Mampu Tapi Tidak Qurban, Berdosakah?

Mampu Tapi Tidak Qurban, Berdosakah?

Mampu Tapi Tidak Qurban, Berdosakah?

Ada orang bertanya kepada saya, benarkah kalau kita mampu tapi tidak berqurban maka kita berdosa?

Jawabannya tergantung mau pakai mazhab siapa. Jumhur ulama tidak mewajibkan, tapi mazhab Hanafi di atas kertas mewajibkan. 

Mengapa kok dibilang 'di atas kertas'?

Karena sebenarnya kalau ditelaah lebih dalam, mau pakai mazhab yang mana pun juga, ujung-ujungnya tidak wajib dan tidak berdosa juga.

Kok bisa? Bagaimana penjelasannya?

oOo

Benar sekali bahwa dalam mazhab Hanafi ditetapkan bahwa orang yang mampu itu wajib menyembelih hewan Qurban?

Benar sekali dan mereka pun berdalil dengan hadits berikut :

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih kurban, janganlah mendekati tempat sholat kami. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).

Al-Marghinani (w. 593 H), salah satu ulama pentolan dalam mazhab Hanafi, di dalam kitabnya Al-Hidayah fi Syahi Bidayatil Mubtadi, menyebutkan hal itu sebagai berikut : 

الأضحية واجبة على كل حر مسلم مقيم موسر في يوم الأضحى عن نفسه وعن ولده الصغار» أما الوجوب فقول أبي حنيفة ومحمد وزفر والحسن وإحدى الروايتين عن أبي يوسف رحمهم الله. وذكر الطحاوي أن على قول أبي حنيفة واجبة، وعلى قول أبي يوسف ومحمد سنة مؤكدة، وهكذا ذكر بعض المشايخ الاختلاف.

Menyembelih Qurban itu hukumnya wajib atas setiap orang merdeka, muslim, muqim, berkemampuan, pada hari Adha untuk dirinya dan anaknya yang kecil. 

Yang mewajibkan adalah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan Asy-syabani, Zufar dan Al-Hasan, serta salah satu riwayat dari Abu Yusuf rahimahullah. 

Imam Ath-Thahawi menyebutkan bahwa menurut Abu Hanifah hukumnya wajib, sedangkan menurut Abu Yusuf dan Muhammad hukumnya sunnah muakkadah.  (lihat Al-Marghinanni (w. 593 H), Al-Hidayah fi Syahi Bidayatil Mubtadi,jilid 4 hlm. 355)

Penjelasan :

Meski pun resminya mazhab Hanafi menetapkan bahwa hukum berqurban itu wajib bagi yang mampu, namun kita harus sedikit cermat dan hati-hati dalam menyimpulkan.

oOo

Pertama : Istilah 'Wajib' Versi Mazhab Hanafi 

Penggunaan istilah wajib dalam mazhab Hanafi ternyata berbeda kedudukan dengan yang biasa digunakan oleh Mazhab As-Syafi’i  atau jumhur ulama. 

Sekedar perbandingan saja, mereka mengatakan bahwa shalat witir itu hukumnya wajib. Sehingga kalau kita gabungkan secara sembrono antara istilah mazhab Hanafi dengan mazhab kita, kesimpulannya shalat wajib dalam sehari semalam itu bukan lima waktu, melainkan enam waktu.

Padahal duduk perkaranya tidak demikian. Sebab shalat yang lima waktu itu memang sebutannya shalat wajib bagi kita. Namun bagi mazhab Hanafi, yang lima waktu itu bukan shalat wajib, melainkan shalat fardhu. 

Lho memang apa bedanya antara shalat wajib dengan shalat fardhu? Bukankah shalat wajib dan shalat fardhu itu sama saja? Mengapa harus dibedakan?

Jadi begini penjelasannya : khusus dalam musthalahat fiqhiyah di mazhab Hanafi memang mereka agak sedikit unik, ketika membedakan antara wajib dengan fardhu. 

Yang lebih tinggi derajatnya adalah fardhu, baru kemudian istilah wajib itu menyusul di bawahnya. 

Kalau kita jejerkan kedua istilah fardhu dan wajib dalam versi mazhab kita, ekuivalennya adalah antara wajib dengan sunnah muakkadah. 

Dalam pandangan mazhab Hanafi, shalat lima waktu itu bukan wajib melainkan fardhu. Sebab dalil-dalilnya sudah sedemikian mutlak (baca: qath’i) baik secara keshahihan ataupun secara istidlalnya. 

Sedangkan shalat witir itu kelasnya sekedar wajib, yaitu dimana dalilnya kewajibannya tidak sekuat dalil shalat lima waktu.

Benar bahwa Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan shalat witir (selalu dikerjakan), namun dalam beberapa waktu kita menemukan fakta bahwa ternyata pernah juga ditinggalkan oleh Beliau SAW. Sehingga statusnya tidak sekuat shalat lima waktu. 

Semua ulama sepakat mengakui perbedaan kekuatan dalil antara shalat witir dengan shalat lima waktu. Namun mereka berbeda pendapat ketika menyebutkan istilahnya. 

Kalau dalam istilah kita, shalat lima waktu itu disebut shalat fardhu dan shalat wajib. Sebab kita tidak membedakan antara keduanya. Fardhu itu wajib dan wajib itu fardhu.

Namun ternyata mazhab Hanafi menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda. Mereka membedakan kedua istilah itu. Shalat lima waktu itu fardhu karena dalilnya sudah absolut dan mutlak. 

Sedangkan shalat witir itu mereka sebut statusnya adalah : wajib. Namun pengertiannya wajib yang mereka maksud itu tidak sama dengan pengertian fardhu. 

Disitulah kita sebagai umat Islam Indonesia yang bermazhab Syafi’i seringkali terkecoh, mengira bahwa Mazhab Hanafi mewajibkan shalat witir. 

Padahal iya dan tidak. Dikatakan iya karena mereka menyebutnya memang wajib. Namun dikatakan tidak, karena maksudnya adalah sunnah muakkadah. 

Dan kasus yang sama juga terjadi pada masalah hukum kewajiban menyembelih qurban. Memang nash kitab fiqih mazhab Hanafi menyebutkan demikian. 

Yang mengutip pastinya tidak salah. Tapi kitanya jadi salah pengertian, mengira bahwa mazhab Hanafi mewajibkan. Padahal kalau pakai bahasa kita, sebenarnya mazhab Hanafi tidak mewajibkan, tapi mendudukkannya setera dengan sunnah muakkadah. 

oOo

Kedua : Batasan Mampu Versi Mazhab Hanafi

Masalah kedua adalah tentang batasan ’mampu’ versi mazhab Hanafi. Berbeda jauh sekali dengan batasan mampu yang kita kenal, yaitu asalkan punya uang seharga seekor kambing. 

Ternyata dalam mazhab Hanafi, batasan mampu dalam berqurban sama sekali tidak ada hubungannya dengan mampu membeli seekor kambing. Batasan mampu yang mereka maksud adalah sejahtera, bukan fakir, bukan miskin, cukup berada.

Dan patokannya malah melangkah keluar arena fiqih Qurban, yaitu ke syarat wajib zakat. Dalam pandangan mereka, orang yang terkena kewajiban berzakat adalah yang setidaknya  punya simpanan emas memenuhi nishab yaitu 20 dinar atau 200 dirham yang sudah dimiliki selama setahun (haul). 

Al-Kasani (w. 587 H), salah satu ulama rujukan mazhab Hanafi menuliskan dalam kitabnya, Bada’iu Ash-Shanai’ sebagai berikut :

ومِنها الغِنى لِما رُوِيَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ - ﷺ - أنَّهُ قالَ: «مَن وجَدَ سَعَةً فَلْيُضَحِّ» شَرَطَ السَّعَةَ وهِيَ الغِنى 

(Dan diantara syarat kewajibannya) adalah kekayaan. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa Beliau SAW bersabda,”Siapa yang punya keluasan harta, maka berqurbannya”. Nabi SAW mensyaratkan sa’ah (keluasan) maksudnya adalah kekayaan.

وهُوَ أنْ يَكُونَ فِي مِلْكِهِ مِائَتا دِرْهَمٍ أوْ عِشْرُونَ دِينارًا أوْ شَيْءٌ تَبْلُغُ قِيمَتُهُ ذَلِكَ سِوى مَسْكَنِهِ وما يَتَأثَّثُ بِهِ وكِسْوَتِهِ وخادِمِهِ وفَرَسِهِ وسِلاحِهِ

Orang itu harus memiliki 200 dirham atau 20 dinar ataupun harta yang mencapai nilainya, di luar kepemilikian atas rumah, pakaian, pembantu, kuda, senjata dan lainnya. (Al-Kasani, Bada’iu Ash-Shanai’, jilid 5 hlm. 64)

Penyebutan 20 dinar atau 200 dirham itu menjadi syarat wajib, sehingga apabila seseorang belum mencapainya, gugurlah kewajibannya.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili di dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menyebutkan menurut mazhab Hanafi nilai dirham dalam mazhab Hanafi adalah 3,5 gram. Nishab zakat perak itu adalah 200 dirham perak. Kalau kita kalikan dengan 3,5 gram menjadi 700 gram perak. 

641,6 gram  : Sementara menurut jumhur ulama satu dirham setara dengan 3,208 gram, sehingga nishab perak itu  641,6 gram.   (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 3/1820)

595 gram  : beberapa lembaga zakat ada yang menghitung bahwa 1 dirham itu setara dengan 2,975 gram. Sehingga 200 dirham itu setara dengan 595 gram.  (https://www.rumahzakat.org/zakat/zakat-emas-dan-perak/)

Namun biasanya kita lebih sering mengukur nishab zakat emas itu dengan angka 85 gram, walaupun nash dalam teks kitab atau haditsnya disebut 20 dinar. Dengan asumsinya harga emas 900 ribu pergram, maka angkanya menjadi sangat besar, yaitu Rp. 76.500.000,-. 

Dengan demikian, bila kita hanya sekedar punya uang dua atau tiga juga, memang sudah bisa untuk membeli seekor kambing. Namun dalam pandangan mazhab Hanafi justru belum termasuk kategori orang mampu. Setidaknya harus punya uang tabungan senilai 76 juta rupiah. 

Dan anggaplah misalnya kita termasuk orang yang banyak uang sehingga nilainya melebihi nishab emas, apakah lantas jadi wajib menyembelih hewan quban? 

Jawabannya tetap tidak wajib. 

Lho kok? Kenapa? Katanya batasannya punya 85 gram emas? Kenapa masih belum wajib juga?

Jawabannya ada dua. 

Pertama : karena meski dibilang wajib menurut mazhab Hanafi, ternyata maksudnya bukan wajib melainkan sunnah muakkadah. 

Kedua : ternyata kita sendiri pun juga tidak bermazhab Hanafi. Kita ini bermazhab Syafi’i, sehingga tidak terikat dengan pandangan mazhab yang sama sekali belum pernah kita pelajari.

NOTE

Biasanya kalau saya menjelaskan kedudukan hukum Qurban, tapi kesimpulannya kok tidak wajib, ada saja yang protes. 

Nggak apa-apa, biasanya itu memang teman-teman saya sendiri. Kadang ada yang lagi bisnis jualan hewan Qurban. Kalau ada yang baca tulisan ini, kan bisa jadi semacam de-motivasi, bahkan terancam dagangannya bangkrut karena tidak ada yang beli.

Maka di bagian akhir saya ingin berpesan, berqurban itu ibadah ritual dan besar sekali pahalanya. Tidak usah menunggu hukumnya jadi wajib pun tetap saja kita lakukan. Kan banyak sekali fadhilahnya. 

Masak sih cuma karena hukumnya tidak wajib, terus kita ngambek nggak mau berqurban?

Mampu Tapi Tidak Qurban, Berdosakah?

Mampu Tapi Tidak Qurban, Berdosakah?

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

2 Juli 2021 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mampu Tapi Tidak Qurban, Berdosakah?". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait