Jilbab dan Aurat Perempuan

💠 Jilbab dan Aurat Perempuan.

🖋️ Rozzaaq Imam.

©️aswajamuda.com

Sumber:

Keputusan Bahtsul Masail Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tentang Hukum Jilbab dan Aurat Perempuan di PP Matholi’ul Anwar, Jalan Raya Simo, Sungelebak, Karanggeneng, Lamongan pada Sabtu-Ahad, pada 5-6 Rajab 1441 H/29 Februari-1 Maret 2020.

"Fenomena jilbab menjadi isu yang belakangan menyeruak lagi. Terdapat silang pendapat dan kontroversi berkaitan dengan kewajiban memakai jilbab bagi perempuan muslimah. Akibatnya, perbedaan pandangan pro dan kontra tidak bisa dihindari. Sebab itu, sangat diperlukan adanya penjelasan fiqhiyyah yang proporsional mengenai hakikat jilbab, substansinya, hukum memakainya dan hal-hal seputarnya yang berhubungan dengan aurat perempuan.

Definisi Jilbab

Jilbab dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan dengan kerudung lebar yang dipakai wanita muslimah untuk menutupi kepala dan leher sampai dada.

Dalam Al-Qur’an, jilbab disebutkan pada QS Al-Ahzab ayat 59. Ia disebutkan dengan menggunakan lafal jalabib yang merupakan pentuk plural dari jilbab. Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berkaitan tafsir kata jalabib dalam ayat di atas, terdapat silang pendapat di antara ulama. Ada ulama yang mengartikan jilbab dengan baju yang menutupi semua badan. Sementara dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibn Manzhur, sebagaimana dikutip Syekh Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya (Rawa‘i’ al-Bayan, vol. 2, hlm. 374), jilbab diartikan sebagai pakaian yang lebih longgar daripada kerudung (khimar) dan lebih kecil daripada selendang (rida‘) yang digunakan sebagai penutup kepala dan dada perempuan.

Syekh Thahir bin ‘Asyur memberi penjelasan senada dengan definisi Ibn Manzhur tersebut. Ia menambahkan, jilbab dikenakan oleh perempuan di bagian kepalanya, kedua sisinya terurai ke bagian dua ‘idzar (bagian samping telinga, jawa: athi-athi), sedangkan bagian lainnya terurai ke arah pundak dan punggung. (Thahir bin ‘Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, vol. 12, hlm. 106).

Substansi Perintah Mengenakan Jilbab

Menurut Bin Asyur, substansi ayat jilbab di atas adalah perintah terhadap wanita untuk menutupi aurat dengan busana model apapun. Tidak harus memakai model busana tertentu yang menjadi ciri khas suatu golongan atau bangsa. Begini penjelasan beliau:

وَهَيْئَاتُ لُبْسِ الْجَلَابِيبِ مُخْتَلِفَةٌ بِاخْتِلَافِ أَحْوَالِ النِّسَاءِ تُبَيِّنُهَا الْعَادَاتُ وَالْمَقْصُودُ هُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ تَعَالَى: “ذلِكَ أَدْنى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ.”

“Bentuk pemakaian jilbab dapat berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi para wanita yang dipengaruhi berbagai adat. Sedangkan maksud utamanya adalah substansi dari tafsir firman Allah: ‘Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak disakiti.’”

Sementara dalam kitabnya yang berjudul Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah (vol. 3, hlm. 268-270), Bin Asyur memberi penegasan. Dirinya meyakini bahwa adat suatu bangsa, dalam posisinya sebagai adat, tidak boleh dipaksakan kepada bangsa lain—atau bahkan kepada bangsa itu sendiri—atas nama syariat. Namun, ada beberapa adat suatu bangsa yang ditetapkan sebagai aturan syariat karena mempertimbangkan dampak baik/buruknya. Terkhusus permasalahan jilbab, Bin Asyur berkata:

فَهَذَا شَرْعٌ رُوْعِيَتْ فِيْهِ عَادَةُ الْعَرَبِ فَالْأَقْوَامُ الَّذِيْنَ لَا يَتَّخِذُوْنَ الْجَلَابِيْبَ لا يَنالُهُمْ مِنْ هَذَا التَّشْرِيْعِ نَصِيْبٌ

“(Urusan jilbab) ini adalah pemberlakuan syariat yang di dalamnya terdapat pertimbangan terhadap adat istiadat bangsa Arab. Sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak memakai model jilbab seperti ini tidak mendapatkan bagian dari pemberlakuan syariat (kewajiban memakai model jilbab seperti yang disinggung dalam ayat).”

Maka dari itu …

Yang dimaksud dengan jilbab dalam konteks pernyataan Bin Asyur ini adalah model jilbab bangsa Arab tempo dulu. Sama sekali bukan jilbab dalam pengertian umum yaitu kain penutup aurat kepala, rambut, leher dan dada, yang di Indonesia lazim disebut kerudung. Walhasil, hukum memakai model jilbab sebagaimana bangsa Arab tempo dulu tidak wajib. Sedangkan hukum menutup aurat, apapun model pakaiannya, adalah wajib bagi setiap muslimah. 

Syari'at Islam tidak memerintahkan wanita memakai busana tertentu. Yang terpenting dapat menutup aurat. Berangkat dari pemahaman ini, anggota tubuh wanita yang wajib ditutup dengan jilbab/kerudung—dalam istilah yang lazim dipakai di Indonesia—adalah bagian kepala, rambut kepala dan leher. Kewajiban menutupi bagian-bagian tersebut tidak harus memakai jilbab dengan model tertentu, namun boleh dengan penutup dan model busana apapun.

Bagian Tubuh Lainnya yang Wajib Ditutupi

Selain bagian kepala, leher, dan rambut kepala yang wajib ditutupi sebagaimana penjelasan di muka, wanita juga wajib menutupi bagian tubuh lainnya yang tergolong aurat. Aurat wanita sendiri adalah seluruh anggota tubuhnya, meliputi kaki, betis, paha, perut sampai ujung kepalanya. Namun terdapat beberapa pengecualian yang tidak wajib ditutupi yang akan dibahas satu-persatu di bawah ini.

Wajah dan Kedua Telapak Tangan

Wajah dan kedua telapak tangan bukan termasuk aurat menurut pendapat ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i. Namun mengenai hukum membukanya di depan laki-laki “nonmahram” (yang bukan mahramnya) ada perbedaan pendapat lintas mazhab sebagai berikut:

Menurut mazhab Hanafi perempuan diperbolehkan membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki nonmahram. Demikian pula laki-laki nonmahram boleh melihatnya dengan syarat tidak disertai syahwat. Karenanya, bila dikhawatirkan menimbulkan fitnah atau syahwat bagi laki-laki yang melihatnya, maka hukum membukanya juga haram. Dalam kondisi adanya kekhawatiran “fitnah” seperti ini, perempuan wajib menutup wajah dan kedua telapak tangannya.

Menurut kutipan Al-Imam Al-Mawaq dari Al-Imam ‘Iyadh (mazhab Maliki) perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki nonmahram. Sebaliknya laki-laki nonmahram juga boleh melihatnya dengan syarat tidak bertujuan menikmati (berhasrat seksual) dan tidak menemukan kenikmatan seksual.

Menurut mazhab Syafi’i perempuan boleh membuka wajah dan kedua telapak tangan di depan laki-laki nonmahram. Namun bagi laki-laki nonmahram haram melihatnya. Namun apabila dengan membukanya, ada dugaan atau keyakinan akan dipandang laki-laki nonmahram, maka hukum membukanya haram.

Kedua Dzira’ (Lengan Bagian Bawah)

Dzira’ adalah bagian lengan tangan dari ujung siku hingga ujung jari tengah, atau dapat diungkapkan sebagai lengan bawah. Menurut satu riwayat dari Abu Hanifah, dzira’ bukan termasuk aurat yang wajib ditutupi (Ala‘uddin al-Hashkafi, Ad-Durr al-Mukhtar, hlm. 58). Ibn Mazah al-Bukhari mengutip dari kitab Jami’ al-Baramikah, dengan menukil pendapat Imam Abu Yusuf, bahwa laki-laki boleh melihat dzira’ perempuan, karena keperluan memasak, mencuci dan aktivitas lainnya yang meniscayakan perempuan membuka lengannya. Namun kebolehan melihat lengan wanita tersebut disyaratkan tidak disertai syahwat. Demikian pula kebolehan membuka lengan bagi wanita di depan laki-laki nonmahram, disyaratkan tidak khawatir menimbulkan fitnah/syahwat (Al-Muhith al-Burhani fil-Fiqh an-Nu’mani, vol. 5, hlm. 334).

Kedua Telapak Kaki

Menurut pendapat “muktamad” (pendapat yang dijadikan pegangan) dalam mazhab Hanafi, kedua telapak kaki, baik bagian luar atau dalam tidak termasuk aurat yang wajib ditutup perempuan. Imam al-Hasan meriwayatkan dari Abu Hanifah, bahwa laki-laki non mahram boleh melihat telapak kaki perempuan karena kebutuhan wanita saat berjalan kaki meniscayakan ia membuka telapak kakinya, sebab tidak setiap saaat seorang perempuan dapat menemukan al-khuff (muzah: alas kaki yang menutup rapat). Namun kebolehan melihatnya disyaratkan tidak disertai syahwat. Demikian pula kebolehan membuka telapak kaki bagi wanita di depan laki-laki non mahram, disyaratkan tidak khawatir menimbulkan fitnah/syahwat (Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-8 Tahun 1933, hlm. 8-9).

Rambut Kepala yang Terurai ke Bawah

Dalam mazhab Hanafi, mengenai ke-aurat-an rambut kepala yang terurai ke bawah hingga keluar dari batas kepala terdapat dua pendapat. Menurut pendapat yang disahihkan dalam kitab al-Hidayah, al-Muhith, al-Kafi dan mayoritas khazanah fikih Hanafi, rambut tersebut tergolong aurat yang wajib ditutup. Sementara menurut pendapat yang disahihkan dalam kitab al-Khaqaniyyah dan dipilih oleh al-Shadr al-Syahid bukan termasuk aurat. Pendapat ini juga dituturkan dalam riwayatnya al-Muntaqa (Ibn ‘Abidin, Radd al-Muhtar ala ad-Durr al-Mukhtar, vol. 1, hlm. 405-406). Berpijak dari pendapat yang terakhir, hukum membukanya adalah boleh. Namun bila hal itu dikhawatirkan menimbulkan fitnah/syahwat bagi laki-laki nonmahram yang memandangnya, maka haram.

Anjuran Berhati-Hati (Ihtiyath)

Kendati para ulama berbeda pendapat dalam menentukan beberapa anggota tubuh yang tergolong aurat—sebagaimana telah dijelaskan pada dua tulisan sebelumnya, perempuan muslimah yang baik hendaknya tidak mengikuti pendapat yang ringan, kecuali dalam kondisi yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan untuk menghindari tasahul (ceroboh/meremehkan) akan urusan agama. Lebih-lebih berkaitan dengan interaksi lawan jenis yang rawan menimbulkan dampak kerusakan yang berbahaya. Imam An-Nawawi berkata:

وَمِنْ التَّسَاهُلِ أَنْ تَحْمِلَهُ الْأَغْرَاضُ الْفَاسِدَةُ عَلَى تَتَبُّعِ الْحِيَلِ الْمُحَرَّمَةِ أَوْ الْمَكْرُوهَةِ—إلى أن قال—وَأَمَّا مَنْ صَحَّ قَصْدُهُ فَاحْتَسَبَ فِي طَلَبِ حِيلَةٍ لَا شُبْهَةَ فِيهَا لِتَخْلِيصٍ مِنْ وَرْطَةِ يَمِينٍ وَنَحْوِهَا فَذَلِكَ حَسَنٌ جَمِيلٌ

“Termasuk tasahul adalah mencari-cari keringanan/muslihat dengan cara yang haram atau makruh (agar dapat melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan) dengan didorong oleh tujuan-tujuan yang tidak benar. Namun jika ada seseorang yang mencari dan melakukan keringanan/muslihat dengan tujuan yang dapat dibenarkan, semisal untuk membebaskan diri dari posisi sulit yang disebabkan sumpahnya sendiri, maka perbuatannya adalah perbuatan yang baik.” (Al-Majmu’, vol. 1, hlm. 79-80).

Demikian pula tidak boleh ceroboh dalam menilai perilaku orang lain dalam persoalan menutup aurat. Tidak gegabah menyalahkan pihak lain yang tidak sepaham, sepanjang masih ditemukan rujukannya dalam al-madzahib al-arba’ah. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah fikih:

لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Tidak boleh mengingkari perkara yang masih dipertentangkan hukumnya. Hanya perkara yang sudah disepakati yang boleh diingkari/ditolak.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nazhair, hlm. 158).

Kesimpulan

Dari semua keterangan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun ulama empat mazhab yang memperbolehkan membuka kepala, leher dan rambut yang masih dalam batas kepala. Perbedaan pendapat terjadi dalam beberapa anggota tubuh tertentu meliputi wajah, telapak tangan, lengan, telapak kaki dan rambut kepala yang terurai ke bawah (keluar dari area kepala). Untuk beberapa anggota tubuh tersebut, status auratnya masih diperdebatkan para ulama. Pendapat yang menyimpang dari batasan aurat versi al-madzahib al-arba’ah sebagaimana uraian di atas, tidak dapat dibenarkan dan tidak boleh diikuti.

Walhasil, dalam kewajiban menutup aurat, perempuan diperbolehkan memakai model busana apapun. Hal ini bisa berbeda-beda sesuai tradisi yang berlaku. Memakai busana apapun, selama menutup aurat dengan benar, sudah cukup untuk menggugurkan kewajiban menutup aurat.

Namun, selain kewajiban menutup aurat, perempuan juga wajib menjauhi setiap pakaian atau aksesoris lain yang diduga dapat menimbulkan hasrat (fitnah) bagi lawan jenis, seperti pakaian ketat yang memikat perhatian laki-laki, parfum yang semerbak dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, bahkan bagian tubuh yang bukan aurat pun wajib ditutupi juga bila khawatir menimbulkan fitnah/syahwat kepada laki-laki nonmahram yang memandangnya.

Wallahu a’lam.

Jilbab dan Aurat Perempuan - Kajian Islam Tarakan

Jilbab dan Aurat Perempuan - Kajian Islam Tarakan

Jilbab dan Aurat Perempuan - Kajian Islam Tarakan

Jilbab dan Aurat Perempuan - Kajian Islam Tarakan

Jilbab dan Aurat Perempuan - Kajian Islam Tarakan

Jilbab dan Aurat Perempuan - Kajian Islam Tarakan

baca juga kajian tentang muslimah berikut :

Sumber FB : Feri Hendriawan

27 Januari 2021 pada 22.32  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Jilbab dan Aurat Perempuan". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait