Tentang Terputusnya Amal dan Surah An Najm : 39

An Najm : 39 dan Tentang Terputusnya Amal - Kajian Islam Tarakan

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

AN NAJM:39 &  TENTANG TERPUTUSNYA AMAL

Terjadi perbedaan pendapat tentang tafsir dalam QS An-Najm ayat 39. Aplikasinya adalah khilafiyah yang sebenarnya tetap kita harus saling menghormati. Lalu bagaimanakah jika sekarang ini ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa pendapatnya paling benar, dan terhadap tafsir QS. An-Najm:39 di artikan secara harfiyah dan menurut meraka lagi bahwa pendapat itulah yang mayoritas dan diakui keshohihannya.

Baik marilah kita mulai mengkaji tafsir tsb :

( وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩

“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS,an-Najm:39)

Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمِ بِقَوْلِهِ “وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ” فَأُدْخِلَ اْلأَبْنَاءُ فِي اْلجَنَّةِ بِصَلَاحِ اْللأَبَاءِ. وَقَالَ عِكْرِمَةُ إِنَّ ذَلِكَ لِقَوْمِ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ وَأَمَّا هَذِهِ اْلأُمَّةُ فَلَهُمْ مَا سَعَوْا وَمَا سَعَى لَهُمُ غَيْرُهُمْ (الفتوحات الإلهية,٤.٢٣٦) “Ibnu Abbas berkata bahwa hukum ayat tersebut telah di-mansukh atau diganti dalam syari’at Nabi Muhammad SAW. Hukumnya hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS, kemudian untuk umat Nabi Muhammad SAW kandungan QS. Al-Najm 39 tersebut dihapus dengan firman Allah SWT وَأَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِيَّتَهُمْ Ayat ini menyatakan bahwa seorang anak dapat masuk surga karena amal baik ayahnya. Ikrimah mengatakan bahwa tidak sampainya pahala (yang dihadiahkan) hanya berlaku dalam syari’at Nabi Ibrahim AS dan Nabi Musa AS. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW mereka dapat menerima pahala amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikannya sendiri atau amal kebaikan orang lain” (Al-Futuhat Al-Ilahiyyah, Juz IV, hal 236).

Menurut Mufti Mesir Syekh Hasanain Muhammad Makhluf :

يَنْفَعُ الْإِنْسَانَ فِي الْأَخِرَةِ إِلًا مَا عَمِلَهُ فِي الدُّنْيَا مَالَمْ يَعْمَلْ لَهُ غَيْرُهُ عَمَلًا وَيَهَبَهُ لَه فَاِّنَهُ يَنْفَعُهُ كَذَلِكَ (حكم الشريعة الإسلامية في مأتم الأربعين : ٢٣-٢٤ ) “Firman Allah SWT وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ اِلاً مَاسَعَى

perlu diberi batasan, yaitu jika orang yang melakukan perbuatan baik itu tidak menghadiahkan pahalanya kepada orang lain. Maksud ayat tersebut adalah, bahwa amal seseorang tidak akan bermanfaat di akhirat kecuali pekerjaan yang telah dilakukan di dunia bila tidak ada orang lain yang menghadiahkan amalnya kepada si mayit. Apabila ada orang yang mengirimkan ibadah kepadanya, maka pahala amal itu akan sampai kepada orang yang meninggal dunia tersebut” (Hukm Al-Syari’ah Al-Islamiyah fi Ma’tam Al-Arbai’n, 23-24)

Menurut Syekh Muhammad Al-Arabi:

أُرِيْدُ اْلِإنْسَانُ اْلكَافِرُ وَأَمَّا اْلمُؤْمِنُ فَلَهُ مَاسَعَى أَخُوْهُ (اسعاف المسلمين والمسامات,٤٧)

“Yang dimaksud dengan kata “al-insan” ialah orang kafir. Sedangkan manusia yang beriman, dia dapat menerima usaha orang lain. (Is’af Al-Muslimin wa Al-Muslimat, 47).

Di antara sekian banyak tafsir QS. Al-Najm, 39 yang paling mudah dipahami, sekaligus dapat dijadikan landasan yang kuat untuk tidak mempertentangkan antara ayat dan hadits yang tegas menjelaskan bahwa seseorang yang meninggal dunia dapat menerima manfaat dari amalan orang yang hidup, adalah tafsir dari Abi Al-Wafa’ Ibnu ‘Aqil Al-Baghdadi Al-Hanbali (431-531 H) sebagai berikut:

اَلْجَوَابُ الْجَيِّدُ عِنْدِيْ أَنْ يُقَالَ أَلْإِنْسَانُ بِسَعْيِهِ وَحُسْنِ عُشْرَتِهِ إِكْتَسَبَ اَلْأَصْدِقَاءَ وَأَوْلَدَ اْلأَوْلَادَ وَنَكَحَ اْلأَزْوَاجَ وَأَسْدَى اْلخَيْرَوَتَوَدَّدَ إِلَى النَّاسِ فَتَرَحَّمُوْا عَلَيْهِ وَأَهْدَوْا لَهُ اْلعِبَادَاتِ وَكَانَ ذَلِكَ أَثَرُسَعْيِهِ (الروح, صحيفه: ١٤٥)

“Jawaban yang paling baik menurut saya, bahwa manusia dengan usahanya sendiri, dan juga karena pergaulannya yang baik dengan orang lain, ia akan memperoleh banyak teman, melahirkan keturunan, menikahi perempuan, berbuat baik, serta menyintai sesama. Maka, semua teman-teman, keturunan dan keluarganya tentu akan menyayanginya kemudian menghadiahkan pahala ibadahnya (ketika telah meninggal dunia). Maka hal itu pada hakikatnya merupakan hasil usahanya sendiri.” (Al-Ruh, 145). Dr. Muhammad Bakar Ismail, seorang ahli fiqh kontemporer dari Mesir menjelaskan:

وَلَا يَتَنَافَى هَذَا مَعَ قَوْلِهِ تَعَالَى فِى سُوْرَةِ النَّجْمِ وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلاَّمَاسَعَى فَإِنَّ هَذَا التَّطَوُّعَ يُعَدُّ مِنْ قَبِيْلِ سَعْيِهِ فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ بَارًا بِهِمْ فِى حَيَاتِهِ مَا تَرَحَّمُوْا عَلَيْهَ وَلَاتَطَوَّعُوْا مِنْ أَجْلِهِ فَهُوَ فِى الْحَقِيْقَةِ ثَمْرَةٌ مِنْ ثِمَارِ بِرِّهِ وَإِحْسَانِهِ (الفقه الوضح,ج: ١,ص: ٤٤٩)

“Menghadiah pahala kepada orang yang telah mati itu tidak bertentangan dengan ayat وان ليس للإنسا الإماسعى karena pada hakikatnya pahala yang dikirimkan kepada ahli kubur dimaksud merupakan bagian dari usahanya sendiri. Seandainya ia tidak berbuat baik ketika masih hidup, tentu tidak akan ada orang yang mengasihi dan menghadiahkan pahala untuknya. Karena itu sejatinya, apa yang dilakukan orang lain untuk orang yang telah meninggal dunia tersebut merupakan buah dari perbuatan baik yang dilakukan si mayit semasa hidupnya.” (Al-Fiqh Al-Wadlih, juz I, hal 449).

Dari penjelasan para ulama ahli tafsir di atas jelaslah bahwa QS. Al-Najm ayat 39 bukanlah dalil yang menjelaskan tentang tidak sampainya pahala kepada orang yang sudah meninggal, QS. Al-Najm ayat 39 tersebut bukanlah ayat yang melarang kita untuk mengirim pahala, do’a, shodaqoh kepada orang yang telah meninggal.

An-Najm ayat 39 Dalam Tafsir Imam al-Baghawiy (w. 510 H)

Firman Allah Ta’alaa :

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى

“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)

yakni pekerjaannya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa :

إِنَّ سَعْيَكُمْ لشتى

“sesungguhnya usaha kalian berbeda-beda,” (QS. al-Lail : 4)

Dan ini juga terdapat dalam shuhuf Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam dan Nabi Musa ‘alayhis salaam.

Ibnu ‘Abbas berkata : ayat ini hukumnya mansukh (terhapus) didalam syariat ini, dengan firman Allah

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (QS. ath-Thuur 52 : 21)”.

Maka dimasukkanlah anak-anak kedalam surga kerena keshalihan (kebaikan) ayah-ayah mereka.

‘Ikrimah berkata ; “Itu hanya untuk kaum Nabi Ibrahim ‘alayhis salam dan Nabi Musa ‘alayhis salam, adapun umat ini (kaum Muslimin) maka bagi mereka apa yang mereka usahakan dan apa yang diusahakan untuk mereka oleh orang lain”, berdasarkan riwayat,

لما روي أن امرأة رفعت صبيا لها فقالت: يا رسول الله ألهذا حج؟ قال: نعم ولك أجر

“telah diriwayatkan bahwa seorang wanita mengangkat seorang anak kecil, kemudian berkata : wahai Rasulullah, apakah ini boleh berhaji ? Rasul menjawab : iya, dan bagimu ada pahala”.

وقال رجل للنبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إن أمّي قَتَلَتْ نفسها فهل لها أجر إن تصدّقت عنها؟ قال: نعم

“seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah wafat, maka apakah ada pahala baginya jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : iya”.

Rabi’ bin Anas berkata ;

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى

“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)

yakni orang kafir, adapun orang mukmin maka baginya apa yang diusahakan dan apa yang diusahakan orang lain untuknya. dikatakan, tidak ada kebaikan bagi orang kafir kecuali apa yang ia kerjakan, maka ada balasan baginya didunia namun kebaikan itu tidak kekal baginya diakhirat.

Ma’alimut Tanzil fiy Tafsiril Qur’an karya al-Imam Muhyis Sunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawiy asy-Syafi’i (w. 510 H).

Syaikh As Sa’diy, berkata :

Sebagian ulama berdalih dengan ayat ini untuk menerangkan bahwa semua ibadah tidak bisa dihadiahkan kepada orang-orang yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman, “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” Oleh karena itu, sampainya usaha orang lain kepadanya bertentangan dengan ayat ini. Namun menurut Syaikh As Sa’diy, “Pendalilan ini perlu ditinjau kembali, karena ayat hanyalah menunjukkan bahwa seseorang tidaklah mendapatkan selain yang ia kerjakan sendiri. Ini jelas tidak ada khilaf, namun di ayat itu tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa tidak bermanfaat untuknya usaha orang lain jika orang lain menghadiahkan untuknya sebagaimana seseorang tidaklah memiliki harta selain yang ada dalam kepemilikannya dan yang ada pada tangannya, namun hal ini tidak berarti bahwa ia tidak dapat memiliki apa yang dihibahkan orang lain dari harta miliknya.


IBNU TAIMIYAH TENTANG QS. AN-NAJM 39 DAN HADITS TERPUTUSNYA AMAL

Ibnu Taimiyah merupakan seorang ulama yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan kaum Wahhabiyah. Beliau dianggap sebagai ulama yang bermadzhab Hanbali yang sangat ketat. Sedangkan bagi ulama Syafi’iyyah, Ibnu Taimiyah dikatakan menyimpang terkait pembahasan aqidah. Namun, banyak hal menarik yang juga bisa di ambil hikmah dari fatwa-fatwa beliau tentang menghadiahkan pahala kepada orang mati termasuk menghadiahkan bacaan al-Qur’an untuk orang mati (mayyit).

QS. an-Najm Ayat 39 dan Hadits Terputusnya Amal

Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang QS. an-Najm 39 dan hadits terputusnya amal sebagaimana tercantum didalam kitabnya sebagai berikut :

سئل: عن قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وقوله – صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا يصل إليه شيء من أفعال البر؟

Ibnu Taimiyah di tanya tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam wafat maka terputuslah amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat untuknya dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu menunjukkan apabila seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak sampai kepadanya ?

الجواب: الحمد لله رب العالمين. ليس في الآية، ولا في الحديث أن الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما يعمل عنه من البر بل أئمة الإسلام متفقون على انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين الإسلام، وقد دل عليه الكتاب والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان من أهل البدع

Jawab ; al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam hadits bahwa mayyit (orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya dan dengan apa yang amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan para Imam telah sepakat bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal itu, dan ini diketahui dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah dan Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu barangsiapa yang menyelisihi hal itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah. [1]

Karena panjangnya bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik ibadah maliyah dan badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat bagi orang mati, telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka kami singkatkan (cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha’a Amaluhu menurut Ibnu Taimiyah :

أما الحديث فإنه قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فذكر الولد، ودعاؤه له خاصين؛ لأن الولد من كسبه، كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما كسب} [المسد: 2] . قالوا: إنه ولده. وكما قال النبي – صلى الله عليه وسلم -: «إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه» . فلما كان هو الساعي في وجود الولد كان عمله من كسبه، بخلاف الأخ، والعم والأب، ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل بدعاء الأجانب، لكن ليس ذلك من عمله

“Mengenai hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya”. Disini menyebutkan walad (anak-anak) dan do’anya kepadanya secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari usahanya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa : “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2). Ulama telah berkata : sesungguhnya yang dimaksud itu adalah anaknya, dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “Sungguh sebaik-baiknya apa yang dimakan oleh seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya bagian dari usahanya”. Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i) didalam hal wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari kasabnya (usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan seumpama mereka. Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a mereka bahkan juga do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari amalnya.

والنبي – صلى الله عليه وسلم – قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث» لم يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا دعا له ولده كان هذا من عمله الذي لم ينقطع، وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله، لكنه ينتفع به

“Dan Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “terputus amalnya kecuali 3 hal”, namun tidak dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat dari amal orang lain. Maka ketika anaknya berdo’a untuknya, itu menjadi bagian dari amalnya yang tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang berdo’a untuknya, maka itu tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. [] [2]

Berikut merupakan jawaban Ibnu Taimiyah ketika di tanya tentang keluarga al-marhum yang membaca al-Qur’an untuk orang mati :

سئل: عن قراءة أهل الميت تصل إليه؟ والتسبيح والتحميد، والتهليل والتكبير، إذا أهداه إلى الميت يصل إليه ثوابها أم لا؟. الجواب: يصل إلى الميت قراءة أهله، وتسبيحهم، وتكبيرهم، وسائر ذكرهم لله تعالى، إذا أهدوه إلى الميت، وصل إليه، والله أعلم

(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang keluarga al-Marhum yang membaca al-Qur’an yang disampaikan kepada mayyit ? Tasybih, tahmid, tahlil dan takbir, apabila menghadiahkannya kepada mayyit, apakah pahalanya sampai kepada mayyit ataukah tidak ?

Jawab : Pembacaaan al-Qur’an oleh keluarga almarhum sampai kepada mayyit, dan tasbih mereka, takbir dan seluruh dziki-dzikir karena Allah Ta’alaa apabila menghadiahkannya kepada mayyit, maka sampai kepada mayyit. Wallahu A’lam[3]

Ibnu Taimiyah Pernah Ditanya Hal Yang Sama

سئل: هل القراءة تصل إلى الميت من الولد أو لا؟ على مذهب الشافعي

(Ibnu Taimiyah) ditanya tentang pembacaan al-Qur’an oleh seorang anak apakah sampai kepada mayyit atau tidak ? Bagaimana menurut madzhab asy-Syafi’i ?

الجواب: أما وصول ثواب العبادات البدنية: كالقراءة، والصلاة، والصوم، فمذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها تصل، وذهب أكثر أصحاب مالك، والشافعي، إلى أنها لا تصل، والله أعلم.

Jawab : Adapun sampai pahala ibadah-ibadah badaniyah seperti membaca al-Qur’an, shalat dan puasa, oleh karena itu madzhab Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syaf’i menyatakan sampai, sedangkan pendapat kebanyakan Ashhab Malik dan asy-Syafi’i menyatakan tidak sampai. Wallahu A’lam. [4]

BERTAHLIL 70.000 DAN DIHADIAHKAN KEPADA MAYYIT

سئل: عمن «هلل سبعين ألف مرة، وأهداه للميت، يكون براءة للميت من النار» حديث صحيح؟ أم لا؟ وإذا هلل الإنسان وأهداه إلى الميت يصل إليه ثوابه، أم لا؟ الجواب: إذا هلل الإنسان هكذا: سبعون ألفا، أو أقل، أو أكثر. وأهديت إليه نفعه الله بذلك، وليس هذا حديثا صحيحا، ولا ضعيفا. والله أعلم.

“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang bertahlil 70.000 kali dan menghadiahkannya kepada mayyit, supaya memberikan keringan kepada mayyit dari api neraka, haditsnya shahih ataukah tidak ? Apakah seseorang manusia yang bertahlil dan menghadiahkan kepada mayyit, pahalanya sampai kepada mayyti ataukah tidak ?

Jawab : Apabila seseorang bertahlil sejumlah yang demikian ; 70.000 kali atau lebih sedikit atau lebih banyak dari itu dan menghadiahkannya kepada mayyit niscaya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mayyit dengan hal tersebut, dan tidaklah hadits ini shahih dan tidak pula dlaif. Wallahu A’lam”. [5]

Berikut merupakan penjabaran Ibnu Taimiyyah di dalam sebuah pasal khusus yang membahas pembacaan al-Qur’an untuk orang mati :

فصل : وأما القراءة، والصدقة وغيرهما من أعمال البر، فلا نزاع بين علماء السنة والجماعة في وصول ثواب العبادات المالية، كالصدقة والعتق، كما يصل إليه أيضا الدعاء والاستغفار، والصلاة عليه صلاة الجنازة، والدعاء عند قبره

Sebuah pasal : Qira’ah dan shadaqah serta selain keduanya seperti amal-amal kebajikan : tidak ada perselisihan diantara ‘ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah tentang sampainya pahala ibadah-ibadah maliyah, seperti shadaqah, memerdekakan budak, sebagaimana sampainya do’a dan istighafar kepada orang mati, shalat untuk orang mati yakni shalat jenazah, dan do’a disamping kubur orang mati.

وتنازعوا في وصول الأعمال البدنية: كالصوم، والصلاة، والقراءة، والصواب أن الجميع يصل إليه

Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah telah berselisih pendapat tentang sampainya amal-amal badaniyah, seperti puasa, shalat dan pembacaan al-Qur’an, namun yang shawab (benar) bahwa semuanya sampai kepada orang mati,

فقد ثبت في الصحيحين عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه قال: «من مات وعليه صيام صام عنه وليه» وثبت أيضا: «أنه أمر امرأة ماتت أمها، وعليها صوم، أن تصوم عن أمها» . وفي المسند عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه قال لعمرو بن العاص: «لو أن أباك أسلم فتصدقت عنه، أو صمت، أو أعتقت عنه، نفعه ذلك» وهذا مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي

Sungguh telah tsabit didalam Ash-Shahihain (Bukhari Muslim) dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau bersabda : “barangsiapa yang wafat dan masih memiliki tanggungan puasa, maka hendaknya walinya berpuasa untuknya”, dan telah tsabit juga “bahwa Nabi memerintahkan perempuan yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan puasa, agar berpuasa untuknya”, dan didalam al-Musnad dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau berkata kepada ‘Amru bin ‘Ash “seandainya ayahmu masuk Islam maka engkau bershadaqahlah menggantikannya (untuknya), atau engkau berpuasa, atau memerdekan budak untuknya, niscaya itu bermanfaat untuknya”, dan inilah madzhab Imam Ahmad, Abu Hanifah, sekelompok dari Ashhab Malik dan asy-Syafi’i.

وأما احتجاج بعضهم بقوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فيقال له قد ثبت بالسنة المتواترة وإجماع الأمة: أنه يصلى عليه، ويدعى له، ويستغفر له وهذا من سعي غيره. وكذلك قد ثبت ما سلف من أنه ينتفع بالصدقة عنه، والعتق، وهو من سعي غيره. وما كان من جوابهم في موارد الإجماع فهو جواب الباقين في مواقع النزاع. وللناس في ذلك أجوبة متعددة

Adapun sebagian mereka yang berhujjah dengan firman Allah Ta’alaa {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka dikatakan kepadanya (jawaban untuknya), sungguh telah tsabit berdasarkan Sunnah yang Mutawatir dan Ijma’ Umat : bahwa sesungguhnya mayyit dishalatkan atasnya, dido’akan untuknya, di istighfarkan (dimohonkan ampun) untuknya dan ini dari usaha orang lain, dan sebagaimana juga telah tsabit pada salafush shaleh seperti mayyit mendapatkan manfaat dengan shadaqah untuknya dan membebaskan budak, dan semua itu dari usaha orang lain, dan jawaban mereka didalam masalah yang bersifat ijma’ merupakan jawaban yang telah berlalu sebelumnya terhadap yang diperselisihkan, dan masalah tersebut bagi umat Islam terdapat jawaban yang bermacam-macam.

لكن الجواب المحقق في ذلك أن الله تعالى لم يقل: إن الإنسان لا ينتفع إلا بسعي نفسه، وإنما قال: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} [النجم: 39] فهو لا يملك إلا سعيه، ولا يستحق غير ذلك. وأما سعي غيره فهو له، كما أن الإنسان لا يملك إلا مال نفسه ونفع نفسه. فمال غيره ونفع غيره هو كذلك للغير؛ لكن إذا تبرع له الغير بذلك جاز

Akan tetapi jawaban ulama ahli Tahqiq terhadap masalah tersebut (an-Najm : 39) adalah yakni Allah Ta’alaa tidak berfirman : “bahwasanya manusia tidak bisa mendapatkan manfaat kecuali dengan amalnya sendiri”, sebaliknya Allah Ta’alaa berfirman : “dan tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan”, maka ia tidak memiliki kecuali yang diusahakannya dan juga tidak berhak selain yang demikian. adapun usaha orang lain maka itu untuk orang lain tersebut, sebagaimana manusia tidak memiliki (harta) kecuali harta yang ia usahakan sendiri dan memanfaatkannya sendiri, maka harta orang lain dan manfaat orang lain itu sebagaimana untuk orang lain itu sendiri, akan tetapi jika orang lain memberikan untuknya dengan hal yang demikian maka itu boleh

وهكذا هذا إذا تبرع له الغير بسعيه نفعه الله بذلك، كما ينفعه بدعائه له، والصدقة عنه، وهو ينتفع بكل ما يصل إليه من كل مسلم، سواء كان من أقاربه، أو غيرهم، كما ينتفع بصلاة المصلين عليه ودعائهم له عند قبره

Dan seperti itu juga apabila orang lain memberikan untuknya dengan usaha orang tersebut niscaya Allah memberikan manfaat dengan hal tersebut, sebagaimana bermanfaatnya do’a orang tersebut untuknya, juga shadaqah untuknya, dan itu berarti mendapatkan manfaat dengan setiap yang sampai kepadanya yang berasal dari setiap muslim, sama saja baik yang berasal dari kerabatnya atau orang lain, sebagaimana mendapatkan manfaat dengan shalat umat Islam atas mayyit dan do’a umat islam untuk mayyit disamping quburnya. [6]

Ibnu Taimiyyah Hanya Bicara Soal Keutamaan (Afdlaliyah) Bukan Membid’ahkan. Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mana yang lebih utama (afdlal) antara menghadiahkan pahala kepada orang tua atau kepada kaum Muslimin. Dalam hal ini, pembahasan Ibnu Taimiyah hanya menguraikan masalah keutamaan. Berikut adalah redaksinya :

سئل: عمن يقرأ القرآن العظيم، أو شيئا منه، هل الأفضل أن يهدي ثوابه لوالديه، ولموتى المسلمين؟ أو يجعل ثوابه لنفسه خاصة؟

“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang membaca al-Qur’an al-‘Adhim atau sebagian dari al-Qur’an, apakah lebih utama (afdlall) agar menghadiahkan pahalanya kepada kedua orang tuanya, dan kepada orang muslim yang wafat ? atau hanya menjadikan pahalanya untuk dirinya sendiri saja ?

الجواب: أفضل العبادات ما وافق هدي رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وهدي الصحابة، كما صح عن النبي – صلى الله عليه وسلم – أنه كان يقول في خطبته: «خير الكلام كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة» . وقال – صلى الله عليه وسلم -: خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم

Jawab : Ibadah-ibadah yang lebih utama adalah yang sesuai dengan pentunjuk Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan petunjuk para sahabat, sebagaimana telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam yang mana beliau bersabda didalam khutbahnya : “sebaik-baiknya perkataan adalah Kalamullah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, sedangkan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah itu sesat”, Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam juga bersabda : “sebaik-baiknya qurun (generasi) adalah kurun-ku, kemudian yang datang setelah mereka”.

وقال ابن مسعود: من كان منكم مستنا فليستن بمن قد مات؛ فإن الحي لا تؤمن عليه الفتنة، أولئك أصحاب محمد

Ibnu Ma’sud berkata : barangsiapa diantara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam

فإذا عرف هذا الأصل. فالأمر الذي كان معروفا بين المسلمين في القرون المفضلة، أنهم كانوا يعبدون الله بأنواع العبادات المشروعة، فرضها ونفلها، من الصلاة، والصيام، والقراءة، والذكر، وغير ذلك وكانوا يدعون للمؤمنين والمؤمنات، كما أمر الله بذلك لأحيائهم، وأمواتهم، في صلاتهم على الجنازة، وعند زيارة القبور، وغير ذلك

Maka apabila telah diketahui pondasi (pokok) ini, maka perkara yang telah ma’ruf diantara kaum muslimin pada qurun mufadldlalah (penuh karunia), bahwa mereka beribadah kepada Allah dengan berbagai macam ibadah yang masyru’, baik fardlu maupun nafilah (sunnah), seperti shalat, puasa, qiraa’ah (membaca al-Qur’an), dzikir dan yang lainnya, mereka berdo’a untuk mukminin dan mukminat, sebagaimana Allah perintahkan dengan hal itu untuk orang-orang yang hidup dan orang mati, baik didalam shalat jenazah juga ketika ziarah kubur dan yang lainnya.

وروي عن طائفة من السلف عند كل ختمة دعوة مجابة، فإذا دعا الرجل عقيب الختم لنفسه، ولوالديه، ولمشايخه، وغيرهم من المؤمنين والمؤمنات، كان هذا من الجنس المشروع. وكذلك دعاؤه لهم في قيام الليل، وغير ذلك من مواطن الإجابة

Telah diriwayatkan dari sekelompok salafush shaleh dimana setiap kali khatam (al-Qur’an) merupakan waktu do’a yang di ijabah, maka apabila seseorang berdo’a mengiringi khatmil Qur’an untuk dirinya sendiri, kedua orang tuanya, masyayikh-nya dan yang lainnya seperti mukminin dan mukminaat, hal ini merupakan termasuk dari jenis ibadah yang masyru’, dan sebagaimana juga do’anya untuk mereka ketika qiyamul lail (shalat malam), dan yang lainnya seperti momen-momen yang di ijabah

وقد صح عن النبي – صلى الله عليه وسلم -: أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم. فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية، والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد، وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك، والشافعي

Dan telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bahwa beliau memerintahkan bershadaqah untuk mayyit dan puasa untuk mayyit. Shadaqah untuk mayyit termasuk dari amal-amal shalih, dan demikian juga perkara yang berasal dari sunnah tentang puasa untuk mereka, dan berdasarkan hal ini serta berdasarkan yang lainnya sebagian ulama berhujjah : bahwa boleh menghadiahkan (memberikan) pahala ibadah-ibadah maliyah dan badaniyah kepada orang muslim yang meninggal, sebagaimana itu adalah madzhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekelompok ulama dari Ashhab Malikk dan asy-Syafi’i

فإذا أهدي لميت ثواب صيام، أو صلاة، أو قراءة، جاز ذلك، وأكثر أصحاب مالك، والشافعي يقولون: إنما يشرع ذلك في العبادات المالية، ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعا، وصاموا، وحجوا، أو قرءوا القرآن. يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا لخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم، فلا ينبغي للناس أن يعدلوا عن طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل. والله أعلم.

Maka (oleh karena itu), apabila puasa, shalat dan qiraa’ah di hadiahkan untuk mayyit maka itu boleh, namun kebanyakan Ashhab Malik dan Ashhab asy-Syafi’i mengatakan : sesungguhnya yang demikian disyariatkan pada ibadah-ibadah maliyah saja, dan bersamaan hal ini tiada dari kebiasaan salafush shaleh ketika mereka shalat sunnah, puasa, haji atau membaca al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahala yang demikian untuk orang-orang mati diantara mereka yang muslim, tidak pula kepada orang-orang khusus diantara mereka, bahkan itu menjadi kebiasaan mereka sebagaimana (pemaparan) sebelumnya, maka tidak sepatutnya bagi manusia untuk mengadili dari jalan shalafush shaleh, sebab itu lebih utama (afdlaliyah) dan lebih sempurna. Wallahu A’lam. [7]

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah merupakan murid dari Ibnu Taimiyah, yang juga menjadi rujukan kaum Wahhabiyah. Didalam salah satu kitabnya yaitu ar-Ruh termaktub hal-hal sebagai berikut :

وَقد ذكر عَن جمَاعَة من السّلف أَنهم أوصوا أَن يقْرَأ عِنْد قُبُورهم وَقت الدّفن قَالَ عبد الْحق يرْوى أَن عبد الله بن عمر أَمر أَن يقْرَأ عِنْد قَبره سُورَة الْبَقَرَة وَمِمَّنْ رأى ذَلِك الْمُعَلَّى بن عبد الرَّحْمَن وَكَانَ الامام أَحْمد يُنكر ذَلِك أَولا حَيْثُ لم يبلغهُ فِيهِ أثر ثمَّ رَجَعَ عَن ذَلِك

“dan sungguh telah disebutkan dari jama’ah salafush shalih bahwa mereka berwasiat agar dibacakan al-Qur’an disisi qubur mereka waktu dimakamkan, Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman, sedangkan awalnya Imam Ahmad mengingkari yang demikian karena atsar tentang hal itu tidak sampai kepadanya namun kemudian Imam Ahmad ruju’ dari yang demikian”

وَقَالَ الْخلال فِي الْجَامِع كتاب الْقِرَاءَة عِنْد الْقُبُور اُخْبُرْنَا الْعَبَّاس بن مُحَمَّد الدورى حَدثنَا يحيى بن معِين حَدثنَا مُبشر الحلبى حَدثنِي عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء بن اللَّجْلَاج عَن أَبِيه قَالَ قَالَ أَبى إِذا أنامت فضعنى فِي اللَّحْد وَقل بِسم الله وعَلى سنة رَسُول الله وَسن على التُّرَاب سنا واقرأ عِنْد رأسى بِفَاتِحَة الْبَقَرَة فإنى سَمِعت عبد الله بن عمر يَقُول ذَلِك قَالَ عَبَّاس الدورى سَأَلت أَحْمد بن حَنْبَل قلت تحفظ فِي الْقِرَاءَة على الْقَبْر شَيْئا فَقَالَ لَا وَسَأَلت يحيى ابْن معِين فحدثنى بِهَذَا الحَدِيث

“dan al-Khallal didalam al-Jami’ kitab tentang pembacaan al-Qur’an disisi kubur, telah mengkhabarkan kepada kami al-‘Abbas bin Muhammad ad-Dauri, menceritakan kepada kami Yahya bin Mu’in, menceritakan kepada kami Mubasysyir al-Halabi, menceritakan kepadaku Abdurrahman bin al-‘Alaa’ bin al-Lajlaj dari ayahnya, ia berkata : ayahnya berkata : apabila aku mati, kuburlah aku didalam liang lahad dan ucapakanlah “dengan asma Allah dan atas Sunnah Rasulillah”, kemudian ratakanlah diatas tanah, dan bacalah disisi (qubur) kepalaku pembukaan surah al-Baqarah, sebab aku mendengar Abdullah bin ‘Umar mengatakan hal itu, ‘Abbas ad-Dauri lalu berkata : aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, aku katakan : Ia hafal sesuatu tentang pembacaan al-Qur’an diatas qubur, ia menjawab : tidak, dan aku bertanya kepada Yahya bin Mu’in, maka ia menceritakan kepadaku hadits ini.

قَالَ الْخلال وَأَخْبرنِي الْحسن بن أَحْمد الْوراق حَدَّثَنى على بن مُوسَى الْحداد وَكَانَ صَدُوقًا قَالَ كنت مَعَ أَحْمد بن حَنْبَل وَمُحَمّد بن قدامَة الجوهرى فِي جَنَازَة فَلَمَّا دفن الْمَيِّت جلس رجل ضَرِير يقْرَأ عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَهُ أَحْمد يَا هَذَا إِن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر بِدعَة فَلَمَّا خرجنَا من الْمَقَابِر قَالَ مُحَمَّد بن قدامَة لِأَحْمَد بن حَنْبَل يَا أَبَا عبد الله مَا تَقول فِي مُبشر الْحلَبِي قَالَ ثِقَة قَالَ كتبت عَنهُ شَيْئا قَالَ نعم فَأَخْبرنِي مُبشر عَن عبد الرَّحْمَن بن الْعَلَاء اللَّجْلَاج عَن أَبِيه أَنه أوصى إِذا دفن أَن يقْرَأ عِنْد رَأسه بِفَاتِحَة الْبَقَرَة وخاتمتها وَقَالَ سَمِعت ابْن عمر يُوصي بذلك فَقَالَ لَهُ أَحْمد فَارْجِع وَقل للرجل يقْرَأ

“al-Khallal berkata : telah mengkhabrkan kepadaku al-Hasan bin Ahmad al-Warraq, menceritakan kepadaku ‘Ali bin Musa al-Haddad sedangkan ia adalah orang yang jujur (shaduq), ia berkata : aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah al-Jauhari pada sebuah jenazah, ketika itu telah selesai pemakaman mayyit maka duduklah seorang laki-laki buta membacakan al-Qur’an disisi qubur, kemudian Ahmad berkata kepadanya : “hai.. apa ini ? sesungguhnya pembacaan al-Qur’an disisi qubur adalah bid’ah”. Maka ketika kami keluar dari area pekuburan, kemudian Muhammad bin Qudamah berkata kepada Ahmad bin Hanbal : “wahai Abu Abdillah, apa yang engkau katakan tentang Mubasysyir al-Halabi ?” Ahmad berkata : “tsiqah”, al-Jauhari berkata : “apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya ?” Ahmad berkata : “iya”. Maka mengkhabarkan kepada Mubasyyir dari Abdurrahman bin al-‘Alaa’ al-Lajlaj dari ayahnya bahwa ia berwasiat apabila dimakamkan agar membaca disisi kepala (qubur) nya dengan pembukaan al-Baqarah dan mengkhatamkannya, dan ia berkata : aku mendengar Ibnu ‘Umar mewasiatkan hal itu, kemudian Ahmad berkata kepadanya : maka kembalilah dan katakanlah kepada laki-laki agar membacanya”.

وَقَالَ الْحسن بن الصَّباح الزَّعْفَرَانِي سَأَلت الشَّافِعِي عَن الْقِرَاءَة عِنْد الْقَبْر فَقَالَ لَا بَأْس بهَا

“al-Hasan bin ash-Shabbah az-Za’farani berkata ; aku bertanya kepada Imam asy-Syafi’i tentang pembacaan al-Qur’an disisi qubur, maka beliau menjawab : hal itu tidak apa-apa”.

وَذكر الْخلال عَن الشّعبِيّ قَالَ كَانَت الْأَنْصَار إِذا مَاتَ لَهُم الْمَيِّت اخْتلفُوا إِلَى قَبره يقرءُون عِنْده الْقُرْآن قَالَ وَأَخْبرنِي أَبُو يحيى النَّاقِد قَالَ سَمِعت الْحسن بن الجروى يَقُول مَرَرْت على قبر أُخْت لي فَقَرَأت عِنْدهَا تبَارك لما يذكر فِيهَا فَجَاءَنِي رجل فَقَالَ إنى رَأَيْت أختك فِي الْمَنَام تَقول جزى الله أَبَا على خيرا فقد انتفعت بِمَا قَرَأَ أَخْبرنِي الْحسن بن الْهَيْثَم قَالَ سَمِعت أَبَا بكر بن الأطروش ابْن بنت أبي نصر بن التمار يَقُول كَانَ رجل يَجِيء إِلَى قبر أمه يَوْم الْجُمُعَة فَيقْرَأ سُورَة يس فجَاء فِي بعض أَيَّامه فَقَرَأَ سُورَة يس ثمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِن كنت قسمت لهَذِهِ السُّورَة ثَوابًا فاجعله فِي أهل هَذِه الْمَقَابِر

“al-Khallal menuturkan dari asy-Sya’bi, ia berkata : shahabat (qaum) Anshar ketika seseorang antara mereka wafat, mereka saling datang ke quburnya dan membacakan al-Qur’an disisi quburnya, Ia berkata : “dan mengkhabarkanepadaku Abu Yahya an-Naqid, ia berkata : aku mendengar al-Hasan bin al-Jarwiy mengatakan : aku berjalan ke qubur saudara perempuanku kemudian aku membaca surah Tabarak (al-Mulk) disisi (qubur) nya, setelah menuturkan tentangnya maka seorang laki-laki datang kepadaku, kemudian berkata : sesungguhnya aku melihat saudara perempuanmu dalam mimpi mengatakan : semoga Allah membalas kebaikan Abu ‘Ali, sungguh memberikan manfaat kepadaku apa yang ia baca”, Telah mengkhabarkan kepadaku al-Hasan bin al-Haitsam, ia berkata : aku mendengar Abu Bakar bin al-Athrusy Ibnu binti Abu Nashr bin at-Tamar mengatakan : seorang laki-laki datang ke qubur ibunya pada hari Jum’at kemudian membaca surah Yasiin, pada sebgian hari yang lain ia juga datang membaca surah Yasiin, kemudian berdoa : “ya Allah jika Engkau membagikan pahala dengan surah ini, maka jadikanlah pahalanya untuk penghuni pekuburan ini”.

فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْجُمُعَة الَّتِي تَلِيهَا جَاءَت امْرَأَة فَقَالَت أَنْت فلَان ابْن فُلَانَة قَالَ نعم قَالَت إِن بِنْتا لي مَاتَت فرأيتها فِي النّوم جالسة على شَفير قبرها فَقلت مَا أجلسك هَا هُنَا فَقَالَت إِن فلَان ابْن فُلَانَة جَاءَ إِلَى قبر أمه فَقَرَأَ سُورَة يس وَجعل ثَوَابهَا لأهل الْمَقَابِر فأصابنا من روح ذَلِك أَو غفر لنا أَو نَحْو ذَلِك

“Ketika telah tiba hari Jum’at berikutnya, seorang perempuan datang menemuinya kemudian perempuan itu berkata : apakah engkau Fulan bin Fulanah ? ia berkata : “betul”, perempuan itu berkata : sesungguhnya putriku meninggal dunia dan aku melihat didalam mimpi ia sedang duduk diatas quburnya, kemudian aku berkata : kenapa engkau duduk disini ? ia berkata : sesungguhnya Fulan bin Fulanah datang ke quburnya ibunya kemudian membaca surah Yasiin, dan menjadikan pahalanya untuk seluruh penghuni quburan, maka kami mendapatkan dari ruh yang demikian atau pengampunan bagi kami atau seumpama itu”. [8]

Masih terkait penuturan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah tentang membaca al-Qur’an untuk orang mati :

وأما قراءة القرآن وإهداؤها له تطوعا بغير أجرة فهذا يصل إليه كما يصل ثواب الصوم والحج

“Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkannya kepada mayyit merupakan anjuran dengan tanpa bayaran, maka ini sampai kepada mayyit sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji.” [9]

CATATAN KAKI :

[1] Lihat : al-Fatawa al-Kubraa [3/27] Ibnu Taimiyah

[2] Lihat : Ibid [3/31].

[3] Lihat : Ibid [3/38].

[4]Lihat : Ibid [3/38].

[5]] Lihat : Ibid [3/38]

[6]Lihat : Ibid [3/63-64].

[7]Lihat : Ibid [3/37-38]. Ada juga hal menarik yang berasal dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah mengenai pertanyaan yang di ajukan kepada Ibnu Taimiyah, yang mana pertanyaan tersebut “mirip” dengan kegiatan majelis dzikir berupa tahlilan beserta bacaannya seperti tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan sebagainya :

وسئل: عن رجل ينكر على أهل الذكر يقول لهم: هذا الذكر بدعة وجهركم في الذكر بدعة وهم يفتتحون بالقرآن ويختتمون ثم يدعون للمسلمين الأحياء والأموات ويجمعون التسبيح والتحميد والتهليل والتكبير والحوقلة ويصلون على النبي صلى الله عليه وسلم والمنكر يعمل السماع مرات بالتصفيق ويبطل الذكر في وقت عمل السماع. فأجاب: الاجتماع لذكر الله واستماع كتابه والدعاء عمل صالح وهو من أفضل القربات والعبادات في الأوقات ففي الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: {إن لله ملائكة سياحين في الأرض فإذا مروا بقوم يذكرون الله تنادوا هلموا إلى حاجتكم} وذكر الحديث وفيه {وجدناهم يسبحونك ويحمدونك} لكن ينبغي أن يكون هذا أحيانا في بعض الأوقات والأمكنة فلا يجعل سنة راتبة يحافظ عليها إلا ما سن رسول الله صلى الله عليه وسلم المداومة عليه في الجماعات؟ من الصلوات الخمس في الجماعات ومن الجمعات والأعياد ونحو ذلك. وأما محافظة الإنسان على أوراد له من الصلاة أو القراءة أو الذكر أو الدعاء طرفي النهار وزلفا من الليل وغير ذلك: فهذا سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم والصالحين من عباد الله قديما وحديثا

“Ibnu Taimiyah ditanya tentang seorang laki-laki yang mengingkari ahli dzikir, dimana ia mengatakan kepada mereka (ahli dzikir) “ini dzikir bid’ah dan menyaringkan suara didalam dzikir kalian juga bid’ah”. Mereka (ahli dzikir) memulai dan menutup dzikirnya dengan membaca al-Qur’an, kemudian mereka berdo’a untuk kaum muslimin yang hidup maupun yang mati, mereka mengumpulkan antara bacaan tasybih, tahmid, tahlil, takbir, hawqalah [Laa Hawla wa Laa Quwwata Ilaa Billah], mereka juga bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam.. .

Jawab : Berkumpul untuk dzikir kepada Allah, mendengarkan Kitabullah dan do’a merupakan amal shalih, dan itu termasuk dari paling utamanya qurubaat (amal mendekatkan diri kepada Allah) dan paling utamanya ibadah-ibadah pada setiap waktu, didalam hadits Shahih dari Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, bahwa beliau bersabda : “sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang selalu bepergian di bumi, ketika mereka melewati sebuah qaum (perkumpulan) yang berdzikir kepada Allah, mereka (para malaikat) berseru : “silahkan sampaikan hajat kalian”. dan disebutkan didalam hadits tersebut, terdapat redaksi “dan kami menemukan mereka sedangkan bertasbih kepada-Mu dan bertahmid (memuji)-Mu”, akan tetapi selayaknya ha ini di hidupkan kapan saja dan dimana saja, tidak dijadikan sebagai sunnah ratibah yang dirutinkan kecuali apa yang disunnahkan Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam yang berketerusan dalam jama’ah ? seperti shalat 5 waktu (dilakukan) dalam jama’ah, hari raya dan semisalnya. Adapun umat Islam memelihara rutinitas wirid-wirid baginya seperti shalawat atau membaca al-Qur’an, atau mengingat Allah atau do’a pada seluruh siang dan sebagian malam atau pada waktu lainnya, maka hal ini merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, orang-orang shalih dari hamba-hamba Allah sebelumnya dan sekarang.

[8]Lihat : ar-Ruh fil Kalami ‘alaa Arwahil Amwat wal Ahya’ bid-Dalaili minal Kitab was Sunnah [1/10-11], Ibnul Qayyim al-Jauziyyah

[9]Lihat : Ibid [1/142 

والله اعلم با الصواب

اللهم صل على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم

Sumber FB Ustadz : facebook.com/muhammad.djauharui

26 Mei 2021

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Tentang Terputusnya Amal dan Surah An Najm : 39". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait