Akidah Tanzih Dalam Kisah Isra dan Miraj

Akidah Tanzih Dalam Kisah Isra' dan Mi'raj - Kajian Islam Tarakan

[Akidah Tanzih Dalam Kisah Isra' dan Mi'raj]

Jika ada yang meyakini Allah (di) arah atas karena datangnya nash yang mengkhususkan sifat atas bagi-Nya, sehingga orang yang berdo'a pun menghadap keatas, sebagaimana Ka'bah dikhususkan sebagai Baitullah (rumah Allah), tetapi ia menafikan atau membersihkan seluruh atribut hawadits (benda/jisim/makhluk) yang bisa melekat pada Allah, seperti Allah bertempat, memiliki jarak fisikal (hissi), memiliki area atau lokasi, memiliki sisi bawah dll (had), dan atribut-atribut hadits lainnya, seraya dia menyerahkan makna sesungguhnya kepada Allah (tafwidh makna), maka ia tidak keluar dari akidah salaf yang tanzih (bersih dari tasybih). (Qultu: Keyakinan ini bukan berarti menetapkan Allah bertempat atau berada ditempat atas. Jangan salah faham!)

Tetapi jika ia meyakini Allah memiliki tempat diatas sana (diatas arsy/diatas langit) sebagaimana makhluk yang bertempat, maka ini adalah keyakinan kufur yang amat jelas. Dan jika ia meyakini Allah memiliki tempat diatas sana, tetapi tidak sama seperti makhluk, maka ia terpapar bid'ah yang amat sesat.

Demikian kesimpulan dari perkataan Syaikh Mahmud Khaththab as-Subki al-Asy'ari dalam kitabnya, Ithaf-ul-Kainat. Salah satu kitab Ahlussunnah wal Jama'ah yang ditulis untuk menjelaskan akidah salaf dan khalaf dalam interaksinya dengan ayat dan hadits mutasyabihat. 

Dari ucapan diatas dipahami, siapa yang mengatakan "Allah tinggi (di) atas" atau "Allah (di) atas arsy" dan dengan menafikan seluruh atribut atau khasais (sifat khusus) makhluk sebagaimana diatas, serta mentafwidh makna sesungguhnya kepada Allah, maka ia munazzih atau bersih dari tasybih dan tajsim. Yang sesat, bahkan bisa kufur, adalah ketika meyakini Allah bertempat diatas sana atau menetapkan atribut jisim dan sifat makhluk bagi Allah. 

Kisah isra' dan mi'rajnya Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan kemudian beliau dekat dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukanlah dekat secara jarak, fisik atau hissi (inderawi) sebagaimana makhluk, tapi dekat secara maknawi. Rasulullah ditempat munajatnya di Sidratul Muntaha (mustawa), melihat Allah bukan seperti kita melihat makhluk lain yang memiliki kaifiyah (ciri khas jisim dan 'ardh/makhluk) seperti harus diarah depannya dan dalam jarak tertentu yang dapat dijangkau oleh mata. Rasulullah melihat Allah tanpa arah dan tanpa harus diliputi. 

Wallahu A'lam.

Sumber FB Ustadz : Hidayat Nur

Kajian · 12 Maret 2021 pada 10.24  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Akidah Tanzih Dalam Kisah Isra dan Miraj". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait