Pro Kontra Asbabun Nuzul

Pro Kontra Asbabun Nuzul - Kajian Islam Tarakan

Pro Kontra Asbabun Nuzul

oleh : Ahmad Sarwat, Lc.,MA 

Menarik kalau mengkaji bab asbanun-nuzul dan kaidah yang menjadi kontra-nya yaitu :

العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Yang jadi kesimpulan itu keumuman lafazh dan bukan sebab khususnya.

Dalam implementasi tafsir, rupanya kita menemukan dua-duanya saling tarik menarik. Kadang Asbabun Nuzul yang dimenangkan dan kadang keumuman lafazh yang dipakai. 

Semua kembali kepada masing-masing ayatnya. Sering kali beda ayat akan beda penerapan. Selain itu juga tergantung mufassirnya mau dibawa kemana ayat itu. 

Saya akan berikan contoh masing-masing satu ayat saja. 

1. Contoh Pertama : Asbabun Nuzul Mutlak Harus Digunakan

Pada contoh ini kita dapati bahwa asbabun nuzul itu harus diperhatikan, yaitu pada ayat yang bicara tentang bolehnya ibadah sa'i antara Shafa dan Marwah. 

فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Orang yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya.  (QS. Al-Baqarah : 158)

Kalau kita gunakan prinsip al-'ibratu bi-umumil-lafzhi la bi khushushi-sabab dan meninggalkan asbabun-nuzul, pasti kita keliru memahami ayat ini. Sebab lafazh ayat ini secara zhahirnya tegas sekali bahwa : tidak ada dosa bila mengerjakan sa'i.

Kesan yang terbentuk bahwa boleh-boleh saja kok kalau mau mengerjakan sa'i. Lalu logika terbaliknya pun ikut muncul yaitu : Kalau tidak mengerjakan sa'i, boleh juga kan?

Ya, harusnya boleh dong. Kira-kira begitu logika dan nalarnya. 

Padahal bukan begitu maunya Allah SWT ketika menurunkan ayat ini. Dan keliru besar kalau kesimpulannya bahwa hukum mengerjakan sa'i itu sekedar boleh. Bukan sekedar boleh, tapi sa'i itu rukun dalam ibadah haji dan umrah. Tanpa sa'i, haji dan umrah tidak sah.

Tapi kenapa bunyi lafazhnya terkesan sekedar membolehkan?

Disitulah peranan asbabun-nuzul menjadi sangat penting. Dan yang menjelaskannya adalah Ibunda Mukminin Aisyah radhiyallahuanha. 

Beliau bilang bahwa ayat itu turun terkait keraguan sebagain kalangan shahabat anshar. Mereka dulu di zaman masih menyembah berhala, kalau berhaji ke Mekkah selalu menghindari lokasi Shafa dan Marwah, karena disitu ada berhala pembawa sial yang selalu mereka takuti, yaitu Manat. 

Ketika sudah masuk Islam dan ada kesempatan haji atau umrah yang mewajibkan sa'i antara Shafa dan Marwah, mereka jadi agak ragu, apakah tetap menjalankan perintah sa'i atau masih tetap berupaya menghindari lokasi itu.

Maka turun lah ayat ini, yang menghapus keraguan mereka. Redaksinya menjadi : 'tidak ada dosa' bagi kalian untuk melanggar ketentuan yang tidak membolehkan dekat-dekat wilayah itu. 

Jadi silahkan hajar saja, tidak usah takut. Tenang saja, tidak ada dosa buat kalian. Kira-kira begitu konteks ayatnya ketika turun.

Jadi ayat ini bukan sedang bicara apakah sa'i itu rukun haji atau bukan. Tapi lagi menjawab orang yang ragu-ragu ketika melaksanakan sa'i. 

Tapi kesannya seolah sa'i jadi tidak wajib. Kuncinya? Baca dong Asbabun nuzulnya. 

Ok?

2. Contoh Kedua : Asbabun Nuzul Yang Tidak Lagi Digunakan

Contoh ini adalah kebalikan dari contoh yang di atas. Ayatnya terkait dengan keringanan dalam perang yang membolehkan Nabi SAW dan para shahabat untuk mengqashar shalat.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.  (QS. An-Nisa : 101)

Ayat ini turun ketika masa peperangan masih berkecamuk, dimana Nabi SAW dan para shahabat diberi keringanan untuk mengurangi empat rakaat menjadi dua rakaat saja. 

Makanya ayat ini menyebutkan syarat dibolehkannya qashar, yaitu : Kalau kamu takut diserang orang-orang kafir.

Namun Umar bin Khattab radhiyallahuanhu penasaran saat itu, kenapa sudah tidak ada lagi perang, tapi Nabi SAW masih saja mengqashar shalat dalam perjalanan? 

Rupanya ada penjelasan dari Nabi SAW bahwa ada perubahan hukum yang datang kemudian. Allah SWT telah menurunkan syarat qashar hanya tinggal perjalanan (safar) saja, tanpa harus dalam kondisi peperangan.

Rasulullah SAW mengumpamakan keringanan ini sedekah dari Allah dan kita diminta untuk menerima sedekah yang satu ini.

adahal secara asbabun-nuzul, ayat ini turun untuk kasus perjalanan perang. Namun kesimpulan akhirnya tidak demikian. 

oOo

Disitulah kita perlu belajar Ilmu Al-Quran secara utuh dan tidak sepotong-sepotong. Setiap kesimpulan hukum dari suatu ayat sudah didesain sedemikian presisi oleh para fuqaha, sehingga menjadi sistem yang saling terkait satu dengan yang lain.

Kita yang awam ini akan tersesat manakala kita sok merasa pinter sendiri, lalu bermain-main dengan sekian banyak tools dan menerapkannya secara sembrono pada ayat-ayat Al-Quran. 

Jadi buat kita, meski sudah belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, juga sudah belajar Ilmu Ushul Fiqih, tetap saja kalau menarik kesimpulan hukum masih harus kita serahkan kepada pihak yang ekspert. 

Kalau urusan kesimpulan hukum, ekspertnya adalah fuqaha empat mazhab. Kita cek apa yang dikatakan oleh para ulama di masing-masing mazhab itu.

NOTE

Kalau sudah paham dua contoh di atas, maka slogan : Kembali Kepada Al-Quran justru menjadi kurang relevan lagi. 

Toh kita memang sudah pakai Quran, tapi masalahnya bukan itu. Masalahnya adalah  bagaimana caranya kita menarik kesimpulan hukum dari suatu ayat Quran? 

Ibarat kata, nggak usah paksa-paksa saya pergi haji. Orang saya sudah di Mina kok. Lagi wuquf nih.  Masalahnya, kita mau nafar awal atau nafar tsani. 

Malah yang ngajak haji bingung sendiri : nafar awal? nafar tsani? Makanan apa ya itu?

Hadeh

Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat

29 Mei 2021 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Pro Kontra Asbabun Nuzul". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait