh.

ولا يصح أن يكون واحدٌ من هذه الأحكام الأربعة ضلالة، أو يكون من العام الذي أريد به الخصوص، أي كل بدعة جنس ليس من أجناس عبادات الإسلام أو اعتقاداته أو معاملاته. وتكون قرينةُ إرادة الخصوص الأدلةُ الكثيرة الدالة على وجوب أو استحسان أفعال كثيرة حدثت بعد الرسول، أو على كراهية أفعال دون أن تكون ضلالة. وإن كان لفظُ البدعة قد نُقل في اصطلاح الشرع إلى اختراع المحرمات المنافية لِمَا جاء به الدين كما ذهب إليه الشاطبي، كان من المجمل الذي يحتاج إلى بيان الأفعال التي هي بدعةٌ لتتميز عما عداها، فتكون مبيناتُه جميعَ الأدلة الشرعية - من إجماع أو قياس [وغيرهما]- الدالة على إرجاع الأفعال المحدثة إلى قسم الحرام.

Dan tidaklah benar jika salah satu dari keempat hukum (wajib, mandub, mubah, atau makruh) ini disebut sebagai kesesatan, atau termasuk am alladzi urida bihil khushush, dalam arti setiap jenis bid'ah yang bukan dari jenis ibadah islam, i'tikadnya, maupun muamalahnya. 

Dan indikasi maksud khusus itu adalah dalil-dalil yang banyak yang menunjukkan hukum wajib atau istihsan aktifitas yang banyak pasca Rasulullah, atau kemakruhan suatu aktifitas tanpa menjadikannya sebagai kesesatan.

Meskipun dulunya kata bid'ah ini dinukil dalam istilah syara' sebagai penciptaan/rekayasa keharaman yang menafikan mâ jâ-a (riwayat) yang dibawa Agama ini, sebagaimana pendapat al-Syathibi. Pendapat itu masih mujmal (global), yang memerlukan penjelasan aktifitas yang memang disebut bid'ah agar dapat dibedakan dari yang lain, sehingga penjelasannya adalah seluruh dalil-dalil syar'i -diantaranya ijma', qiyas, dsb- yang menunjukkan pada rujuknya aktifitas yang muhdatsah itu masuk pada bagian yang haram.

وعلى كل التقادير، فظاهرُ الحديث ليس بمراد فيؤوَّل بما ذكرته، وذلك معنى قول مالك رحمه الله: "مَنْ أحدث في هذه الأمة شيئًا لم يكن عليه سلفُها فقد زعم أن رسول الله خان الدين؛ لأن الله تعالى يقول: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ} [المائدة: ٣]، فما لم يكن يومئذ دينًا لا يكون اليوم دينًا": فجعل الحجة هي قوله تعالى: {الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}، ومن المعلوم أن الذي أكمله الله هو كلياتُ الدين لا جزئياته، كما بينه أبو إسحاق الشاطبي في "الموافقات"، وإلا لبطل القولُ بالقياس وغيره من المحدثات في مصالح الأمة.

(Kesimpulannya) berdasar semua perkiraan/kemungkinan ini, maka dhohir hadis itu bukanlah yang dikehendaki. Karenanya hadis itu dita'wil dengan apa yang telah saya sampaikan. Demikian pula makna perkataan Imam Malik Rahimahullah:

"Sesiapa yang me-rekayasa di dalam umat ini sesuatu rekaaan yang tidak ada salafnya (contohnya), maka Ia telah menuduh bahwa Rasulullah telah menghianati agama ini, karena Allah berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu sekalian Agama kalian. Karenanya segala sesuatu yang saat itu bukanlah Agama, maka pada saat ini pun bukanlah Agama."

Beliau menjadikan hujjah firman Allah: 

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu sekalian Agama kalian."

Sebagaimana diketahui bahwa yang disempurnakan Allah adalah kulliyatud din (Garis-garis besar Agama ini), bukan juz-iyyah (hukum parsialnya), sebagaimana yang telah dijelaskan Abu Ishaq Al-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat. Jika tidak demikian, tentu batallah pendapat dengan qiyas dan muhdatsah yang lain yang bermanfaat bagi umat ini. 

وقد اقتفى البخاري في هذا الشأن أثرَ مالك، فإنه افتتح كتاب "الاعتصام بالسنة" من صحيحه بما نصه: "كتاب الاعتصام بالكتاب والسنة"، فأخرج فيه حديثَ عمر أن يهوديًّا قال له: "لو أن علينا نزلت هذه الآية: {أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}. . ."، وساق الحديث، وهذا التخريج من بدائع البخاري الكثيرة.

Sementara itu, Al-Imam al-Bukhari dalam masalah ini mengikuti Imam Malik, karena beliau memulai kitab shahih beliau dengan judul al-I'tisham bis sunnah, redaksinya:

Kitabul I'tishâmi bil kitâbi was sunnati. Lalu beliau menuturkan hadits Umar bahwa seorang Yahudi berkata kepada beliau: Seandainya Kami diturunkan ayat ini:

{أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ}

selanjutnya beliau menyampaikan riwayat hadis itu. 

Takhrij ini adalah diantara takhrij yang mengagumkan al-Bukhari yang banyak/diulang-ulang.

ثم إنِّي أعني بالجنس أن يكون الفعلُ أو الاعتقادُ أو القول غيرَ راجعٍ إلى أصل مماثل له مشروع، مثل القول بأن لا قدر، ومثل اعتقاد الجبر والإرجاء والتكفير بالذنب؛ فإن أئمة الدين وصفوا أصحابَ هذه العقائد بأنهم المبتدعة وأهل الأهواء. ومثل ابتداع التعبد بتعذيب النفس، كالوقوف في الشمس المنهي عنه في حديث الموطأ.

Kemudian, Maksudku dengan "jenis" di situ adalah eksistensi aktifitas, i'tikad, maupun perkataan yang tidak merujuk pada ashl yang mirip dengan yang disyariatkan, seperti perkataan bahwa tak ada takdir, keyakinan jabariyah, murjiah, dan pengkafiran karena dosa (khawarij). Hal ini karena para imam Agama ini mensifati penganut keyakinan itu sebagai mubtadi'ah (pelaku bid'ah) dan ahli hawa nafsu. Dan juga seperti rekayasa ibadah dengan cara menyiksa diri seperti berdiri di tengah terik matahari yang hal ini terlarang dalam hadis kitab al-Muwaththa'.

فأما الراجع إلى مماثل مشروع، فلا يكون بدعةً مذمومة، سواء كان رجوعُه: رجوعَ الجزئي إلى الكلي، كرجوع طرق المتكلمين في الاستدلال على حدوث العالم، فإن ذلك من جزئيات النظر المأمور به شرعًا، وكذلك ضبطُ صفات الله تعالى في أنواع النفسي والسلبي، وصفات المعاني والصفات المعنوية، فإنه من وسائل تنزيه الله وتوحيده، ولذلك لم يصف علماءُ السلف علماءَ الكلام فيما أتوا به بأنهم مبتدعة.

Adapun (perkara baru) yang meruju pada perkara yang mirip yang disyariatkan, maka bukanlah bid'ah tercela, baik meruju'nya itu sifatnya juz'i hingga kulli, seperti meruju'nya metode mutakallimin dalam beristidlal terhadap kebaruan alam, karena metode seperti itu termasuk juziyyat nadzor yang diperintah Syara'. Demikian pula menertibkan sifat-sifat Allah dalam beberapa kelompok: Nafsiyah, salbiyah, sifat ma'ani, dan sifat ma'nawiyah, karena hal itu merupakan sarana mensucikan Allah dan mentauhidkanNya. Karena itulah, Ulama salaf tidak mensifati ulama kalam terhadap hal yang mereka bawa itu sebagai mubtadi'ah. 

 وكرجوع عدد صلاة التراويح في رمضان إلى أصل التنفل بالليل؛ لأن تعيينَ وقت أو عدد أو مقارن للعبادة ليس بدعة مذمومة، ولذلك قال عمر في صلاة التراويح: "نعمت البدعة هذه". 

Dan juga seperti ruju' jumlah rakaat shalat tarawih di bulan Ramadhan pada ashl ibadah shalat sunnah malam hari, karena penentuan waktu, jumlah rakaat, atau penyertaan ibadah bukanlah bid'ah tercela. Karena itulah Sayyiduna Umar berkata dalam shalat tarawih: sebaik-baik bid'ah adalah ini.

وكرجوع تحريم النبيذ إلى أصل تحريم الخمر. أم كان رجوعَ المماثلِ في الوصف إلى مُمَاثله، ذلك الوصفُ الذي هو موجِب إثباتِ حكمٍ شرعي من الأحكام الخمسة له، كرجوع الأرز إلى القمح والشعير في وصف الاقتيات والادخار الموجب تحريمَ ربا النسيئة من الأصناف الأربعة، فيحكم بتحريمه أيضًا في الأرز. 

Demikian pula seperti ruju' keharaman nabidz pada ashl keharaman khamr. Atau ruju'nya perkara baru yang mirip sifatnya kepada perkara lama yang telah ada ketetapan hukumnya. Sifat inilah yang mengharuskan penetapan hukum syar'i yang lima (wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram), seperti ruju' beras pada gandum dan syair pada sifat makanan pokok dan simpanan yang mengharuskan keharaman riba nasiah dari 4 kelompok, sehingga hukumnya haram juga pada beras. 

وعلى هذا فكلُّ ما جرى فيه المسلمون على ما يدعو إليه الشرعُ من واجب أو مندوب أو على ما يأذن به الشرع من مباح، أو على ما لا يعاقب الشرع على فعله وهو المكروه، ففعلُهم فيه لا يُعَدُّ من الضلالة.

Berdasarkan keterangan di atas, maka setiap perkara yang berlaku pada kaum muslimin terhadap segala yang diseru syara' seperti wajib, mandub, atau segala yang diizinkan syara' seperti hukum mubah, atau yang tidak dihukum syara' kepada pelakunya yaitu yang disebut makruh, maka aktifitas mereka ini tidaklah terbilang sebagai kesesatan.

Penggalan dari kitab Jamharah Maqalat wa rasail al-Syaikh al-Imam Muhammad Thahir bin Asyur hal 783-788

Sumber FB Ustadz : Nur Hasim

3 Oktober 2021 pada 14.03  · 

Tanggapan Ustadz Abdul Wahab Ahmad (4 Oktober pada 07.55) :

Makna hadis kullu bid'atin dlalalah (setiap bid'ah sesat) menurut Ibnu Asyur.

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Qiyas vs Bidah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait