Illat Safar : Antara Masyaqqah dan Masafah

Illat Safar : Antara Masyaqqah dan Masafah

'Illat Safar : Antara Masyaqqah dan Masafah

A. Musafir Mendapatkan Keringanan

Orang yang musafir itu memang mendapatkan beberapa keringanan dalam Al-Quran dan Hadits. Shalatnya boleh dijamak dan diqashar, puasanya boleh diqadha' di hari lain. Dan seterusnya. 

Kalau ditanya, apa alasan atau 'illat keringanan itu diberikan? Jawabannya adalah karena dalam safar itu ada masyaqaah atau sesuatu yang memberatkan. 

Bahkan dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Nabi SAW sempat menyebut bahwa safar itu bagian dari adzab (السفر قطعة من العذاب). 

Namun kalau kita bicara tarikh tasyri' atau sejarah perjalanan pensyariatan, masyaqqah yang awalnya masih menjadi 'illat keringanan itu kemudian di masa berikutnya berubah. 

Catatan penting bahwa perubahan 'illat ini bukan terjadi di masa sekarang, tapi justru terjadinya masih di masa pensyariatan itu sendiri, yaitu di masa wahyu masih turun dari langit dan Nabi SAW masih membersamai para shahabat. 

oOo

B. Perubahan 'Illat Keringanan

Hal itu terjadi ketika Umar bin Al-Khattab terheran-heran melihat Nabi SAW mengqashar shalatnya, padahal bukan dalam situasi perjalanan perang. 

Sebab kalau sesuai dengan pensyariatan dalam Al-Quran, dibolehkannya menghqashar shalat itu hanya apabila terjadi perjalanan perang saja. Kalau bukan karena perjalanan perang, tidak ada keringanan qashar.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. An-Nisa : 110) 

Di dalam ayat ini sebenarnya pensyariatan qashr shalat masih sangat terkait dengan syarat keadaan takut menghadapi musuh, karena terjadinya masih dalam masa peperangan. Hal itu nampak jelas ketika ayat ini menyebutkan : in khiftum an yaftinakumulladzina kafaru. (jika kamu takut diserang orang kafir)

Ketika ayat ini turun di masa Nabi SAW, nyaris hampir seluruh perjalanan Nabi SAW berada di bahwa ancaman orang-orang kafir, yaitu dalam keadaan perang.

Namun ketika sudah terjadi gencetan senjata dengan pihak musyrikin Mekkah lewat Perjanjian Hudaibiyah, bahkan setelah lewat masa Fathu Mekkah, nyaris perjalanan Nabi SAW bukan perjalanan perang lagi, tapi perjalanan yang biasa saja. 

Tapi ternyata Nabi SAW tetap meng-qashar shalatnya dalam perjalan di masa damai itu. Sehingga hal itu menggelitik Umar untuk bertanya tentang 'illat kebolehan qashar shalat yang mengalami pergeseran.

Dan pergeseran 'illat itu memang dibenarkan oleh Nabi SAW langsung. Kalau dulu meng-qashar shalat hanya boleh dilakukan dalam perjalanan perang saja, namun setelah itu Allah SWT memberi 'sedekah' dalam bentuk perluasan 'illat. Tidak harus perjalanan perang, tapi cukup perjalanan biasa saja, sudah boleh qashar shalat dilakukan. 

Nabi SAW bersabda menjelaskan hal itu :

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

"Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terima lah sedekah itu". (HR. Muslim)

Hadits shahih ini menepis berbagai penafsiran dan spekulasi bahwa shalat qashar terbatas hanya pada situasi perang saja. Dan bahwa dalam keadaan damai pun shalat qashar tetap berlaku.

oOo

C. Masyaqqah Perjalanan di Masa Kenabian

Perjalanan di masa kenabian meski di masa damai, tetap saja ada masyaqqahnya, yaitu resiko-resiko yang nyata ketika melewati gurun tandus. 

Ada banyak ancaman untuk menjadi musafir di masa lalu, saya sudah uraikan pada tulisan sebelumnya, yaitu :

1. Tidak ada air

2. Suhu yang ekstrim

3. Berkeliarannya hewan-hewan yang mematikan

4. Ancaman bagai gurun

5. Pembegalan dan perampokan yang bisa mengakibatkan kematian, dilucutinya harta bahkan hingga dijadikan budak.

oOo

D. Masafah Bukan Masyaqqah

Masafah adalah jarak, sedangkan masyaqqah adalah tingkat kesulitan. 

Ternyata kalau kita perhatikan kesimpulan akhir para ulama di empat mazhab dalam semua kitab fiqih, keringanan qashar shalat ternyata disebabkan oleh masafah (jarak) dan bukan disebabkan oleh faktor masyaqqah (tingkat kesulitan). 

Yang jadi 'illat pada safat itu ternyata justru jaraknya. Kalau safar itu memenuhi jarak tertentu sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi SAW, maka safari itu membolehkan qashar. Walaupun sama sekali tidak ada kesulitan. 

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah,  Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud. 

Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)

Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. 

Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain. 

Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya,

"Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". 

Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari".

Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km . 

Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.

oOo

E. Contoh Kasus

Mari kita masukkan terori masafah vs masyaqqah di atas dalam contoh kasus yang nyata. 

1. Masafah Tanpa Masyaqqah 

Kita naik kapal pesiar mewah bintang lima, tentu jauh melebihi masafah qashar. Boleh lah shalatnya kita qashar selama di kapal pesiar mewah, walaupun tidak ada masyaqqah.

Masyaqqah dari mana? 

Wong isinya penuh dengan makanan enak-enak, kamar suit-room yang lega dan luas, pelayaan 24 jam, dan suasananya bulan madu. Dan kita boleh qashar shalat.

2. Masyaqqah Tanpa Masafah 

Sebaliknya, bila jaraknya belum mencapai 4 bard (88,704 km), maka tidak boleh melakukan qashar. Walaupun selama perjalanan kita ditempa dengan tingkat kesulitan yang tinggi. 

Contohnya naik gunung Merapi di Jogja Jawa Tengah. Kegiatan naik gunung itu penuh masyaqqah. 

Tidak ada air, ada ancaman hewan buas, suhu naik turun, ancaman terkena lava atau wedhus gembel. Bahkan resiko jatuh masuk kawah dan seterusnya.

Tapi kalau diukur secara jarak, ternyata tinggi gunung itu hanya 2.900-an meter alias kurang dari 3 km. Jarak dari kota Jogja paling jauh hanya 30-an km saja kalau lewat jalur Kaliurang. 

Kalau pun berputar lewat jalur pendakian Selo, jaraknya belum sampai jarak dibolehkannya qashar.

Maka belum dibenarkan untuk qashar shalat. Karena terakhir pensyayariatannya berhenti pada masafah dan bukan pada masyaqqah.

NOTE

Qashar shalat itu karena jarak (masafah), bukan karena tingkat kesulitan (masyaqqah).

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

Kajian · 6 Oktober 2021· 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Illat Safar : Antara Masyaqqah dan Masafah". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait