Dua Sikap Ahlussunnah tentang Sifat Khabariyah Allah
Dalam Al-Qur’an dan hadits, ditemukan banyak ayat atau hadits yang menyinggung tentang sifat yang sepintas bermakna organ tubuh Tuhan. Misalnya ayat “yadullah fauqa aydîhim” yang secara literal bermakna “tangan Allah di atas tangan-tangan mereka”, “tajrî bia’yuninâ” yang secara literal bermakna “perahu itu berjalan dengan banyak mata kami” dan banyak teks lain yang menyebut adanya wajh (wajah), shûrah (bentuk), ‘ashâbi‘ (jari jemari) dan sebagainya. Sifat dalam ayat-ayat atau hadits yang menyatakan demikian itu disebut sebagai sifat khabariyah atau sifat Allah yang keberadaannya hanya bisa diketahui melalui teks Al-Qur’an atau hadits semata, tak bisa melalui akal. Bagaimanakah seorang Muslim seharusnya menyikapi sifat khabariyah ini?
Imam Tajuddin as-Subki, salah satu ulama Asy'ariyah terkemuka menjelaskan pandangan para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Asy’ariyah) dalam menetapkan sifat khabariyah tersebut sebagai berikut:
للأشاعرة قولان مشهوران في إثبات الصفات، هل تمر على ظاهرها مع اعتقاد التنزيه، أو تئول؟ والقول بالإمرار مع اعتقاد التنزيه هو المعزو إلى السلف، وهو اختيار الإمام في الرسالة النظامية. وفي مواضع من كلامه، فرجوعه معناه الرجوع عن التأويل إلى التفويض، ولا إنكار في هذا، ولا في مقابله، فإنها مسألة اجتهادية، أعني مسألة التأويل أو التفويض مع اعتقاد التنزيه. إنما المصيبة الكبرى والداهية الدهياء الإمرار على الظاهر، والاعتقاد أنه المراد، وأنه لا يستحيل على الباري، فذلك قول المجسمة عباد الوثن
"Para ulama Asy’ariyah mempunyai dua pendapat yang masyhur dalam menetapkan adanya sifat (khabariyah) Allah (bukan malah meniadakannya/ta'thîl); Apakah dimaknai sesuai makna lahiriahnya dengan disertai keyakinan menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk ataukah ditakwil? Pendapat yang membiarkan lafaz apa adanya sesuai lahiriahnya tetapi menyucikan Allah (dari sifat makhluk) adalah yang dinukil dari ulama salaf. Itulah pilihan Imam al-Haramain dalam risalah Nidhamiyah dan dalam beberapa tempat dari kitab-kitabnya. Rujuknya Imam al-Haramain maknanya adalah rujuk dari takwil menuju tafwidh. Hal ini tak boleh diingkari (disalahkan), begitu juga kebalikannya (yang mentakwil). Sesungguhnya ini adalah masalah, ijtihadiyah, yakni soal takwil dan tafwidh beserta tanzih (menyucikan Allah dari sifat yang tak layak). Sesungguhnya musibah besar dan petaka yang parah adalah meyakini makna lahiriyah lalu meyakini bahwa itulah yang dimaksud dan bahwa itu tak mustahil bagi Allah. Itu adalah keyakinan para Mujassimah, yaitu para penyembah berhala." (Tajuddin as-Subki, Thabaqât as-Syafi’iyah al-Kubrâ, juz V, halaman 191)
Senada dengan beliau, Imam al-Hafidzan-Nawawi juga menjelaskan:
اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين أحدهما وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات المخلوق وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم والقول الثاني وهو مذهب معظم المتكلمين أنها تتأول على مايليق بها على حسب مواقعها
“Ketahuilah bahwa ahli ilmu mempunyai dua pendapat tentang hadits-hadits dan ayat-ayat sifat: Salah satunya adalah pendapat mayoritas ulama salaf atau bahkan seluruhnya bahwasanya maknanya tidak boleh diperbincangkan tetapi wajib bagi kita untuk mengimani dan meyakini makna yang layak bagi keagungan Allah Ta'ala dan kebesarannya serta dengan keyakinan yang mantap bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah dan bahwa Allah disucikan dari sifat jism (bentuk fisik, (pergerakan, batasan arah serta seluruh sifat-sifat makhluk. Pendapat ini adalah tahap sebagian ahli Kalam dan juga dipilih oleh ahli tahqîq dari mereka dan ini adalah yang paling selamat. Pendapat kedua yaitu pendapat sebagian besar ahli kalam bahwa sifat-sifat tersebut ditakwil sesuai makna yang layak bagi Allah sesuai dengan konteksnya masing-masing.” (Imam an-Nawawi, Syarhan-Nawawi ‘ala Muslim, juz III,halaman 19)
Dari penjelasan ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah) terbagi menjadi dua kelompok dalam menyikapi teks sifat khabariyah sebagai berikut:
• Kelompok yang memilih untuk membiarkan teks tersebut apa adanya tanpa ditakwil (dimaknai secara metaforis), namun dengan diyakini bahwa tak satu pun dari sifat itu yang bermakna fisik sebagai anggota tubuh, bermakna pergerakan dan pergeseran, atau bermakna adanya batasan-batasan fisikal sebab Allah memang maha suci dari semua hal tersebut. Tindakan ini dikenal dengan nama tafwidh atau memasrahkan hakikat maknanya hanya kepada Allah tanpa dibahas lebih lanjut. Kelompok ini diwakili oleh mayoritas ulama salaf (ulama di tiga kurun pertama hijriah) dan tokoh-tokoh ahli kalam yang teliti.
• Kelompok yang memilih untuk mentakwil (memaknai secara metaforis) teks sifat tersebut dan memaknainya sesuai konteksnya masing-masing, sesuai dengan makna yang memang berlaku di kalangan orang Arab. Kelompok ini diwakili oleh mayoritas ulama ahli kalam dan ulama khalaf (pasca-tiga kurun pertama hijriah).
Kedua pilihan di atas adalah hal yang bersifat ijtihadiyah, dalam arti memang ranah perbedaan pendapat tanpa ada yang perlu dicela atau dianggap sesat. Yang benar-benar tepat di sisi Allah nanti akan mendapat dua pahala dan yang kurang tepat akan mendapat satu pahala. Tak pernah ada satu pun ayat atau hadits yang secara gamblang memerintahkan atau melarang untuk melakukan tafwidh atau pun takwil.
Keduanya mempunyai persamaan bahwa seluruh sifat khabariyah mustahil dimaknai dengan makna yang menjadi ciri khas jism, seperti: makna organ tubuh, makna bergerak, berpindah, diam, mempunyai diameter, mempunyai volume, bertempat dalam ruang dan sebagainya. Seluruh makna ini tidak mungkin dimiliki Tuhan sebab ini semua adalah ciri khas makhluk. Adapun perbedaannya, golongan pertama yang diwakili mayoritas ulama salaf memilih diam tak menentukan apa makna sifat tersebut sedangkan golongan kedua memilih menentukan maknanya secara metaforis.
Bila dipraktikkan, misalnya pada ayat berikut:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Tuhan yang Mahapengasih istawa atas Arasy”. (QS. Thaha: 5)
Golongan ahli tafwidh akan memilih diam tak membahas apa yang dimaksud istawa tersebut. Mereka akan menolak semua arti fisik dari kata istawa seperti: duduk bersemayam, berdiam, melayang di atas atau makna fisikal lainnya sebab itu mustahil bagi Allah. Mereka juga akan menolak arti metaforis, seperti makna menguasai, menundukkan dan sebagainya sebab bagi mereka makna ini hanya praduga semata. Mereka lebih suka tak menentukan makna apa pun selain membaca ulang dengan redaksi asalnya (imrâr). Kalaupungolongan ini memberi makna, maka mereka hanya akan menjelaskan bahwa istawa adalah sebuah tindakan Allah yang Dia namai sebagai istawa dan hanya Allah yang tahu bagaimana tindakan tersebut sebenarnya.
Adapun golongan ahli takwil akan memilih mengartikan kata istawa itu dengan makna metaforis, misalnya menguasai mutlak (qahhara) sesuai sifat Allah yang memang al-Qahhâr (Maha-Menguasai secara mutlak tanpa perlu memaksa atau menaklukkan). Dalam makna ini, ayat itu bermakna Allah menguasai Arasy secara mutlak, apalagi makhluk yang lebih kecil dari itu. Sebagian lagi memaknai istawa sebagai mengurus/memelihara (dabbara) sesuai dengan sifat Allah yang memang al-Mudabbir (Maha-Memelihara). Dalam makna ini, ayat tersebut bermakna Allah telah mengurus Arasy, makhluk terbesar di dunia, apalagi hanya yang lebih kecil.
Demikianlah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah tentang sifat khabariyah. Wallahua’lam.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember
#AbdulWahabAhmad
#ahlussunnah
#NU Online