Fiqih Ikhtilaf 2

Fiqih Ikhtilaf - Kajian Islam Tarakan

Fiqih Ikhtilaf

Fiqih ikhtilaf adalah salah satu subjek pembahasan dalam ilmu fiqih, khususnya membahas perbedaan pendapat di kalangan para pakar dan ahli fiqih.

Setidaknya ada tiga point penting untuk kita catat dalam mempelajari fiqih ikhtilaf, yaitu 

Pertama, terkait perbedaan pendapat itu tidak bisa ditolak. Kedua, terkait bahwa tidak semua titik  kita boleh berbeda pendapat. Dan ketiga bahwa ikhtilaf itu hanya sebatas di kalangan para ulama saja, bukan persengketaan awam. 

Kita kupas satu-satu ya : 

1. Perbedaan Pendapat Itu Tidak Bisa Ditolak

Perbedaan pendapat ini bukan hal yang tabu apalagi haram. Justru perbedaan pendapat ini mutlak pasti terjadi. Dahulu para shahabat pun sudah berbeda pendapat di hadapan Rasulullah SAW. Malahan para nabi dan rasul pun sering kali berbeda pendapat dengan sesama mereka.

Nabi Musa 'alaihissalam berbedpa pendapat dengan saudaranya sendiri, Nabi Harun 'alaihissalam, khususnya dalam pendekatan dakwah kepada bangsa mereka, Bani Israil. 

Dalam dimensi yang lain, Surat Al-Kahfi menceritakan bagaimana Nabi Musa 'alaihissalam, lagi-lagi berbeda pendapat dengan Nabi Khidhir 'alaihissalam.

Nabi Sulaiman 'alaihissalamsebagai raja di masanya, juga berbeda pandangan dengan ayahandanya sendiri, Nabi Daud 'alaihissalam.

Dan uniknya, dalam riwayat yang shahih, kita juga akrab dengan kisah di zaman dulu terkait kisah taubatnya pendosa yang telah membunuh 99 nyawa plus 1 nyawa.  Dia tidak sempat sampai ke tujuan, keburu mati di jalan. Lalu dua malaikat bersiteru, yang satu mau bawa ke surga dan satu lagi mau bawa ke neraka. 

Padahal malaikat itu hamba-hamba Allah yang mulia (ibadun mukramun). Malaikat itu tidak punya kepentingan bisnis tertentu sehingga ngotot dalam masalah ini. Malaikat juga tidak didukung partai tertentu, sehingga harus menjaga amanah konstituen. 

Dan tentu saja malaikat juga tidak pamer-pamer kemasyhuran, misalnya biar jumlah follower bertambah, atau biar rating acaranya nya jadi naik. Tidak mungkin para malaikat bersikap serendah itu. 

Mereka sama sekali tidak punya kepentingan apapun ketika mengerjakan tugas, semua seusai SOP yang sudah ada.  Namun meski pun demikian, ternyata ikhtilaf tetap saja terjadi antara dua makhluk Allah yang tidak punya hawa nafsu itu. 

Lalu kita mau apa?

Kalau para shahabat bisa berbeda pendapat, para nabi dan rasul pun bisa berbeda pendapat, bahkan para malaikat mulia itu juga bisa berbeda pendapat, mengapa kita tidak boleh berbeda pendapat?

2. Tidak Semua Titik Boleh Berbeda Pendapat

Tentu saja urusan perbedaan pendapat ini terbagi dua, ada titik dimana kita boleh berbeda pendapat, namun juga ada titik yang kita tidak boleh berbeda. 

Saya tidak membaginya berdasarkan tema aqidah dan syariah, tapi saya malah membaginya berdasarkan perkara fundamental atau tidak fundamental, baik pada tema aqidah atau pun pada tema syariah.

Tema Aqidah memang jadi landasan keimanan kita. Namun sebenarnya tidak semua tema aqidah itu menentukan keimanan. Ternyata dalam kajian-kajian ilmu aqidah atau ilmu tauhid, masih terbagi lagi antara ajaran yang fundamental dan tidak fundamental. 

Kalau prinsip tiada tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah SAW, tentunya itu masuk yang fundamental. Juga tentang keharusan kita mengimani keberadaan para malaikat, kitab suci, para rasul dan nabi, dan juga kepastikan akan terjadi hari kiamat. 

Semua itu tentu sangat-sangat fundametal. Kalau sampai kita mengingkarinya, jelas gugur keimanana kita dan ancamannya pasti masuk neraka. Nauzdu billa tsumaa naudzu billah.

Namun meski kita beriman kepada para malaikat, ternyata urusan per-malaikat-an ini luas juga. Misalnya kita kenal ada 10 nama malaikat yaitu Jibril, Mikail, ISrafil, Izrail, Munkar, Nakir, Raqib, Atid, Malik dan Ridwan. 

Pertanyaannya : misalnya kita tidak hafal kesepuluh nama mereka, kira-kira kita masuk neraka nggak? Tentu jawabannya tidak, bukan?

Karena urusan siapa saja nama para malaikat, meski masih tema di bidang aqidah, namun secara nilai ajaran, tidak termasuk yang fundamental. 

Sebagaimana juga kita tidak wajib menghafal nama 25 nabi dan rasul secara urut, meski kita tetap wajib beriman kepada mereka. Padahal jumlah mereka tidak kurang dari 124 ribu orang, 300 di antaranya sekelas rasul. Mana ada yang kenal dan hafal semua nama mereka?

Begitu juga dengan nama-nama kitab suci yang Allah SWT turunkan, ternyata bukan hanya empat saja (Zabur, Taurat, Injil, Al-Quran), tapi masih ada banyak lagi. Dan hampir semuanya kita tidak kenal namanya.

Kiamat begitu juga, kita cukup mengimani bahwa kiamat pasti terjadi. Cuma bagaimana urut-urutannya, kayak apa kejadiannya, kapan terjadinya, semua itu justru blank dalam pengetahuan kita. Jadi kita wajib mengimani, tapi tidak wajib mengetahui detail-detailnya. 

Apalagi kalau subjeknya tentang Allah SWT, tentu lebih unik lagi. Hampir semua kajian terkait detail-detail subjek Allah itu merupakan hasil ijtihad ulama, dimana mereka selalu berbeda pendapat tentang detail-detailnya. 

Kita tidak bisa mengatakan siapa yang keliru dalam urusan detail ini pasti musyrik dan matinya masuk neraka. Sama sekali tidak masuk akal, karena masalah-masalah yang diangkat umumnya malah tidak pernah dipermasalahkan di masa kenabian.

Makanya Imam Ahmad tegas sekali berkata : 

والسؤال عنه بدعة

Membahas atau mempertanyakan masalah semacam itu adalah perbuatan bid'ah, masukdnya perkara-perkara tidak pernah dibahas di masa kenabian. Kalau tidak dibahas, berarti memang tidak penting-penting amat. 

Jadi ikhtilaf itu tidak hanya sebatas dalam masalah syariah atau fiqih semata, tapi dalam tema besar tauhid dan aqidah, juga ada banyak perkara khilafiyah. Malah porsi perbedaan pendapatnya jauh lebih lebar dan lebih luas. 

3. Ikhtilaf Ulama vs Persengketaan Awam

Tidak semua masalah perbedaan pendapat itu harus kita terima. Hanya perbedaan pendapat di kalangan ulama saja yang masuk dalam semesta pembicaraan fiqih ikhtilaf ini. 

Misalnya perbedaan dalam bacaan Al-Quran, kita hanya menerima bila yang berbeda para imam qiraat antara Nafi' Qalun, Warsy, Al-Kisa'i, Ibnu 'Amir, Hafsh, 'Ashim dan sekelasnya mereka saja. 

Kita tidak menerima perbedaan pendapat qiraat dari Sarimin, Sariman, Saritem atau pun Sariyem. Sebab mereka bukan imam qiraat. 

Kita hanya menerima perbedaan pendapat fiqih dari para fuqaha, misalnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i atau Hambali. Kita tidak bisa menerima perbedaan pendapat dari Wariman, Warimin, Warjoko, Warsiyem apalagi Warsinem.

Kita hanya menerima perbedaan pendapat tentang sanad hadits dari para imam hadits, seperti Imam Bukhari, Muslim, An-Nasa'i, At-Turmuzi, Ibnu Ash-Shalah dan sekelas ulama hadits betulan. Kita tidak bisa menerima perbedaan pendapat dari Tugiman, Tugimin, Tulkiyem apalagi Tuljaenak Jaejatul Jaeji. 

Orang yang bukan pakar di suatu bidang ilmu, kalau pun mereka sepakat pun kita tidak ikuti, apalagi ketika mereka bersitengang dan berbeda pendapat, lebih kita jauhi lagi. Orang awam kok sok pada berbeda pendapat, ya kita buang semua pendapat mereka.

Kenapa?

Karena mereka yang biasanya ribut-ribut itu sebenarnya kelas orang awam. Awam itu maksudnya mereka yang bukan ahli di bidangnya. 

Seperti ributnya orang-orang tentang sebuah penyakit, padahal mereka bukan dokter. Ributnya mereka tentang ruang angkasa, padahal mereka bukan astronom. Ributnya mereka tentang resep masakan, padahal mereka bukan chef dan tidak pernah masuk dapur seumur hidupnya. 

Mereka meributkan masalah hukum agama, padahal tak satu pun yang pernah belajar ilmu fiqih. Mereka meributkan sanad hadits, tapi tak satupun yang pernah jadi murid ulama hadits. 

Mereka meributkan cara baca qiraat sab'ah, padahal tak satu pun yang pernah belajar sanad bacaan lewat riwayat mutawatir. 

Mereka meributkan tafsir suatu ayat, padahal tak satu pun yang pernah ikut kuliah tafsir. 

Keawaman mereka itu adalah sumber penyakit sekaligus racun yang merusak ukhuwah serta persatuan umat Islam. Sebab yang mereka lakukan itu sangat naif dan fatal akibatnya.

Ibaratnya ada beberapa orang buta saling meributkan bentuk gajah. Mereka mereka seumur hidup tidak pernah melihat gajah secara utuh. Tapi mereka saling menyalahkan sesama mereka. Dan lebih parah lagi, semua pengunjung kebun binatang yang pada nonton gajah pun mereka sesat-sesatkan. 

Lucu sekali omelan para orang buta itu : Siapa bilang gajah punya gading dan belalai? Kalian itu salah dan keliru besar. Kalian sudah sesat. Segeralah bertaubat. Dasar kalian itu tidak punya mata, kalian itu buta dan tidak bisa melihat!!!

Waduh . . . semua pengunjung kebun binatang pada saling pandang sesama mereka dengan pandangan bingung dan heran. 

Untung saja ada petugas menenangkan, sambil memberi isyarat menyilangkan jari di dahi. Semua langsung berucap : Oooo pantes

Sumber FB : Ahmad Sarwat

31 Oktober 2020 pada 08.33  · 

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Fiqih Ikhtilaf 2". Semoga betah di Kajian Ulama Aswaja ®

Kajian Terkait